Share |

Artikel 27

KIDUNG PURNAMA



Acep Zamzam Noor



SANGGAR SASTRA TASIK (SST) terbentuk setelah sekian lama teman-teman yang menyukai sastra, khususnya puisi, berinteraksi satu sama lain. Awalnya kami biasa bertemu di rumah saya, lalu sering kongkow sambil minum teh poci di sebuah toserba yang ada kafetarianya, kadang di warung-warung pinggir jalan, atau di mana saja. Sebelum SST terbentuk sejumlah komunitas telah hadir terlebih dahulu, yakni komunitas teater dan seni rupa. Dan salah satu komunitas teater tersebut ada yang bermarkas di Gelanggang Generasi Muda (GGM) yang berlokasi di kawasan Dadaha. Di GGM teman-teman teater berinteraksi dengan pramuka, paskibra, ormas kepemudaan serta sejumlah klub beladiri yang juga berlatih di situ. Temen-temen seni rupa pun sering menggunakan gedung yang bentuknya mirip GOR itu untuk berpameran.


Dadaha merupakan ruang publik tempat masyarakat Tasikmalaya beraktivitas. Ada fasilitas lapang badminton, lapang voli, lapang basket, lapang tenis, kolam renang, tempat bilyar dan studio radio milik pemda, yakni RSFD FM. Sampai tahun 1970-an komplek ini masih merupakan tempat pacuan kuda sehingga tata ruangnya sampai sekarang pun mengikuti pola lingkaran. Secara bertahap kawasan yang letaknya tak jauh dari pusat kota ini berubah fungsi menjadi tempat kegiatan olahraga dan rekreasi. Di bagian tengah terdapat stadion sepakbola yang dikelilingi ruang-ruang kosong serta pohon-pohon rindang. Ketika SST mulai terbentuk, sekitar tahun 1996, gedung kesenian yang letaknya sebelah barat stadion masih terbengkalai pembangunannya.


Yang pertama bergabung dengan SST adalah teman-teman teater dan seni rupa, lalu sejumlah siswa SMA masuk, lalu ada mahasiswa, ada dosen, ada guru, ada ibu rumah tangga, ada penganggur, pedagang kakilima, kepala desa serta penarik becak. RSPD FM meminta bantuan kami untuk mengasuh acara sastra setiap Jum’at malam, lalu kami menjadikan radio tersebut sebagai media publikasi bagi puisi teman-teman. Lalu sebuah antologi puisi terbit. Acara demi acara digelar. Apresiasi terus berlangsung dengan berbagai cara. Lomba-lomba rutin diselenggarakan. Teman-teman datang dan pergi.


Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menceritakan perjalanan SST, namun ingin menggambarkan sebuah suasana dalam kaitannya dengan proses kreatif.


***


Di antara teman-teman yang bergairah menulis puisi, salah satunya adalah Kidung Purnama. Nama yang kedengarannya merdu ini tentu bukan nama asli pemberian orangtua, melainkan nama yang saya baptiskan untuk menandai kesenimanannya. Kebiasaan membaptis orang sudah berlangsung sejak saya masih remaja, banyak teman-teman SMP dan SMA yang secara spontan saya ganti namanya atau paling tidak panggilannya. Kebiasaan ini terus berlanjut di lingkungan kesenian, banyak pelukis, penyair dan aktor Tasikmalaya yang juga saya ganti namanya. Ada yang diganti total, ada yang ditambah, ada yang dibuang sebagian, ada yang dibalik atau hanya direvisi. Kidung termasuk yang saya revisi, nama aslinya adalah Dudung. Ia pernah bekerja di sebuah pabrik tekstil namun keluar karena sering sakit-sakitan, lalu setelah menjalani operasi batu ginjal ia berusaha menerapi diri dengan aktif melukis dan menulis puisi.


Saya percaya nama selalu memberi efek pada pemiliknya. Efek ini bisa berupa sugesti positif, bisa berkah atau malah beban jika tidak sesuai dengan karakter atau tubuh pemiliknya. Oyok Zafarulloh setelah saya ganti menjadi Yock Kumbara lukisan pemandangannya laku keras. Begitu juga dengan Lucky Lukita yang sebelumnya bernama Sumarno, tiba-tiba kebanjiran order membuat taman dan patung. Ada juga teman yang puisi-puisinya menjadi religius setelah namanya saya ganti dengan nama sebuah masjid di Turki. Nunu Nazarudin Azhar sering menjuarai lomba penulisan naskah drama setelah nama depannya saya sarankan dibuang. Bunbun Sarabunis Mubarok puisi-puisinya sering dimuat Kompas setelah nama depannya yang terkesan manja itu saya sarankan dibuang juga. Deden Abdul Aziz mendapat Hadiah Rancage setelah saya berusaha sekuat tenaga meyakinkan dia agar nama bagian tengahnya jangan disingkat seperti Agus R. Sarjono.


