LINTANG
ISMAYA
Acep Zamzam Noor
LINTANG Ismaya termasuk seorang seniman muda
yang gelisah. Salah satu tanda dari kegelisahannya adalah seringnya
berganti-ganti nama, Lintang Ismaya sendiri hanyalah salah satu dari sembilan
nama pena yang dimilikinya. Masih ada delapan nama pena lain yang biasa ia
pergunakan untuk berbagai keperluan seperti menulis naskah drama, menulis
skenario sinetron atau film indie, menyutradarai teater atau videoklip, menata
artistik pementasan sampai merias wajah aktor maupun penari. Tanda kegelisahan
lainnya adalah seringnya berganti-ganti model rambut, mulai dari panjang terurai
seperti pendekar, gondrong ikal kayak rocker atau gimbal ala rasta. Kadang juga
rambutnya disemir dengan warna-warni gaya harajuku. Untuk urusan kostum tak
jauh beda, model pakaian, sepatu maupun
kupluk yang dikenakannya sering membuat orang terperangah. “Mungkin ini bagian
dari ekspresi kesenian saya,” katanya beberapa tahun yang lalu.
Dalam
hal berekspresi tak mengherankan jika seniman kelahiran Tasikmalaya yang satu
ini telah merambah ke berbagai genre, mulai dari kesenian tradisional sampai
kontemporer, mulai dari puisi liris sampai novel pop, mulai dari menyutradarai
upacara adat sampai videoklip. Lintang mengaku belajar menulis sejak masih
duduk di bangku SMP, lalu semasa di SMA ia bergabung dengan sanggar sastra dan
sebuah kelompok teater yang kemudian membuatnya tertarik mendalami kesenian
secara lebih serius di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung.
Di kota kembang inilah
Lintang banyak bersentuhan dengan kesenian jeprut
hingga banyak memberinya kesempatan tampil di berbagai pentas performance art, yang pada awal 2000-an
sempat mengalami booming. Untuk
urusan jeprut konon ia mendapat
bimbingan langsung dari Iman Soleh dan Christiawan, aktor terkenal dan tokoh jeprut yang juga dosennya sendiri di
jurusan teater. Dengan demikian kegelisahannya yang menggelegak, yang kadang
melenceng pada hal-hal yang artifisial,
dapat sedikit diarahkan oleh dosennya ke “jalan yang benar”, yakni jalan
kreativitas.
Setelah menyelesaikan
kuliah, Lintang yang gelisah kembali ke kota kelahiran sambil tetap memelihara
potensi kegelisahannya. Di Tasikmalaya ia terus menulis puisi, menulis naskah
drama, menulis skenario sinetron, menyutradarai dan terlibat dalam berbagai
pementasan. Ia pun kerap tampil membaca puisi, memainkan monolog, menggelar body painting serta perengkel jahe. Selain itu ia pun mencoba mengangkat kesenian
tradisional dengan penafsiran baru, seperti yang pernah dilakukannya terhadap
angklung badud, bangkolung serta beberapa upacara adat. Kadang ia melakukan terobosan yang berani, misalnya mengganti
rajah yang diangap sakral dengan puisinya sendiri.
Adakah hubungan antara
kegelisahan seorang seniman dengan kreativitas? Tentu saja hubungan keduanya
sangat erat dan bahkan tak bisa dipisahkan. Kegelisahan bukan hanya sekedar
pendorong atau pemicu lahirnya sebuah karya, namun lebih jauh kegelisahan juga
dapat menjadi energi bagi seorang seniman untuk terus berkarya. Tanpa
kegelisahan seorang seniman akan cepat merasa mapan dan berjalan di tempat,
tanpa kegelisahan seorang seniman akan kehilangan obsesi untuk menghasilkan
karya yang lebih baik, dan tanpa kegelisahan seorang seniman akan tumpul
kepekaannya terhadap apa yang terjadi di sekeliling. Seorang seniman bukanlah
PNS yang meskipun tanpa kegelisahan dan kerja keras akan tetap mendapat gaji
secara rutin dari negara, bahkan mendapat pensiunan segala.
