Share |

(43) - Artikel Sastra


LINTANG ISMAYA

Acep Zamzam Noor


LINTANG Ismaya termasuk seorang seniman muda yang gelisah. Salah satu tanda dari kegelisahannya adalah seringnya berganti-ganti nama, Lintang Ismaya sendiri hanyalah salah satu dari sembilan nama pena yang dimilikinya. Masih ada delapan nama pena lain yang biasa ia pergunakan untuk berbagai keperluan seperti menulis naskah drama, menulis skenario sinetron atau film indie, menyutradarai teater atau videoklip, menata artistik pementasan sampai merias wajah aktor maupun penari. Tanda kegelisahan lainnya adalah seringnya berganti-ganti model rambut, mulai dari panjang terurai seperti pendekar, gondrong ikal kayak rocker atau gimbal ala rasta. Kadang juga rambutnya disemir dengan warna-warni gaya harajuku. Untuk urusan kostum tak jauh beda, model  pakaian, sepatu maupun kupluk yang dikenakannya sering membuat orang terperangah. “Mungkin ini bagian dari ekspresi kesenian saya,” katanya beberapa tahun yang lalu.
            Dalam hal berekspresi tak mengherankan jika seniman kelahiran Tasikmalaya yang satu ini telah merambah ke berbagai genre, mulai dari kesenian tradisional sampai kontemporer, mulai dari puisi liris sampai novel pop, mulai dari menyutradarai upacara adat sampai videoklip. Lintang mengaku belajar menulis sejak masih duduk di bangku SMP, lalu semasa di SMA ia bergabung dengan sanggar sastra dan sebuah kelompok teater yang kemudian membuatnya tertarik mendalami kesenian secara lebih serius di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung.
Di kota kembang inilah Lintang banyak bersentuhan dengan kesenian jeprut hingga banyak memberinya kesempatan tampil di berbagai pentas performance art, yang pada awal 2000-an sempat mengalami booming. Untuk urusan jeprut konon ia mendapat bimbingan langsung dari Iman Soleh dan Christiawan, aktor terkenal dan tokoh jeprut yang juga dosennya sendiri di jurusan teater. Dengan demikian kegelisahannya yang menggelegak, yang kadang melenceng pada hal-hal yang artifisial,  dapat sedikit diarahkan oleh dosennya ke “jalan yang benar”, yakni jalan kreativitas.
Setelah menyelesaikan kuliah, Lintang yang gelisah kembali ke kota kelahiran sambil tetap memelihara potensi kegelisahannya. Di Tasikmalaya ia terus menulis puisi, menulis naskah drama, menulis skenario sinetron, menyutradarai dan terlibat dalam berbagai pementasan. Ia pun kerap tampil membaca puisi, memainkan monolog, menggelar body painting serta perengkel jahe. Selain itu ia pun mencoba mengangkat kesenian tradisional dengan penafsiran baru, seperti yang pernah dilakukannya terhadap angklung badud, bangkolung serta beberapa upacara adat. Kadang ia melakukan terobosan yang berani, misalnya mengganti rajah yang diangap sakral dengan puisinya sendiri.
Adakah hubungan antara kegelisahan seorang seniman dengan kreativitas? Tentu saja hubungan keduanya sangat erat dan bahkan tak bisa dipisahkan. Kegelisahan bukan hanya sekedar pendorong atau pemicu lahirnya sebuah karya, namun lebih jauh kegelisahan juga dapat menjadi energi bagi seorang seniman untuk terus berkarya. Tanpa kegelisahan seorang seniman akan cepat merasa mapan dan berjalan di tempat, tanpa kegelisahan seorang seniman akan kehilangan obsesi untuk menghasilkan karya yang lebih baik, dan tanpa kegelisahan seorang seniman akan tumpul kepekaannya terhadap apa yang terjadi di sekeliling. Seorang seniman bukanlah PNS yang meskipun tanpa kegelisahan dan kerja keras akan tetap mendapat gaji secara rutin dari negara, bahkan mendapat pensiunan segala.
Pada dasarnya setiap karya seni, termasuk di dalamnya puisi, tak lain merupakan ekspresi dari kegelisahan senimannya. Kegelisahan yang lahir dari situasi tertentu yang dirasakan serta dihayati dari setiap episode kehidupan. Kegelisahan yang kemudian melahirkan intensitas atau kekhusyukan dalam berkarya. Kegelisahan itu sendiri tidak selalu harus berwujud ungkapan kesepian, kesusahan, keprihatinan, kemarahan atau kebencian. Kegelisahan bisa juga diekspresikan sebagai kecintaan, kesenangan, kegembiraan, kegairahan, kekaguman atau keterpesonaan terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut bisa berupa alam, lingkungan, masyarakat, kekasih, Tuhan, malaikat, setan, pemerintah atau yang lainnya. 
Dalam karya-karya puisi misalnya, kita kerap menemukan ungkapan yang nadanya menghiba, memuja, menggoda, atau sebaliknya meradang dan menerjang penuh kemarahan. Begitu juga ungkapan yang sifatnya menyindir, mengkritik bahkan menggugat. Seorang penyair yang gelisah akan selalu bereaksi atau merespons terhadap apapun yang menarik perhatiannya, yang mengusik perasaannya atau mengganggu rasa kemanusiaannya. Dan tentu saja reaksi atau respons tersebut diwujudkan dalam bentuk karya yang kreatif. Dengan demikian, seorang seniman atau penyair yang tidak memiliki kegelisahan kreatif dalam dirinya sudah bisa dipastikan akan membiarkan banyak peristiwa dalam kehidupannya lewat begitu saja, banyak suasana hilang begitu saja, seperti kentut atau angin lalu.

