UNTUK SEORANG KAWAN DI BANDUNG
Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor
KAWAN, antologi puisi Muktamar yang saya sunting bersama Ahda Imran dan Saeful Badar ini berangkat dengan sebuah beban. Beban tersebut disebabkan pada identifikasi yang terdapat di dalamnya, yakni penyair Jawa Barat. Menjadi beban karena ia menghadapkan sebuah pekerjaan yang berada di wilayah kreatif dengan wilayah admisitratif seperti provinsi Jawa Barat, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari birokrasi negara. Dengan kata lain, beban ini disebabkan adanya dua hal berbeda yang dihadapkan dan kemudian diandaikan pada adanya suatu identitas. Wilayah kreatif yang alamiah dihadapkan pada wilayah admistrasi yang tak alamiah seperti halnya Jawa Barat ini.
Dalam konteks inilah beban itu memunculkan sejumlah pertanyaan; kriteria apa yang bisa kita pakai untuk menyebut seseorang itu sebagai penyair Jawa Barat? Apakah karena ia ditakdirkan beretnis Sunda atau Cirebon? Jika benar demikian halnya, identitas apa yang bisa diberikan pada Diro Aritonang yang peranakan Batak, Juniarso Ridwan yang Jawa, Ahda Imran yang Padang, Pesu Aftarudin yang Sulawesi, Bambang Q-Anees dan Agus R. Sarjono yang Arab, Sylfi Purnamasari yang Tionghoa, Ratna Ayu Budhiarti yang berdarah Belanda atau Cecep Syamsul Hari, yang meskipun namanya Cecep tapi konon keturunan Banjarmasin, misalnya? Lalu mengapa pula antologi ini tidak memasukkan penyair berdarah Sunda yang lain seperti Beni Setia, Doddi Achmad Fawdzy, Toto St. Radik, Wan Anwar atau Herwan F.R. yang kini berdomisili di lain propinsi? Jika identitas penyair Jawa Barat itu menunjuk pada domisili di mana ia tinggal, maka mengapa pula penyair-penyair yang menulis dalam bahasa Sunda tidak dimasukkan? Apakah dengan begitu orang seperti Hadi A.K.S., Etti R.S., dan Chye Retty Isnendes bukan penyair Jawa Barat?
Kawan, sejumlah pertanyaan lain bisa terus bermunculan untuk menambah beban antologi ini. Meskipun demikian, bukan berarti beban-beban itu tidak bisa disederhanakan sama sekali, betapapun hal ini belum sepenuhnya lepas dari semacam keragu-raguan untuk menyebut identitas penyair Jawa Barat dalam antologi ini, yakni mereka yang menulis puisi dalam bahasa Indonesia dan tinggal di wilayah Jawa Barat. Lalu apakah puisi-puisi mereka mampu melukiskan atau mewakili persoalan-persoalan yang terjadi dalam konteks lokalitasnya sehingga melukiskan sesuatu yang khas? Apakah mereka yang disebut penyair Jawa Barat dalam antologi ini karya-karyanya merupakan representasi dari persoalan-persoalan Jawa Barat secara spesifik? Dengan kata lain, apakah mereka benar-benar telah menyuarakan Jawa Barat sebagai salah satu wilayah budaya dalam peta kepenyairan nasional yang beragam ini?
Pertanyaan ini menjadi rumit karena persoalan-persoalan lokalitas secara esensial dan tematis seringkali tidak terjadi pada suatu konteks realitas lokal tertentu, melainkan juga mengapungkan kesadaran-kesadaran yang terjadi di banyak tempat, meski hal itu bukanlah suatu keniscayaan. Satu hal yang mungkin bisa diharap di sini adalah bentuk pengungkapan dari masing-masing penyair, yang berangkat dari persinggungannya dengan realitas di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini kemampuan merepresentasikan kekuatan imajinasi, idiom atau elemen-elemen puitik lainnya.
