SEPULUH PUISI GOENAWAN
Acep Zamzam Noor
KEMUNCULAN puisi-puisi Goenawan Mohamad termasuk yang sangat kita tunggu-tunggu dan rindukan. Masalahnya bukan karena Goenawan seorang penyair terbaik kita yang selalu hadir dengan kecemerlangan puisinya, tapi karena sebagai penyair Goenawan tidak produktif menulis puisi. Sejak terbitnya “Parikesit” yang memuat puisi-puisi awalnya tahun 1971, lalu disusul oleh “Interlude” yang terbit tahun 1973, praktis kita tak pernah mendengar lagi kumpulan puisi lainnya. Majalah Sastra Horison dalam salah satu edisinya tahun 1978 memang sempat memuat selusin puisinya dan kemudian tahun berikutnya Harian Kompas juga memuat empat puisinya. Pada terbitan awal Majalah Zaman satu dua puisinya muncul, di antaranya adalah “Penangkapan Sukra”. Sedang sepanjang dekade 1980 malah lebih parah lagi, dalam catatan saya ada lima buah puisi yang dimuat dalam Majalah Sastra Horison edisi Februari 1986, itu pun dua di antaranya pernah dimuat Majalah Zaman kurang lebih tujuh tahun sebelumnya.
Pada edisi bulan Juli 1990 puisi-puisi dari penyair yang juga terkenal sebagai eseis dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini kembali muncul. Kemunculannya dengan sepuluh puisi terbaru yang ditulis antara tahun 1979-1990 ini tidaklah terlalu istimewa meskipun cukup mengobati kerinduan kita akan puisi-puisinya. Yang menarik, bahwa puisi-puisi ini ditulis dalam suatu perjalanan di luar negeri yang membuatnya sejenak terlepas dari kesibukan dan rutinitas sehari-hari. Goenawan mengirimkannya langsung dari Amerika dengan disertai catatan: “Saya tidak tahu adakah nanti kembali kepada pekerjaan di
Goenawan Mohamad memang dikenal sangat tipikal sebagai penyair suasana hati. Puisi-puisi terbaiknya di masa lalu sudah meyakinkan kita dengan bahasanya yang basah, jernih, cerdas dan mempunyai ketajaman dalam menangkap nuansa alam, misteri waktu atau keterpesonaan akan maut. Beberapa puisinya terkadang hadir sebagai renungan spiritual yang sangat religius. Lebih dari itu, dalam puisi-puisi Goenawan terjalin kebeningan perasaan dan kebersihan pikiran dalam bentuk pengucapan yang sederhana. Membaca ucapannya di atas, kita akan menjadi maklum betapa pentingnya suasana hati dalam hubungannya dengan menulis puisi. Dengan demikian menulis puisi baginya merupakan sebuah kontemplasi, sebuah kekhusyukan.
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin berhembus ke arah kita
Diluar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Betapa bersahaja ungkapan di atas, tapi sekaligus betapa ia telah menusukan kilatan imaji yang kaya pada kesadaran kita. Kita terhenyak dan sekaligus hanyut dalam irama yang merdu. Puisi suasana pada dasarnya hanyalah memberikan suasana, bukan cerita. Maka membaca dua bait di atas kita merasakan intensitas kata-kata, merasakan bagaimana setiap kata diberi bobot suasana oleh penyairnya. Puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” yang kita kutip dua dari tiga bait keseluruhannya ini, merupakan salah satu puisi terbaik Goenawan dari periode awal yang kesederhanaannya, kejernihannya, kebasahan suasananya dan kekayaan imajinya memberikan jejak yang jelas pada hampir semua puisi-puisi yang ditulis kemudian.
Memang tidak semua puisi Goenawan Mohamad berupa puisi suasana hati yang pendek dan sederhana. Ada juga beberapa puisinya yang panjang dengan bentuk balada seperti puisi “Parikesit”, “Internasionale”, “Tentang Seorang Yang Terbunuh Di Hari Pemilihan Umum”, “Di Kebun Jepun”, “Penangkapan Sukra”, dan beberapa lagi. Tapi yang diungkapkan oleh puisi baladanya bukan sekedar cerita seperti yang menjadi karakter bentuk puisi tersebut, namun yang diungkapkan Goenawan pada kita tetaplah dalam konteks suasana hati – di mana setiap kata masih tetap terjaga intensitasnya. Bahkan lewat puisi baladanya ini, Goenawan telah menyumbangkan warna lain dalam pemakaian unsur dialog tanpa harus menjadi prosais. Tanpa harus kehilangan tenaga puitiknya.
Di awal tulisan ini saya menyebut bahwa puisi-puisi terbaru Goenawan Mohamad tidaklah terlalu istimewa. Saya menyatakan demikian karena baik tema maupun pengucapan puisi-puisi terbarunya sebenarnya sudah ia lakukan pada kedua kumpulan terdahulu serta beberapa puisi lepasnya. Tapi meskipun begitu puisi-puisi terbarunya bukan tidak menarik, karena jelas yang ditampilkan Goenawan kali ini adalah puisi-puisi yang baik. Kepiawaiannya menyuguhkan suasana, intensitasnya memberi tenaga pada kata-kata sederhana masih tetap memikat.
