MENIKMATI TERJEMAHAN PUISI
Acep Zamzam Noor
SEBAGAI orang yang hanya menguasai bahasa Indonesia saya selalu merasa gembira dengan terbitnya karya-karya terjemahan sastra asing, khususnya puisi. Saya selalu ingin mengetahui puisi-puisi dari berbagai negeri, baik negeri yang jauh maupun yang dekat. Baik negeri yang benar-benar asing maupun yang masih serumpun. Baik negeri yang rambut penduduknya pirang maupun keriting. Di tengah maraknya penerbitan karya-karya terjemahan sastra belakangan ini, tetap saja terjemahan puisi masih sulit didapatkan, apalagi terjemahan puisi yang benar-benar enak dibaca. Saya gembira ketika sejumlah penyair pemenang hadiah Nobel terjemahan puisi-puisinya diterbitkan dalam sebuah antologi, lebih gembira lagi karena hasil terjemahannya lumayan enak dibaca. Saya juga gembira ketika mendapatkan beberapa penyair terkenal dunia terjemahan puisi-puisinya diterbitkan secara tunggal, namun untuk yang terakhir ini kegembiraan saya sirna karena hasil terjemahannya ternyata tidak enak dibaca dan bahkan ada yang benar-benar “gelap”.
Saya berani mengatakan “gelap” bukan karena saya memahami bahasa asalnya (kebanyakan terjemahan karya penyair non-Inggris berdasarkan bahasa kedua), namun sebagai pembaca Indonesia saya tidak mendapatkan pencerahan apa-apa dari hasil terjemahannya itu, padahal yang diterjemahkannya adalah karya penyair yang hebat, yang saya bayangkan pasti akan membuat bulu kuduk saya berdiri. Jadi penilaian saya lebih pada bagaimana si penerjemah menggunakan bahasa
Di antara beberapa karya terjemahan puisi yang bisa saya nikmati kebanyakan yang dikerjakan oleh para penyair seperti Hartojo Andangdjaja, Sapardi Djoko Damono, Wing Kardjo, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Leon Agusta, Frans Nadjira, Arief Bagus Prasetyo, Tan Lieo Ie dan Cecep Syamsul Hari. Sayangnya mereka bukanlah orang-orang yang produktif sebagai penerjemah, jadi hasil terjemahan mereka sangatlah sedikit. Hal ini jauh berbeda dengan para penerjemah prosa yang jumlahnya begitu berlimpah, dan mereka bukan hanya dari kalangan sastrawan. Untuk prosa banyak penerjemah umum atau profesional yang hasil terjemahannya juga enak dibaca. Hal ini menunjukkan bahwa menerjemahkan puisi sangat berbeda dengan menerjemahkan prosa. Menerjemahkan puisi bisa jadi sama beratnya dengan menulis puisi itu sendiri, yang tidak cukup dengan bermodalkan kemampuan berbahasa asing serta keterampilan berbahasa
Menerjemahkan prosa mungkin perhitungannya kalimat per kalimat, sedang perhitungan dalam puisi kata per kata. Dengan demikian penerjemah puisi harus mempunyai kepekaan dalam memilih satu kata di antara kata-kata lain yang mungkin sama artinya. Sebagai pembaca yang sehari-hari bergaul dengan puisi tentu saya bisa merasakan kalau ada kata yang masih kurang pas, yang mungkin akan lebih tepat jika menggunakan kata yang lain. Sebagai pembaca saya juga bisa merasakan kalau penerjemahnya kurang kerja keras, kurang gigih dalam memburu kata-kata dan hanya menggunakan kata yang sekenanya atau yang alakadarnya. Saya bisa merasakan kalau penerjemah agak melenceng atau terlalu harfiah dalam menafsirkan sebuah frase atau idiom, seperti juga saya akan merasakan kalau puisi yang diterjemahkan itu sebenarnya bagus namun kebagusannya tidak berhasil diangkat oleh penerjemah.