Pada dasarnya setiap
karya seni, termasuk di dalamnya puisi, tak lain merupakan ekspresi dari
kegelisahan senimannya. Kegelisahan yang lahir dari situasi tertentu yang
dirasakan serta dihayati dari setiap episode kehidupan. Kegelisahan yang
kemudian melahirkan intensitas atau kekhusyukan dalam berkarya. Kegelisahan itu
sendiri tidak selalu harus berwujud ungkapan kesepian, kesusahan, keprihatinan,
kemarahan atau kebencian. Kegelisahan bisa juga diekspresikan sebagai
kecintaan, kesenangan, kegembiraan, kegairahan, kekaguman atau keterpesonaan
terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut bisa berupa alam, lingkungan, masyarakat,
kekasih, Tuhan, malaikat, setan, pemerintah atau yang lainnya.
Dalam karya-karya puisi
misalnya, kita kerap menemukan ungkapan yang nadanya menghiba, memuja,
menggoda, atau sebaliknya meradang dan menerjang penuh kemarahan. Begitu juga
ungkapan yang sifatnya menyindir, mengkritik bahkan menggugat. Seorang penyair
yang gelisah akan selalu bereaksi atau merespons terhadap apapun yang menarik
perhatiannya, yang mengusik perasaannya atau mengganggu rasa kemanusiaannya.
Dan tentu saja reaksi atau respons tersebut diwujudkan dalam bentuk karya yang
kreatif. Dengan demikian, seorang seniman atau penyair yang tidak memiliki
kegelisahan kreatif dalam dirinya sudah bisa dipastikan akan membiarkan banyak
peristiwa dalam kehidupannya lewat begitu saja, banyak suasana hilang begitu
saja, seperti kentut atau angin lalu.
***
Lewat
tulisan ini saya ingin melihat di mana sebenarnya posisi Lintang Ismaya dalam
peta kesenian. Seperti sudah banyak disinggung di muka, Lintang termasuk
seniman multitalen (berbakat ganda) yang media ekspresinya sangat beragam.
Namun demikian, puisi nampaknya mempunyai tempat istimewa pada hampir
keseluruhan karyanya. Karya atau ekspresi apapun yang ia kerjakan, mulai dari
naskah drama sampai performance art,
sedikit banyak punya kaitan dengan puisi. Begitu juga ekspresinya yang
menggunakan tubuh sendiri seperti body
painting serta perengkel jahe, selalu ada benang merah yang menghubungkannya
dengan puisi. “Saya ingin proses kreatif saya, baik teater atau karya lainnya,
paling tidak memiliki atmosfir puitik,” ujarnya suatu ketika.
Memang
tak ada aturan yang melarang seorang seniman berekspresi dalam banyak genre.
Menggeluti semuanya juga boleh asalkan mau dan mampu. Rendra misalnya, selain
menulis puisi, menulis naskah drama, menulis lirik lagu, ia juga main teater,
main film dan menyutradarai. Begitu juga Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, Arifin
C. Noer atau Riantiarno. Lebih-lebih Remy Sylado, yang selain menulis puisi,
cerpen, novel, naskah drama, naskah opera, ia juga main teater, main film, main
sinetron, main musik, menyanyi, melukis, dan tentu saja menyutradarai. Namun di
antara beragam genre yang mereka geluti selalu ada satu atau dua genre yang
kemudian melekat menjadi identitas kesenimananya, atau paling tidak menjadi ruh
bagi proses kreatif pada genre-genre kesenian lainnya. Kita semua tahu Rendra
lebih dikenal sebagai penyair, sementara Putu Wijaya, Arifin dan Riantiarno
sebagai dramawan, sedang Remy Sylado belakangan lebih menonjol sebagai novelis.
Emha Ainun Nadjib lain lagi, kini ia eksis sebagai mubaligh pluralis
kontemporer dengan kelompok Kiai Kanjeng-nya.
Dalam
konteks ini, saya melihat Tasikmalaya menjadi menarik karena seniman-senimannya
banyak yang multitalen. Selain Lintang Ismaya jauh sebelumnya sudah ada
Eriyandi Budiman yang daya jelajah keseniannya lebih gila lagi. Ia menulis
puisi, cerpen, esei, naskah drama, cerita humor, juga mengeditori buku,
menyutradarai teater dan sinetron. Ia juga melukis, membuat seni instalasi,
main biola, menabuh jimbe, menjadi kameraman televisi serta event organizer lomba penyanyi dangdut.