Pada puisi-puisi Goenawan Mohamad kesederhanaan telah menjelma menjadi sebuah kekuatan. Kesederhanaan puisi-puisinya menunjukkan sebuah kebulatan, di mana keutuhan atau keseimbangan pikiran dan perasaan telah memungkinkan lahirnya imaji-imaji yang pekat. Hal ini pernah disinggung oleh Budi Darma dengan sangat tepat dalam sebuah eseinya di Majalah Horison edisi Februari 1977, yang menyatakan bahwa kesederhanaan yang baik dalam puisi yang baik adalah kesederhanaan yang mengundang imaji-imaji yang dalam, dengan lanskap-lanskap yang indah seperti yang terdapat dalam sebagian besar puisi-puisi Goenawan Mohamad.
Puisi “Nota Untuk Umar 49 Tahun” yang ditulis tahun 1990 ini barangkali akan menunjukan dengan gamblang bagaimana kesederhanaan yang baik dalam puisi yang baik itu, di mana kesederhanaan mampu mengundang imaji-imaji yang dalam dengan lanskap-lanskap yang indah:
menghampur
ke dalam plasmaku
dan mungkin oase
tempat akhir burung-burung
katamu, dan kulihat kain kafan
terentang tak teraih
pada kemah-kemah awan
Lalu kita duduk di kafe itu
Lalu kutunjukkan negeriku
“Di sini,” kataku. Kuraba parasmu
Dan kau menciumku: “Seperti kematian itu,” katamu
Kita tidak tahu bagaimana Goenawan bisa sampai pada renungan seperti itu. Mungkin kita hanya bisa menduga-duga bahwa ia sedang khusyuk menikmati kesepian sambil merindukan tanah air dari jauh. Atau mungkin juga sajak ini merupakan kristalisasi usia dan pengalamannya yang semakin matang dalam kehidupan hingga membuatnya bijak dalam memahami kematian sebagai sesuatu yang wajar dan tak perlu dikhawatirkan. “Sajak Untuk Svetlana B.” ini mengingatkan saya pada puisi lamanya yang berjudul “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis telah menjadi logam”, yang juga merupakan renungan kematian dalam konteks cinta: Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu/Tapi tutuplah matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.
“Buat H.J. Dan P.G.” merupakan puisi lain yang juga mengapungkan masalah yang sama. Dalam puisi yang ditujukan pada anaknya ini nampak sangat jelas bagaimana sikap Goenawan dalam menghadapi maut seperti halnya menghadapi seorang sahabat atau kekasih:
dua leli paskah
disematkan
pada marmar hitam
mupu-kupu putih
melayang letih
ke loteng lengang
kabar itu datang ke ruang
telah kutengok kawat,
“Bapak, saya agak tiba lambat”
pada malaikat yang tiba pagi
“Hari ini aku
belum ingin mati.”
Berakrab-akrab dengan maut bukanlah sesuatu yang aneh bagi para penyair. Sutardji Calzoum Bachri dalam sejumlah puisinya bahkan dengan lantang mengucapkan keterpesonaannya pada maut. Dalam salah satu tulisannya, penyair sufistik ini menyatakan bahwa maut telah hadir dalam diri kita sejak kita hidup. Sejak kita mulai bernafas, sejak itu pula maut membenihi kita dan kemudian lambat atau cepat tumbuh memagut kita. Tentu saja keterpesonaan Sutardji pada maut sangat berbeda dengan Goenawan. Jika keterpesonaan Sutardji nampak seperti terbius secara emosional, keterpesonaan Goenawan lebih rilek serta cenderung rasional. Pada malaikat yang tiba pagi, aku-lirik puisi di atas sebenarnya tidak menolak untuk diajak pergi. Hanya saja ia ingin lebih mempersiapkan diri secara terencana, atau paling tidak bertemu dulu dengan anaknya -- seperti yang diungkapkan dalam bait ke empat: “Sebab anakku/akan terbang kemari/dari rumahnya yang jauh/di sebuah negeri yang teduh”. Dalam bait berikutnya dilukiskan dengan indah bagaimana keakraban aku-lirik dengan malaikat pencabut nyawa. Potret anaknya yang tersenyum pada stang sepeda di depan rumpun asalea ditujukan pada malaikat itu. Dan seperti maklum, sang pencabut nyawa pun tertawa melihatnya.
Tema kematian memang sangat dominan dalam puisi-puisi terbaru Goenawan Mohamad ini. Selain yang sudah disinggung di atas, puisi-puisi seperti “Perempuan Yang Dirajam Menjelang Malam”, “Di Jazirah Burung Hantu” serta “Hiroshima Cintaku” juga masih mempunyai nuansa yang sama kuat, meskipun lebih tersurat. Ketiga sajak ini merupakan puisi panjang berbentuk balada. Soal siapa yang diceritakan pada kita dalam puisi yang naratif ini, rasanya tidak begitu penting. Tapi bagaimana suasana dramatik dibangun Goenawan dengan penggunaan kata yang efektif rasanya sudah cukup menyiratkan apa yang ingin disampaikan. Seorang perempuan yang menanti hukuman rajam karena melakukan zinah bisa jadi hanya cerita yang dihadirkan untuk membingkai suasana hati penyair dalam menyongsong datangnya maut. Begitu juga dalam puisi “Hiroshima Cintaku” yang menampilkan latar sejarah, yang sampai pada kita tetaplah suasana.
Puisi-puisi terbaru Goenawan Mohamad yang ditulis selama perjalanan di luar negeri ini sangat diwarnai oleh lanskap-lanskap
menyebrangi kontinen malam
Tapi angin selesai, laut lerai
dan kau katakan, “
dan nyanyian di ranting-rantingnya
Laut lama akan tak mengingatnya
(1990)