Tapi sebaliknya, Agus Hernawan malah menjadi pedagang sukses setelah namanya saya rubah menjadi Agus Jalu Sundana. Jalu Sundana rupanya terlalu berat sebagai nama seniman bagi alumnus FSRD ISI Yogyakarta yang berperawakan kurus dan berkulit pucat ini. Efeknya ia berhenti melukis dan sibuk dalam dunia bisnis. Tentu saja ini bukan efek yang buruk, karena ia kemudian hidup sejahtera sebagai pengusaha.


Begitu juga yang terjadi pada Kidung Purnama. Ada efek yang kemudian membuatnya menjadi sangat produktif berkarya. Selain itu, dengan nama barunya ia nampak bahagia dan selalu tersenyum. Apalagi setelah lukisannya yang berobyek pasar tradisional dibeli seorang pejabat. Jika teman-teman lain menyetorkan puisi seminggu sekali, biasanya setiap hari Jum’at sore, Kidung bisa setiap hari. Banyak hal yang ditulisnya, banyak tema yang digarapnya, bahkan apapun yang dilihat dan temuinya nyaris bisa dijadikan puisi. Gigi gingsul mengilhaminya untuk menulis puisi cinta. Nama yang tertera pada baju seragam seorang siswi SMA dijadikannya judul puisi. Bahkan trayek angkot pun pernah menjadi idiom bagi puisinya. Saeful Badar dan Eriyandi Budiman merasa kewalahan. Begitu juga Nazarudin Azhar sebagai pengasuh siaran “Cakrawala Sastra Kita” di RSPD FM. Sarabunis Mubarok yang menjadi editor buletin Puitika juga angkat tangan.


Posisi saya dalam komunitas sebenarnya lebih sebagai dewan syuro ketimbang mentor atau pengajar. Jadi saya kurang bersentuhan langsung dalam urusan proses kreatif serta teknis penulisan puisi teman-teman. Saya hanya mendorong, memotivasi serta menciptakan atmosfir kreativitas bagi mereka. Urusan teori sastra maupun seluk-beluk kebahasaan lebih banyak ditangani Saeful Badar dan Eriyandi Budiman yang memang alumnus jurusan pendidikan bahasa dan sastra. Selebihnya teman-teman banyak melakukan diskusi sendiri, membahas karya masing-masing secara bergantian. Namun sesekali saya suka juga berbicara secara personal dengan mereka.


Saeful dan Eriyandi sekali waktu menghadap dewan syuro untuk melaporkan Kidung Purnama yang produktivitasnya sudah sampai pada tahap over dosis. Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk bisa meredam semangatnya yang menggebu, namun tidak berhasil. Kidung terus saja merangsek dengan puisi yang jumlahnya semakin hari semakin banyak. “Repotnya setiap puisi minta dibahas satu persatu secara panjang lebar dan mendetail,” keluh Saeful sambil geleng-geleng kepala. “Beberapa puisinya memang cukup menarik, namun karena terlalu banyak kita jadi mabuk membacanya …” sambung Eriyandi dengan nada yang getir. Dan sebagai dewan syuro saya hanya bisa manggut-manggut sambil pura-pura serius berpikir.


Tiba-tiba saya teringat pada Saini K.M. yang pernah mengatakan bahwa produktivitas yang berlebihan dalam menulis puisi bisa menjebak seorang penyair pada suatu mannerisme atau pengulangan yang tidak kreatif. Saya merasa harus segera menyampaikan hal ini pada Kidung Purnama. Maka ketika kebetulan bertemu di Dadaha, saya langsung mengajaknya minum teh poci di sebuah kafe langganan kami. Kidung saya persilahkan menceritakan sejauh mana pengalamannya menulis puisi. Ia nampak bangga dengan produktivitasnya yang luar biasa itu, lalu dengan penuh semangat bercerita tentang tema-tema yang sedang digarapnya, juga tentang seorang gadis yang tengah serius ditaksirnya. “Dengan menulis puisi saya merasa lebih sehat dan lebih hidup,” ujarnya seperti iklan rokok.