Belakangan seniman multitalen yang juga punya banyak nama samaran ini menjabat
direktur sebuah penerbitan di samping menjadi kurator senirupa di Bandung.
Setelah itu ada Nazarudin Azhar yang juga menulis puisi, cerpen, naskah drama
(dalam bahasa Indonesia dan Sunda), menggambar karikatur, membuat ilustrasi,
mendesain cover buku, bahkan sempat menjadi vokalis sebuah band.
Masih banyak seniman
multitalen lain yang minimal menggeluti dua atau tiga genre kesenian secara
serius, sebutlah Moh. Wan Orlet, Lucky Lukita, Ageung Noor Pandani, Ashmansyah
Timutiah, Tatang Pahat, Amang Bunga Mawar, Cupit Danuarta, Dede Rokhyan, Andri
Candiaman, Ahmad Greg, Peter Hayat, Erry Aksa, Sarabunis Mubarok, Kidung
Purnama, Anggi Sri Wilujeng, Sri Pondah, Nina Minareli, Sarita Ratu, Linda
Cabelita, Budi Azhara, Aen Ru’en, Hikmat, Azim dan Oyik. Mereka masih gelisah
dan aktif berkesenian sampai sekarang.
Seniman-seniman
yang seangkatan dengan Lintang Ismaya pun banyak yang berkecenderungan
multitalen seperti para seniornya di atas. Bode Riswandi misalnya, sebelum
dikenal sebagai penyair dan kameraman televisi lokal ia sempat main kabaret dan
menjadi vokalis grup nasyid. Begitu juga Irvan Mulyadie yang selain menulis
puisi, cerpen, skenario dan kritik seni, ia pun melukis dan menyutradarai film
indie. Masih banyak nama lain seperti Are Pekasih, Wit Jabo, Ihin Solihin,
Andarea Fatih, Yoni Kustaman, Leo Trotoar, Lendra Dipraja, Aang Qonit Tawakal
yang kemudian diikuti mujahid-mujahid generasi baru yang tak kalah
multitalennya seperti Qeis Surya Sangkala, Anten Kinasih, Dwi Rusmianto, John
Heryanto, Wahyudi Yuli, Sandy Wahabi, Asep Jumbo, Rian Bungsu, Danto Salam,
Aditya Nugraha, Naza Fitri dan Vieoletta Estrella.
***
Kembali
pada tokoh kita. Setelah lama tidak mementaskan garapan teater atau apapun,
sekitar Oktober 2010 lalu Lintang Ismaya datang ke rumah saya dengan membawa
sebundel puisi yang konon merupakan hasil seleksi ketat yang telah dilakukannya
selama berbulan-bulan. Puisi-puisinya sendiri diambil dari rentang penciptaan
yang cukup panjang, 1996-2010. “Saya ingin kumpulan puisi pertama ini merupakan
seleksi ketat dari seluruh puisi yang ada. Jadi saya tidak akan terburu-buru,”
ujarnya penuh semangat.
Dan waktu pun berlalu
tanpa terasa hingga pada suatu sore di bulan Maret 2011 ia datang lagi ke rumah
saya, juga dengan sebundel puisi. Konon telah terjadi proses bongkar pasang
yang dilakukannya selama enam bulan terakhir untuk kumpulan puisinya tersebut,
dan rentang waktu penciptaan pun berubah menjadi 1996-2011. Bukan hanya seleksi
ketat yang dilakukannya, tapi juga revisi habis-habisan terhadap semua puisi
yang pernah ditulisnya selama ini. Begitu pengakuannya.
Saya
merasa Lintang Ismaya sedang berada pada “jalan yang benar”, dalam pengertian
ia tengah serius dan sabar menjalani proses seleksi dan revisi untuk kumpulan
puisi pertamanya itu. Menulis puisi dan mengumpulkan puisi memang dua hal yang
berbeda. Puisi-puisi yang kuat bisa jadi kurang terasa kekuatannya kalau
disusunnya asal-asalan. Mengumpulkan dan menyeleksi puisi merupakan seni
tersendiri yang juga membutuhkan kreativitas dan intensitan tinggi. Penyair
harus benar-benar mempertimbangkan bentuk, karakter, suasana serta nada dasar
dari keseluruhan puisi yang akan dikumpulkan, bahkan harus dipertimbankan pula
puisi yang satu cocoknya disandingkan dengan puisi yang mana, biar ada semacam chemistry di antara mereka. Sedang
mengenai tema tidak mutlak harus seragam, yang paling penting ada benang merah
yang mengaitkannya satu sama lain.