***

            Lewat tulisan ini saya ingin melihat di mana sebenarnya posisi Lintang Ismaya dalam peta kesenian. Seperti sudah banyak disinggung di muka, Lintang termasuk seniman multitalen (berbakat ganda) yang media ekspresinya sangat beragam. Namun demikian, puisi nampaknya mempunyai tempat istimewa pada hampir keseluruhan karyanya. Karya atau ekspresi apapun yang ia kerjakan, mulai dari naskah drama sampai performance art, sedikit banyak punya kaitan dengan puisi. Begitu juga ekspresinya yang menggunakan tubuh sendiri seperti body painting serta  perengkel jahe, selalu ada benang merah yang menghubungkannya dengan puisi. “Saya ingin proses kreatif saya, baik teater atau karya lainnya, paling tidak memiliki atmosfir puitik,” ujarnya suatu ketika.
            Memang tak ada aturan yang melarang seorang seniman berekspresi dalam banyak genre. Menggeluti semuanya juga boleh asalkan mau dan mampu. Rendra misalnya, selain menulis puisi, menulis naskah drama, menulis lirik lagu, ia juga main teater, main film dan menyutradarai. Begitu juga Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, Arifin C. Noer atau Riantiarno. Lebih-lebih Remy Sylado, yang selain menulis puisi, cerpen, novel, naskah drama, naskah opera, ia juga main teater, main film, main sinetron, main musik, menyanyi, melukis, dan tentu saja menyutradarai. Namun di antara beragam genre yang mereka geluti selalu ada satu atau dua genre yang kemudian melekat menjadi identitas kesenimananya, atau paling tidak menjadi ruh bagi proses kreatif pada genre-genre kesenian lainnya. Kita semua tahu Rendra lebih dikenal sebagai penyair, sementara Putu Wijaya, Arifin dan Riantiarno sebagai dramawan, sedang Remy Sylado belakangan lebih menonjol sebagai novelis. Emha Ainun Nadjib lain lagi, kini ia eksis sebagai mubaligh pluralis kontemporer dengan kelompok Kiai Kanjeng-nya.
            Dalam konteks ini, saya melihat Tasikmalaya menjadi menarik karena seniman-senimannya banyak yang multitalen. Selain Lintang Ismaya jauh sebelumnya sudah ada Eriyandi Budiman yang daya jelajah keseniannya lebih gila lagi. Ia menulis puisi, cerpen, esei, naskah drama, cerita humor, juga mengeditori buku, menyutradarai teater dan sinetron. Ia juga melukis, membuat seni instalasi, main biola, menabuh jimbe, menjadi kameraman televisi serta event organizer lomba penyanyi dangdut. Belakangan seniman multitalen yang juga punya banyak nama samaran ini menjabat direktur sebuah penerbitan di samping menjadi kurator senirupa di Bandung. Setelah itu ada Nazarudin Azhar yang juga menulis puisi, cerpen, naskah drama (dalam bahasa Indonesia dan Sunda), menggambar karikatur, membuat ilustrasi, mendesain cover buku, bahkan sempat menjadi vokalis sebuah band.
Masih banyak seniman multitalen lain yang minimal menggeluti dua atau tiga genre kesenian secara serius, sebutlah Moh. Wan Orlet, Lucky Lukita, Ageung Noor Pandani, Ashmansyah Timutiah, Tatang Pahat, Amang Bunga Mawar, Cupit Danuarta, Dede Rokhyan, Andri Candiaman, Ahmad Greg, Peter Hayat, Erry Aksa, Sarabunis Mubarok, Kidung Purnama, Anggi Sri Wilujeng, Sri Pondah, Nina Minareli, Sarita Ratu, Linda Cabelita, Budi Azhara, Aen Ru’en, Hikmat, Azim dan Oyik. Mereka masih gelisah dan aktif berkesenian sampai sekarang.
            Seniman-seniman yang seangkatan dengan Lintang Ismaya pun banyak yang berkecenderungan multitalen seperti para seniornya di atas. Bode Riswandi misalnya, sebelum dikenal sebagai penyair dan kameraman televisi lokal ia sempat main kabaret dan menjadi vokalis grup nasyid. Begitu juga Irvan Mulyadie yang selain menulis puisi, cerpen, skenario dan kritik seni, ia pun melukis dan menyutradarai film indie. Masih banyak nama lain seperti Are Pekasih, Wit Jabo, Ihin Solihin, Andarea Fatih, Yoni Kustaman, Leo Trotoar, Lendra Dipraja, Aang Qonit Tawakal yang kemudian diikuti mujahid-mujahid generasi baru yang tak kalah multitalennya seperti Qeis Surya Sangkala, Anten Kinasih, Dwi Rusmianto, John Heryanto, Wahyudi Yuli, Sandy Wahabi, Asep Jumbo, Rian Bungsu, Danto Salam, Aditya Nugraha, Naza Fitri dan Vieoletta Estrella.