Meskipun ada puisi yang dianggap bisa melukiskan konteks lokal tertentu seperti yang ditunjukkan oleh puisi “Cirebon, 630 Tahun Kemudian” karya Ahmad Syubbanuddin Alwy atau beberapa puisi karya Diah Hadaning, Ahmad Taufiq Akbar dan Nazarudin Azhar, namun pada akhirnya puisi-puisi dalam antologi ini dipilih berdasarkan kekuatannya sendiri, tanpa perlu terlalu nyinyir pada pembatasan-pembatasan identifikasi yang rumit seperti di atas. Karena itulah penyair yang berasal dari Singaparna misalnya, menjadi sah-sah saja ketika puisinya yang dimuat dalam antologi ini melukiskan suatu daerah di pedalaman Bengkulu. Atau penyair yang sehari-harinya tinggal di Kopo puisinya merujuk pada suatu tempat di Paris dan Den Haag. Begitu juga yang terjadi pada Erwan Juhara, yang nama, wajah maupun intonasi suaranya sangat nyunda, namun puisinya penuh dengan idiom-idiom Tionghoa.
Kawan, tigapuluh penyair dari berbagai daerah yang terdapat dalam antologi Muktamar ini, tentu belum bisa disebut mewakili potret kepenyairan Jawa Barat yang sesungguhnya. Apalagi antologi ini hanya mampu memilih 2 sampai 4 puisi dari masing-masing penyair karena berbagai keterbatasan. Keterbatasan ini adalah soal yang tak terhindarkan karena menyangkut segala sesuatu yang sifatnya teknis, misalnya terbatasnya halaman buku. Kriteria puisi yang dimuat tentu berdasar pada puisi-puisi yang dianggap mewakili gaya pengucapan penyairnya, seperti yang telah kita kenal selama ini. Pencermatan terhadap hal ini, tidak hanya berdasar hanya pada sepuluh puisi yang mereka kirimkan, melainkan juga pada pembacaan atas kepenyairan mereka selama ini.
Sedang penyair-penyair yang mengisi antologi ini dipilih berdasar pada sejumlah kriteria, antara lain pada pencapaian puitik dalam karya mereka, keragaman bentuk pengucapan di antara mereka, kesetiaan dan dedikasi mereka sebagai penyair dan penggiat sastra, serta yang bisa dianggap mewakili daerah atau komunitas tertentu. Meski hal yang terakhir ini tidak terlalu dipaksakan. Adapun pengamatan terhadap mereka dilakukan tidak hanya berdasar pada puisi-puisi yang termuat di media massa atau yang terbit sebagai buku, tapi juga lewat pergesekan langsung saya dengan sejumlah komunitas sastra. Maka jangan heran jika dalam antologi ini akan ditemui banyak nama-nama yang jarang atau tak pernah muncul sama sekali di media massa, meskipun proses kepenyairan mereka sudah berlangsung lama dan berdarah-darah.
Dan karena itulah, kawan, selain menampilkan penyair-penyair yang telah lama dikenal dan mapan seperti Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Diah Hadaning, Diro Aritonang, Cecep Syamsul Hari, Deden Abdul Aziz, Nenden Lilis atau generasi berikutnya seperti Eriyandi Budiman, Eriyanti Nurmala Dewi, Taty Haryati, Erwan Juhara, Nandang Darana, Deddy Koral sampai Syilfi Purnamasari, antologi ini juga memberi tempat bagi nama-nama “asing” dalam peta kepenyairan Jawa Barat seperti Nazarudin Azhar, Sarabunis Mubarok, Ahmad Faisal Imron, Ahmad Taufik Akbar, Darda Surya Pertama, S. Dimarulloh, Nina Minareli, Ashmansyah Timutiah, Nizar Kobani, Endar Syam, Pandu A. Hamzah, Atasi Amin dan Kidung Purnama. Nama-nama yang relatif baru ini selain cukup menjanjikan juga mempunyai semangat dan militansi kepenyairan yang tinggi. Menurut hemat saya, puisi-puisi mereka tak hanya menampilkan kesegaran pengucapan namun juga menyiratkan keragaman.
Tentu saja sejumlah nama penting – atau yang merasa dirinya penting – menjadi tak termuat dalam antologi tipis ini. Memang, sebagai editor saya dan rekan-rekan dituntut tidak hanya memilih nama-nama yang sudah dikenal atau mapan, tapi juga berusaha mencari dan menghadirkan potensi-potensi baru. Saya menyadari kepenyairan di Jawa Barat tidak hanya berlangsung di kota-kota besar atau di kampus-kampus terkenal, tapi juga di kota-kota kecil, di kampung-kampung terpencil, bahkan di pesantren-pesantren yang berada di pedalaman. Kepenyairan di Jawa Barat tidak hanya berkutat di koran atau majalah yang ada rubrik sastranya, tapi juga di buletin, manuskrip, fotocopy atau siaran radio.