Terus terang saya tak sampai hati mengusik kebahagiaan yang tengah dinikmati Kidung Purnama. Kebahagiaan karena rasa percaya diri yang mulai tumbuh dalam hidupnya. Kebahagiaan karena sedikit deni sediikit bisa mengatasi penyakit yang dideritanya, yang ia yakini sebagai dampak positif dari aktivitasnya berkesenian. Namun ada hal penting yang harus segera saya sampaikan padanya, hal yang sangat berkaitan dengan kelangsungan kreativitasnya. Saya harus mengingatkan dia. “Dung, menulis puisi itu bukan seperti membuang ingus,” akhirnya saya berucap juga.


Kidung Purnama langsung menyeringai, nampak deretan gigi kecokelatan yang kurang rata susunannya. “Maksudnya membuang ingus bagaimana?” ia bertanya sambil tetap menyeringai. Keningnya berkerut, alis matanya terangkat ke atas.


“Membuang ingus biasanya spontan, tanpa penghayatan. Disemprotkan begitu saja,” saya mencoba menjelaskan sekalipun kurang yakin karena telah memilih perumpamaan yang penuh resiko. Saya menyulut sebatang rokok, lalu mengisapnya dalam-dalam sambil berusaha mengatur tempo. “Maksud saya menulis puisi tak sesederhana buang ingus di trotoar, menulis puisi butuh kekhusyukan, penghayatan, pengendapan dan pendalaman. Menulis puisi itu mencipta, jadi harus serius, khusyuk dan jelas pertanggungjawabannya,” sambung saya.


“Kalau soal serius, rasanya selama ini saya sudah cukup serius, karya-karya saya juga sudah banyak,” jawabnya mantap. Lalu ia menyeruput tehnya yang masih hangat, mengisap rokok kreteknya dengan nikmat. Ia nampak sangat percaya diri dengan karya-karyanya yang telah dibuatnya.


“Sebenarnya proses menulis puisi itu lebih mirip berak ketimbang buang ingus,” ujar saya setengah berbisik. Kidung nampak melongo, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Apa yang kita makan, harus kita kunyah terlebih dahulu. Cara mengunyahnya jangan asal-asalan, namun harus penuh penghayatan sampai benar-benar halus, setelah itu baru ditelan pelan-pelan. Di dalam perut makanan tersebut harus digiling lagi, kemudian diendapkan beberapa lama sampai tiba saat yang tepat untuk dikeluarkan sebagai karya,” tiba-tiba suara saya menjadi parau. Kidung tetap melongo, keningnya semakin berkerut. Saya menengok ke kiri dan kanan, ternyata banyak orang yang sedang makan.


“Ide atau ilham yang muncul dari alam, dari lingkungan, dari kehidupan, dari realitas sosial dan politik, dari bacaan, dari suasana atau apapun harus dikunyah terlebih dahulu sampai halus, lalu ditelan pelan-pelan. Setelah itu digiling lagi, diendapkan sampai matang, baru dikeluarkan ketika momentumnya pas. Sehingga apa yang kita keluarkan tidak sama dengan apa yang sebelumnya kita makan. Jika yang kita makan berwarna putih, setelah melewati proses metabolisme keluarnya akan menjadi kuning kecokelatan. Atau misalnya kita menyantap hamburger, yang nanti keluar tentu bukan hamburger lagi, melainkan sesuatu yang lain. Katakanlah hamburger itu realitas, maka yang kita keluarkan kemudian adalah realitas yang lain. Realitas yang baru. Kurang lebih begitulah proses menulis puisi,” saya berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Kidung masih belum bereaksi juga.


“Nah, kalau kita mengunyahnya dengan khusyuk dan pencernaan menggilingnya dengan sungguh-sungguh, maka ketika tiba saatnya karya harus dikeluarkan kita akan merasa nyaman. Karya yang kita keluarkan akan empuk dan kenyal, proses keluarnya pun halus dan mulus, tidak terlalu keras namun juga tidak encer seperti kalau kita terserang diare…” ujar saya selanjutnya. Saya kembali menyulut sebatang rokok.


“Namun jika kita makan eceng atau genjer ada perkecualian, meskipun telah dikunyah dan digiling habis-habisan kemungkinan besar mereka akan kembali dengan utuh. Mereka tidak akan bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lain, menjadi realitas lain. Begitu keluar baik bentuk maupun warnanya akan tetap seperti semula, tetap keriting dan hijau. Jadi menulis puisi yang kurang berhasil bisa diibaratkan seperti makan eceng atau genjer. Di sini yang salah bukan prosesnya, tapi bahan bakunya! Tanaman jenis limnocharis flava ini memang keras kepala,” ujar saya lagi.


