KOMUNITAS SASTRA
Acep Zamzam Noor
AKHIR dekade 1980-an banyak muncul komunitas-komunitas sastra di daerah. Gejala ini menandai bahwa kegiatan sastra tidak lagi terpusat di
Bukan hanya buletin atau jurnal, kumpulan puisi pun banyak diterbitkan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah. Dari Lampung muncul sejumlah kumpulan puisi, begitu juga dari
Tidak seperti teater yang sifatnya komunal, aktivitas kesusastraan sebenarnya lebih individual. Seorang penyair atau cerpenis dalam berkaryanya tidak tergantung pada kelompok atau komunitas. Seorang penyair bisa saja menulis puisi sendirian di kamar lalu dikirimkan ke koran atau majalah. Namun kepenyairan tidaklah sesederhana itu, kepenyairan bukan sekedar menuliskan pikiran dan perasaan saja. Bukan sekedar “curhat” saja. Kepenyairan juga harus bersentuhan dengan lingkungan kehidupan yang lebih luas. Banyak sekali penyair-penyair berbakat dari berbagai daerah yang tenggelam begitu saja karena tanpa dukungan infrastruktur di sekelilingnya. Infrastruktur di sini bukan dalam pengertian sarana, fasilitas atau bantuan pemerintah, namun sebuah lingkungan pergaulan yang menopang kreativitas. Juga persaingan antar penyair yang sehat. Atmosfir semacam ini hanya akan mungkin muncul dalam sebuah komunitas yang juga sehat.
Bergugurannya penyair-penyair muda berbakat tak sedikit yang disebabkan oleh tidak adanya komunikasi antar sesama penyair, atau tidak adanya komunitas yang menjadi kanal bagi kreativitas mereka. Tak jarang seorang penyair muda terpikat pada bidang lain dan melupakan kesusastraan hanya karena tak ada teman yang mau membaca karya-karyanya, hanya karena tak ada teman untuk berdiskusi, hanya karena tak ada orang yang memperhatikan kreativitasnya atau yang mendorong semangatnya untuk terus berkarya. Tak jarang juga seorang penyair berhenti berkarya karena alasan ekonomi, memilih jadi sopir angkot atau jadi mubalig misalnya.
Di sinilah pentingnya sebuah komunitas bagi para penyair. Pentingnya sebuah iklim yang memungkinkan terjadinya pergesekan kreativitas. Menjadi guru, penyiar radio, sales, wartawan, pedagang kakilima, ibu rumah tangga atau istri kesekian bupati sebenarnya tak menghalangi kerja kepenyairan. Bahkan puisi masih mungkin ditulis dengan intensitas tinggi sambil kita menjalani profesi sebagai dukun, lurah, ulama, penyanyi dangdut, ajudan gubernur atau pelacur sekalipun.
Pengertian komunitas agak berbeda dengan kelompok, sanggar atau grup yang hanya terdiri dari para anggota. Komunitas lebih luas dari sekedar kelompok, sanggar atau grup, di mana di dalamnya bukan hanya para anggota namun juga publik, simfatisan atau yang merasa berkepentingan dengan kesusastraan seperti mahasiswa, guru atau dosen. Karya-karya yang dihasilkan para penyair pun ada peminatnya, ada penikmatnya, juga ada publik yang memperhatikannya. Seorang penyair yang mulai melemah semangatnya atau goyah “iman” kepenyairannya bisa bangkit lagi karena dorongan teman-teman, simfatisan atau publik. Atau karena tersulut oleh persaingan yang sehat di dalam komunitas tersebut.
***
Jawa Barat mempunyai posisi yang unik dalam peta kepenyairan nasional. Mungkin karena dekat dengan pusat (
Awal 1990-an, ketika Godi Suwarna pindah ke Ciamis para peminat sastra di Tatar Galuh itu mulai terbentuk, terutama peminat baca puisi. Sebelumnya para peminat sastra banyak tergabung dengan kelompok-kelompok teater seperti Teater A-I-U, Teater Awal, Teater Korsi, Teater Jagat dan beberapa lagi yang sudah hadir sejak 1980-an. Para peminat sastra ini, baik dalam menulis maupun membaca, akhirnya melebur dalam komunitas KGB (Keluarga Galuh Budaya) yang mempunyai minat lebih luas pada kebudayaan, termasuk di dalamnya kesenian tradisi.