Seperti halnya banyak antologi puisi yang terbit dan kemudian disambut dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kriteria pemilihan atau semacamnya, demikian pula agaknya dengan antologi ini. Soal yang wajar dan bahkan sudah semestinya. Hanya saja dalam setiap kriteria senantiasa menyelinap hal-hal yang lahir dari sebuah versi yang mungkin sifatnya agak subyektif. Dan kriteria puisi-puisi dalam antologi ini – seperti juga kriteria penyair yang diundang dalam Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 ini – lahir dari sebuah versi, yakni versi Sanggar Sastra Tasik (SST) sebagai penyelenggara. Sebuah versi yang mempunyai cara pandang sendiri dalam melihat dan memahami peta kepenyairan di Jawa Barat. Seandainya kelak akan digelar juga Muktamar, Munas, Mukernas, Muswil, Muswilsus, Muscab, Kongres Luar Biasa, Konferensi, Konfercab, Sidang Umum, Sidang Istimewa, Rapat Akbar, Rapat Kerja, Rakornas, Rakorwil, Temu Kader, Istighosah, Halaqah, Batsul Masail atau apapun namanya di tempat lain dengan menerbitkan antologi puisi menurut versi yang lain pula, tentu boleh-boleh saja. Dan bagus-bagus saja.
Kawan, pertanyaan apakah antologi ini – seperti juga Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 ini – bisa disebut telah merepresentasikan pertumbuhan dan perkembangan kepenyairan di Jawa Barat, agaknya menjadi beban lain yang terlalu berat. Antologi ini terlalu sederhana untuk menjawab pertanyaan serius, ambisius dan tendensius itu. Banyak soal yang harus dikerjakan untuk pekerjaan raksasa semacam itu. Antologi ini hanya hendak hadir sebagai penanda dari peristiwa Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 yang dilangsungkan di Tasikmalaya. Sebuah peristiwa yang juga hadir sebagai penanda dari adanya geliat kepenyairan di daerah, yang mungkin selama ini luput dari penglihatan, pengamatan atau perhatian para sastrawan, kritikus sastra, pakar sastra, pengamat sastra serta redaktur sastra yang tinggal kota. []
Dalam konteks inilah beban itu memunculkan sejumlah pertanyaan; kriteria apa yang bisa kita pakai untuk menyebut seseorang itu sebagai penyair Jawa Barat? Apakah karena ia ditakdirkan beretnis Sunda atau Cirebon? Jika benar demikian halnya, identitas apa yang bisa diberikan pada Diro Aritonang yang peranakan Batak, Juniarso Ridwan yang Jawa, Ahda Imran yang Padang, Pesu Aftarudin yang Sulawesi, Bambang Q-Anees dan Agus R. Sarjono yang Arab, Sylfi Purnamasari yang Tionghoa, Ratna Ayu Budhiarti yang berdarah Belanda atau Cecep Syamsul Hari, yang meskipun namanya Cecep tapi konon keturunan Banjarmasin, misalnya? Lalu mengapa pula antologi ini tidak memasukkan penyair berdarah Sunda yang lain seperti Beni Setia, Doddi Achmad Fawdzy, Toto St. Radik, Wan Anwar atau Herwan F.R. yang kini berdomisili di lain propinsi? Jika identitas penyair Jawa Barat itu menunjuk pada domisili di mana ia tinggal, maka mengapa pula penyair-penyair yang menulis dalam bahasa Sunda tidak dimasukkan? Apakah dengan begitu orang seperti Hadi A.K.S., Etti R.S., dan Chye Retty Isnendes bukan penyair Jawa Barat?