***

            Kembali pada tokoh kita. Setelah lama tidak mementaskan garapan teater atau apapun, sekitar Oktober 2010 lalu Lintang Ismaya datang ke rumah saya dengan membawa sebundel puisi yang konon merupakan hasil seleksi ketat yang telah dilakukannya selama berbulan-bulan. Puisi-puisinya sendiri diambil dari rentang penciptaan yang cukup panjang, 1996-2010. “Saya ingin kumpulan puisi pertama ini merupakan seleksi ketat dari seluruh puisi yang ada. Jadi saya tidak akan terburu-buru,” ujarnya penuh semangat.
Dan waktu pun berlalu tanpa terasa hingga pada suatu sore di bulan Maret 2011 ia datang lagi ke rumah saya, juga dengan sebundel puisi. Konon telah terjadi proses bongkar pasang yang dilakukannya selama enam bulan terakhir untuk kumpulan puisinya tersebut, dan rentang waktu penciptaan pun berubah menjadi 1996-2011. Bukan hanya seleksi ketat yang dilakukannya, tapi juga revisi habis-habisan terhadap semua puisi yang pernah ditulisnya selama ini. Begitu pengakuannya.
            Saya merasa Lintang Ismaya sedang berada pada “jalan yang benar”, dalam pengertian ia tengah serius dan sabar menjalani proses seleksi dan revisi untuk kumpulan puisi pertamanya itu. Menulis puisi dan mengumpulkan puisi memang dua hal yang berbeda. Puisi-puisi yang kuat bisa jadi kurang terasa kekuatannya kalau disusunnya asal-asalan. Mengumpulkan dan menyeleksi puisi merupakan seni tersendiri yang juga membutuhkan kreativitas dan intensitan tinggi. Penyair harus benar-benar mempertimbangkan bentuk, karakter, suasana serta nada dasar dari keseluruhan puisi yang akan dikumpulkan, bahkan harus dipertimbankan pula puisi yang satu cocoknya disandingkan dengan puisi yang mana, biar ada semacam chemistry di antara mereka. Sedang mengenai tema tidak mutlak harus seragam, yang paling penting ada benang merah yang mengaitkannya satu sama lain.
Begitu juga halnya dengan merevisi puisi. Pengertian merivisi bukan sekedar memperbaiki atau mengganti kata dan frasa tertentu, namun lebih jauh merupakan upaya penyair menguji setiap kata dan frasa yang sudah dituliskannya sebagai puisi. Kata per kata, frasa per frasa, bahkan kalimat per kalimat serta bait per bait harus benar-benar dirasakan, benar-benar dihayati, benar-benar dinikmati serta dimiliki penyairnya. Bisa jadi akhirnya tidak ada satu pun kata dan frasa yang diganti atau malah justru dirubah semuanya, yang jelas proses pengujian harus dijalankan berulang-ulang, proses bongkar pasang harus dilakukan habis-habisan. Itulah yang dimaksud dengan revisi.