Di Tasikmalaya juga sama, komunitas teater muncul lebih dulu (akhir 1970-an) lewat Teater Epos dan Sanggar Prasasti, kemudian disusul Teater Ambang Wuruk dan Teater Dongkrak pada awal 1990-an. Dari komunitas teater ini banyak muncul peminat sastra, hingga salah satu agenda kegiatan mereka adalah mengadakan lomba baca puisi setiap tahunnya. Komunitas sastra muncul ditandai dengan berdirinya SST (Sanggar Sastra Tasik) pada tahun 1996, meski prosesnya sudah mulai sejak dua tahun sebelumnya. Antara teater dan sastra hubungannya memang erat, hampir setiap aktor teater sekaligus juga deklamator. Tak heran jika kehidupan kesusastraan di daerah pada awalnya banyak digerakkan oleh aktivis teater.
Di Garut komunitas teater sudah cukup lama eksis.
Agak berbeda dengan Tasikmalaya yang banyak melahirkan penyair, Garut lebih dicatat karena para aktor dan deklamatornya yang selalu merajai berbagai lomba baca puisi di berbagai daerah, termasuk
Setiap SST mengadakan lomba baca puisi, peserta-peserta dari Garut selalu menempati rangking terbanyak. Baik untuk tingkat SLTP, SMA, mahasiswa maupun umum. Dan mereka selalu mendominasi babak final dan bahkan menjadi juara.
Meski Garut lebih menonjol dengan para aktor dan deklamatornya, bukan berarti di
Tentu saja para penyair Garut mutakhir tidak berhenti hanya pada nama-nama itu, masih ada nama lain yang diam-diam menulis puisi. Belakangan saya dihubungi beberapa teman penyair yang mau membentuk komunitas sastra di Garut. Bagi mereka, hadirnya komunitas sastra menjadi sangat penting untuk melengkapi maraknya kegiatan teater dan lomba baca puisi. Dengan komunitas ini mereka ingin menjalin komunikasi antar penyair khususnya dan seniman lain pada umumnya, hingga memungkinkan terjadinya pergesekan kreativitas. Mereka menamakan diri sebagai Komunitas Kalam, yang dideklarasikan pada 6 September 2003 ini.
Dindin S. Yogapranata, Apip Kurniadin, Nanang Acil, Johan Bunyamin, Deddi Fachrudien, Ruswendo Awal, Indra Kosasih, Cecep Nurbani dan Sonny M.S. adalah nama-nama yang mendukung komunitas tersebut. Pada karya-karya mereka yang sempat saya baca sekilas, kegelisahan kreatif atau pergulatan mencari identitas sepertinya belum begitu kentara. Yang menonjol dari komunitas baru ini adalah semangat kebersamaan di antara mereka. Sebagai langkah awal, hal semacam ini merupakan modal yang sangat berharga untuk memulai sebuah gerakan sastra, khususnya penulisan puisi.
Jika para penyair di suatu daerah membentuk sebuah komunitas, menurut saya haruslah dengan niat untuk meningkatkan kreativitas dan bukan sekedar mengejar proyek atau demi yang lain-lain. Kegelisahan, intensitas, persaingan yang sehat, berusaha menjadi beda namun tetap saling mengingatkan atau menyemangati antar teman adalah semangat sebuah komunitas. Hal lain adalah upaya menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar dan bagaimana menarik publik (yang merasa punya kepentingan atau keterkaitan dengan sastra) menjadi bagian dari komunitas.
Saya percaya teman-teman dari Garut ini mempunyai semangat yang tulus dan gagah seperti ini. Tidak hanya akan berhenti pada deklarasi, penerbitan antologi puisi, peluncuran dan lain-lain. Namun akan terus berjuang agar wilayah apresiasi terhadap kesusastraan menjadi lebih luas lagi, lebih lebar lagi, dan lebih besar lagi. Saya percaya bahwa pekerjaan semacam ini juga merupakan bagian dari upaya kita menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.
(2003)