Kawan, sejumlah pertanyaan lain bisa terus bermunculan untuk menambah beban antologi ini. Meskipun demikian, bukan berarti beban-beban itu tidak bisa disederhanakan sama sekali, betapapun hal ini belum sepenuhnya lepas dari semacam keragu-raguan untuk menyebut identitas penyair Jawa Barat dalam antologi ini, yakni mereka yang menulis puisi dalam bahasa Indonesia dan tinggal di wilayah Jawa Barat. Lalu apakah puisi-puisi mereka mampu melukiskan atau mewakili persoalan-persoalan yang terjadi dalam konteks lokalitasnya sehingga melukiskan sesuatu yang khas? Apakah mereka yang disebut penyair Jawa Barat dalam antologi ini karya-karyanya merupakan representasi dari persoalan-persoalan Jawa Barat secara spesifik? Dengan kata lain, apakah mereka benar-benar telah menyuarakan Jawa Barat sebagai salah satu wilayah budaya dalam peta kepenyairan nasional yang beragam ini?
Pertanyaan ini menjadi rumit karena persoalan-persoalan lokalitas secara esensial dan tematis seringkali tidak terjadi pada suatu konteks realitas lokal tertentu, melainkan juga mengapungkan kesadaran-kesadaran yang terjadi di banyak tempat, meski hal itu bukanlah suatu keniscayaan. Satu hal yang mungkin bisa diharap di sini adalah bentuk pengungkapan dari masing-masing penyair, yang berangkat dari persinggungannya dengan realitas di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini kemampuan merepresentasikan kekuatan imajinasi, idiom atau elemen-elemen puitik lainnya.
Meskipun ada puisi yang dianggap bisa melukiskan konteks lokal tertentu seperti yang ditunjukkan oleh puisi “Cirebon, 630 Tahun Kemudian” karya Ahmad Syubbanuddin Alwy atau beberapa puisi karya Diah Hadaning, Ahmad Taufiq Akbar dan Nazarudin Azhar, namun pada akhirnya puisi-puisi dalam antologi ini dipilih berdasarkan kekuatannya sendiri, tanpa perlu terlalu nyinyir pada pembatasan-pembatasan identifikasi yang rumit seperti di atas. Karena itulah penyair yang berasal dari Singaparna misalnya, menjadi sah-sah saja ketika puisinya yang dimuat dalam antologi ini melukiskan suatu daerah di pedalaman Bengkulu. Atau penyair yang sehari-harinya tinggal di Kopo puisinya merujuk pada suatu tempat di Paris dan Den Haag. Begitu juga yang terjadi pada Erwan Juhara, yang nama, wajah maupun intonasi suaranya sangat nyunda, namun puisinya penuh dengan idiom-idiom Tionghoa.
Kawan, tigapuluh penyair dari berbagai daerah yang terdapat dalam antologi Muktamar ini, tentu belum bisa disebut mewakili potret kepenyairan Jawa Barat yang sesungguhnya. Apalagi antologi ini hanya mampu memilih 2 sampai 4 puisi dari masing-masing penyair karena berbagai keterbatasan. Keterbatasan ini adalah soal yang tak terhindarkan karena menyangkut segala sesuatu yang sifatnya teknis, misalnya terbatasnya halaman buku. Kriteria puisi yang dimuat tentu berdasar pada puisi-puisi yang dianggap mewakili gaya pengucapan penyairnya, seperti yang telah kita kenal selama ini. Pencermatan terhadap hal ini, tidak hanya berdasar hanya pada sepuluh puisi yang mereka kirimkan, melainkan juga pada pembacaan atas kepenyairan mereka selama ini.
Sedang penyair-penyair yang mengisi antologi ini dipilih berdasar pada sejumlah kriteria, antara lain pada pencapaian puitik dalam karya mereka, keragaman bentuk pengucapan di antara mereka, kesetiaan dan dedikasi mereka sebagai penyair dan penggiat sastra, serta yang bisa dianggap mewakili daerah atau komunitas tertentu. Meski hal yang terakhir ini tidak terlalu dipaksakan. Adapun pengamatan terhadap mereka dilakukan tidak hanya berdasar pada puisi-puisi yang termuat di media massa atau yang terbit sebagai buku, tapi juga lewat pergesekan langsung saya dengan sejumlah komunitas sastra. Maka jangan heran jika dalam antologi ini akan ditemui banyak nama-nama yang jarang atau tak pernah muncul sama sekali di media massa, meskipun proses kepenyairan mereka sudah berlangsung lama dan berdarah-darah.