Lintang Ismaya mengaku belum merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya selama berbulan-bulan itu, dan ia berjanji akan datang lagi kalau hasil seleksi serta revisinya benar-benar sudah pas di hati. Dan sebulan kemudian ia memang datang lagi dengan wajah berseri-seri sambil membawa kumpulan puisi. Kumpulan puisi tersebut berupa print-out yang sudah dijilid rapih lengkap dengan rancangan sampul serta indorsement di belakangnya. “Menurut Sutardji sebuah tulisan bisa disebut puisi kalau diniatkan penulisnya sebagai puisi. Saya kira kumpulan puisi ini juga demikian, kalau sekarang saya meniatkannya selesai berarti sudah selesai,” katanya sambil tersenyum. Saya mengangguk tanda setuju dengan ucapannya tersebut.
Lintang memberi judul kumpulan puisinya Dongeng di Atas Meja, berisi 100 puisi yang konon diperasnya dari sekitar 450 puisi yang dihasilkan selama kurun 15 tahun. Puisi-puisi tersebut dipilah-pilah menjadi 7 bagian sesuai dengan tema, bentuk, karakter, suasana serta nada dasar masing-masing puisi. Setiap bagian ia beri kode dan judul sendiri, misalnya Koran Satu: Cermin Si Jenat, Koran Dua: Negeri Badut Kampus Dangdut, Koran Tiga:Perempuan Masa Lalu dan seterusnya. Bagian pertama berisi puisi-puisi obituari tentang sejumlah tokoh yang sudah meninggal seperti Rasinah, Rendra, Munir, Beni R. Budiman dan lain-lain. Bagian kedua berisi puisi-puisi yang merespons kondisi sosial, budaya dan politik dalam kaitannya dengan moralitas serta mentalitas bangsa. Begitu juga seterusnya, setiap bagian mempunyai temanya sendiri, termasuk tema cinta dan religiusitas. Di sini saya kutip salah satu puisi cintanya yang ditulis dengan gaya liris:

Bahkan
keindahan musim penghujan
redup di tatapku
Agung auramu melipat
hari-hariku dari rayuan cuaca
yang menawarkan ribuan mimpi
Samar-samar batin ini
di hadapmu
Mala!

Puisi-puisi yang ditulis Lintang Ismaya dalam kumpulan ini umumnya lancar dan tergarap intens. Sejak awal nampak ia punya kecenderungan untuk mengoptimalkan bahasa sehari-hari sebagai kekuatan naratif sekaligus puitik. Bahasa sehari-hari bukan hanya digunakan bagi puisi-puisinya yang kontekstual, namun juga untuk yang liris dan pastoral. Bahkan idiom-idiom lokal seperti wajit kacang atau gajah purba diberi tempat yang leluasa. Bahasa sehari-hari memang mempunyai potensi untuk menjadi akrab dan komunikatif, apalagi jika dituturkan dengan segar. Lantas bagaimana caranya untuk menjadi akrab dan komunikatif? Bagaimana pula caranya untuk sampai pada penuturan yang segar? Di situlah tantangan besar yang harus dijawab setiap penyair, termasuk Lintang Ismaya tentunya. []
Prev Next Next