Begitu juga halnya
dengan merevisi puisi. Pengertian merivisi bukan sekedar memperbaiki atau
mengganti kata dan frasa tertentu, namun lebih jauh merupakan upaya penyair
menguji setiap kata dan frasa yang sudah dituliskannya sebagai puisi. Kata per
kata, frasa per frasa, bahkan kalimat per kalimat serta bait per bait harus
benar-benar dirasakan, benar-benar dihayati, benar-benar dinikmati serta
dimiliki penyairnya. Bisa jadi akhirnya tidak ada satu pun kata dan frasa yang
diganti atau malah justru dirubah semuanya, yang jelas proses pengujian harus
dijalankan berulang-ulang, proses bongkar pasang harus dilakukan habis-habisan.
Itulah yang dimaksud dengan revisi.
Lintang Ismaya mengaku
belum merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya selama berbulan-bulan itu,
dan ia berjanji akan datang lagi kalau hasil seleksi serta revisinya benar-benar
sudah pas di hati. Dan sebulan kemudian ia memang datang lagi dengan wajah
berseri-seri sambil membawa kumpulan puisi. Kumpulan puisi tersebut berupa
print-out yang sudah dijilid rapih lengkap dengan rancangan sampul serta indorsement di belakangnya. “Menurut
Sutardji sebuah tulisan bisa disebut puisi kalau diniatkan penulisnya sebagai
puisi. Saya kira kumpulan puisi ini juga demikian, kalau sekarang saya
meniatkannya selesai berarti sudah selesai,” katanya sambil tersenyum. Saya
mengangguk tanda setuju dengan ucapannya tersebut.
Lintang memberi judul
kumpulan puisinya Dongeng di Atas Meja,
berisi 100 puisi yang konon diperasnya dari sekitar 450 puisi yang dihasilkan
selama kurun 15 tahun. Puisi-puisi tersebut dipilah-pilah menjadi 7 bagian
sesuai dengan tema, bentuk, karakter, suasana serta nada dasar masing-masing
puisi. Setiap bagian ia beri kode dan judul sendiri, misalnya Koran Satu: Cermin Si Jenat, Koran Dua:
Negeri Badut Kampus Dangdut, Koran Tiga:Perempuan Masa Lalu dan seterusnya. Bagian pertama berisi puisi-puisi
obituari tentang sejumlah tokoh yang sudah meninggal seperti Rasinah, Rendra,
Munir, Beni R. Budiman dan lain-lain. Bagian kedua berisi puisi-puisi yang
merespons kondisi sosial, budaya dan politik dalam kaitannya dengan moralitas serta
mentalitas bangsa. Begitu juga seterusnya, setiap bagian mempunyai temanya
sendiri, termasuk tema cinta dan religiusitas. Di sini saya kutip salah satu
puisi cintanya yang ditulis dengan gaya liris:
Bahkan
keindahan musim penghujan
redup di tatapku
Agung auramu melipat
hari-hariku dari rayuan cuaca
yang menawarkan ribuan mimpi
Samar-samar batin ini
di hadapmu
Mala!
Puisi-puisi yang
ditulis Lintang Ismaya dalam kumpulan ini umumnya lancar dan tergarap intens.
Sejak awal nampak ia punya kecenderungan untuk mengoptimalkan bahasa
sehari-hari sebagai kekuatan naratif sekaligus puitik. Bahasa sehari-hari bukan
hanya digunakan bagi puisi-puisinya yang kontekstual, namun juga untuk yang
liris dan pastoral. Bahkan idiom-idiom lokal seperti wajit kacang atau gajah purba
diberi tempat yang leluasa. Bahasa sehari-hari memang mempunyai potensi untuk
menjadi akrab dan komunikatif, apalagi jika dituturkan dengan segar. Lantas
bagaimana caranya untuk menjadi akrab dan komunikatif? Bagaimana pula caranya
untuk sampai pada penuturan yang segar? Di situlah tantangan besar yang harus
dijawab setiap penyair, termasuk Lintang Ismaya tentunya. []