Dan karena itulah, kawan, selain menampilkan penyair-penyair yang telah lama dikenal dan mapan seperti Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Diah Hadaning, Diro Aritonang, Cecep Syamsul Hari, Deden Abdul Aziz, Nenden Lilis atau generasi berikutnya seperti Eriyandi Budiman, Eriyanti Nurmala Dewi, Taty Haryati, Erwan Juhara, Nandang Darana, Deddy Koral sampai Syilfi Purnamasari, antologi ini juga memberi tempat bagi nama-nama “asing” dalam peta kepenyairan Jawa Barat seperti Nazarudin Azhar, Sarabunis Mubarok, Ahmad Faisal Imron, Ahmad Taufik Akbar, Darda Surya Pertama, S. Dimarulloh, Nina Minareli, Ashmansyah Timutiah, Nizar Kobani, Endar Syam, Pandu A. Hamzah, Atasi Amin dan Kidung Purnama. Nama-nama yang relatif baru ini selain cukup menjanjikan juga mempunyai semangat dan militansi kepenyairan yang tinggi. Menurut hemat saya, puisi-puisi mereka tak hanya menampilkan kesegaran pengucapan namun juga menyiratkan keragaman.
Tentu saja sejumlah nama penting – atau yang merasa dirinya penting – menjadi tak termuat dalam antologi tipis ini. Memang, sebagai editor saya dan rekan-rekan dituntut tidak hanya memilih nama-nama yang sudah dikenal atau mapan, tapi juga berusaha mencari dan menghadirkan potensi-potensi baru. Saya menyadari kepenyairan di Jawa Barat tidak hanya berlangsung di kota-kota besar atau di kampus-kampus terkenal, tapi juga di kota-kota kecil, di kampung-kampung terpencil, bahkan di pesantren-pesantren yang berada di pedalaman. Kepenyairan di Jawa Barat tidak hanya berkutat di koran atau majalah yang ada rubrik sastranya, tapi juga di buletin, manuskrip, fotocopy atau siaran radio.
Seperti halnya banyak antologi puisi yang terbit dan kemudian disambut dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kriteria pemilihan atau semacamnya, demikian pula agaknya dengan antologi ini. Soal yang wajar dan bahkan sudah semestinya. Hanya saja dalam setiap kriteria senantiasa menyelinap hal-hal yang lahir dari sebuah versi yang mungkin sifatnya agak subyektif. Dan kriteria puisi-puisi dalam antologi ini – seperti juga kriteria penyair yang diundang dalam Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 ini – lahir dari sebuah versi, yakni versi Sanggar Sastra Tasik (SST) sebagai penyelenggara. Sebuah versi yang mempunyai cara pandang sendiri dalam melihat dan memahami peta kepenyairan di Jawa Barat. Seandainya kelak akan digelar juga Muktamar, Munas, Mukernas, Muswil, Muswilsus, Muscab, Kongres Luar Biasa, Konferensi, Konfercab, Sidang Umum, Sidang Istimewa, Rapat Akbar, Rapat Kerja, Rakornas, Rakorwil, Temu Kader, Istighosah, Halaqah, Batsul Masail atau apapun namanya di tempat lain dengan menerbitkan antologi puisi menurut versi yang lain pula, tentu boleh-boleh saja. Dan bagus-bagus saja.
Kawan, pertanyaan apakah antologi ini – seperti juga Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 ini – bisa disebut telah merepresentasikan pertumbuhan dan perkembangan kepenyairan di Jawa Barat, agaknya menjadi beban lain yang terlalu berat. Antologi ini terlalu sederhana untuk menjawab pertanyaan serius, ambisius dan tendensius itu. Banyak soal yang harus dikerjakan untuk pekerjaan raksasa semacam itu. Antologi ini hanya hendak hadir sebagai penanda dari peristiwa Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 yang dilangsungkan di Tasikmalaya. Sebuah peristiwa yang juga hadir sebagai penanda dari adanya geliat kepenyairan di daerah, yang mungkin selama ini luput dari penglihatan, pengamatan atau perhatian para sastrawan, kritikus sastra, pakar sastra, pengamat sastra serta redaktur sastra yang tinggal kota. []