“Kalau begitu kedudukan puisi sama dengan tinja dong,” tiba-tiba Kidung menyela. Sejenak saya seperti tergagap, logika yang dipakai teman satu ini ada benarnya juga.


“Kalau dilihat dari asbabul nuzul-nya mungkin saja mirip, tapi bukan berarti menulis puisi sama dengan mengeluarkan tinja. Yang saya gambarkan tadi kan hanya perumpamaan,” ujar saya pelan. “Maka apa yang kita makan sangat menentukan kwalitas dari apa yang akan kita keluarkan. Kalau makanan kita baik dan sehat, maka asupan gizi bagi proses kreatif akan baik dan sehat pula. Makanan itu ibarat bacaan, dengan demikian kita harus banyak membaca. Baik membaca buku maupun membaca alam dan kehidupan,” saya menarik napas dulu. Mengisap rokok dulu.


“Tapi perlu diingat, bacaan atau makanan yang kita santap diusahakan harus baik dan bermutu. Sebab kalau setiap hari hanya menyantap jengkol, petai dan sambal terasi misalnya, bersiap-siaplah kita akan kekurangan gizi. Alih-alih malah sakit perut dan kemudian mencret. Kalau hal itu terjadi, maka puisi yang kita hasilkan akan cair, puisi kita akan becek, tidak kental dan baunya bisa bikin semaput…” saya menyambung sambil terbatuk-batuk.

Kidung tersenyum. Saya menengok ke kiri dan kanan, masih banyak orang yang makan. Saya merasa risih juga, jangan-jangan pembicaraan kami didengar mereka yang sedang menyantap hidangan. Di sisi lain saya juga mulai kebingungan mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan masalah berat dan serius ini dengan bahasa yang merakyat.


“Kang, bukankah makan jengkol dan sambal terasi bagus untuk melatih ketulusan hati? Bukankah untuk menghasilkan puisi yang baik seorang penyair harus hidup prihatin?” Kidung tiba-tiba bersuara. Matanya nampak membelalak, kemudian menyunggingkan senyum.


Dengan pertanyaan tersebut saya benar-benar merasa kena tembak. Kidung telah melempar balik apa yang pernah saya lontarkan beberapa waktu sebelumnya. Dalam sebuah diskusi saya pernah berbicara mengenai ketulusan dengan mengambil contoh kehidupan di pesantren, yang antara lain menyinggung tradisi makan para santri. “Jengkol dan sambal terasi itu konon mengandung nutrisi sufistik yang bisa menumbuhkan ketulusan, keikhlasan dan kesabaran seseorang,” begitulah kurang lebih ucapan saya waktu itu.


Kini gantian saya yang menyeringai. Pertanyaannya tidak saya tanggapi.



***


Setelah sejumlah pameran lukisan di berbagai kota diikutinya, setelah puisi-puisinya banyak dipublikasikan media lokal serta termuat dalam antologi bersama, setelah banyak terlibat menangani kegiatan budaya, Kidung Purnama kemudian ditawari menjadi pembina kesenian di sebuah SMA. Sebagai pembina ekstra kulikuler bukan hanya puisi dan seni rupa yang menjadi tanggung jawabnya, namun juga meliputi musik, teater, tari dan naik gunung. Dengan memegang tugas yang demikian banyak, secara fisik teman yang dulu sering sakit-sakitan ini nampaknya semakin baik, begitu juga dengan kondisi mental maupun spiritualnya. Sejauh ini ia masih terus berkarya, masih selalu optimis dan gembira. Sosoknya juga masih ramping dan rambutnya masih keriting. Ia hidup bahagia dengan seorang istri, dua orang putera dan sebuah vespa yang setia mengantarnya ke mana-mana.


Kidung Purnama selalu mengabari saya jika ada puisi atau cerpen karya anak didiknya yang dimuat media massa, termasuk ketika ia sendiri nampang dengan memakai baju safari bersama kepala sekolah, guru bahasa serta beberapa siswa di Majalah Sastra Horison. Ia juga selalu mengabari saya setiap kali sanggarnya akan mengadakan pementasan atau pameran lukisan. Saya tidak tahu apakah teori mengenai proses kreatif menulis puisi yang dulu pernah saya sampaikan padanya, juga diajarkan kepada anak-anak didiknya sekarang? Mudah-mudahan saja ia tidak mengajarkan teori tersebut sambil makan-makan di kafe atau restoran. []


(2009)

Prev Next Next