Dengan kerja keras dan kreativitas yang tinggi dari seorang penerjemah, tak heran jika ada terjemahan puisi yang lebih menggetarkan ketimbang puisi aslinya. Begitu juga sebaliknya, puisi yang tadinya begitu mengharukan namun ketika diterjemahkan justru berubah menjadi puisi yang kampungan. Sebagai pembaca daya khayal saya kadang ikut bermain, ikut merubah, ikut merangkai kata atau menebak ke mana arah dari sebuah frase atau idiom. Menebak apa yang sebenarnya dimaksudkan penyair dan apa yang ditangkap oleh penerjemah. Bagi saya inilah salah satu keasyikan dalam menikmati terjemahan puisi, di mana sebagai pembaca saya dituntut kreatif dan tidak pasif. Sebagai pembaca saya juga dituntut untuk turut mencipta.
Karya-karya terjemahan yang dilakukan Chairil Anwar banyak dinilai orang bagus dan bahkan lebih bagus ketimbang puisi-puisi aslinya, hal ini sangat masuk akal karena Chairil Anwar mengeluarkan energi yang sama besarnya dengan yang ia keluarkan ketika menulis puisi. Sebagai penerjemah Chairil telah ikut mencipta berdasarkan puisi yang diterjemahkannya. Memindahkan kekuatan atau keajaiban sebuah puisi ke dalam suasana dari bahasa sasaran bukanlah hal yang mudah dan merupakan kreativitas yang perlu dicatat dari seorang penerjemah. Dan setiap penyair pasti akan berterima kasih karena telah dibantu penerjemah dalam memindahkan idiom, irama, suasana atau rasa dari bahasa asal yang sangat berbeda dengan bahasa sasarannya.
***
Terbitnya terjemahan puisi-puisi Cina modern dalam sebuah antologi yang berjudul Antologi Puisi Baru Tiongkok Tirai Bambu juga sangat menggembirakan saya. Di samping puisi-puisi modern
Saya sangat menyukai puisi-puisi Cina klasik yang diterjemahkan Sapardi Djoko Damono. Saya sangat menyukai puisi-puisi Tu Fu dan Li Po yang jernih namun merangsang imajinasi. Meskipun lebih bebas dari haiku, puisi-puisi para penyair buhun ini sangat singkat, padat, tepat dan menggetarkan. Seperti seorang pendekar mereka tidak mengumbar gerakan yang kurang berguna, seperti seorang samurai mereka tidak mengobral sabetan pedang yang membabi-buta, dan seperti seorang sufi mereka tak berpanjang-panjang kata. Puisi-puisinya ringkas, namun penuh dengan isi. Puisi-puisinya sepi, namun mengalirkan semacam energi. Saya menyukai mereka seperti menyukai idiom-idiom para sufi. Dan rupanya kesukaan saya tersebut kini sedikit terpuaskan dengan membaca sebagian puisi dari para penyair Cina modern yang termuat dalam antologi Tirai Bambu ini. Membaca puisi-puisi hasil terjemahan Soeria Disastra langsung dari bahasa aslinya saya seperti menemukan kembali jejak-jejak yang dulu ditinggalkan Tu Fu dan Li
Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono yang tidak terlalu banyak menyertakan jumlah penyair namun setiap penyair tampil dengan sejumlah puisi, Soeria Disastra justru mengangkut begitu banyak penyair dengan masing-masing hanya diwakili satu sampai tiga puisi saja. Sebagai upaya mengenalkan peta kepenyairan Cina modern secara umum tentu strategi ini sah-sah saja adanya, meski sebagai pembaca kita merasa kurang “mantap” jika hanya membaca satu atau dua puisi dari seorang penyair, yang belum tentu merupakan puisi terbaiknya. Beberapa puisi pendek karya Hu Shi, Shen Yi Mo, Lu Xun, Li Da Zhao, Lu Da Bai, Zhu Zi Qing, Bian Zhi Lin dan Wang Jing Zhi sangat menyenangkan ketika saya baca sambil tiduran di sofa. Puisi-puisi pendek ini berhasil bukan karena kata-katanya yang ringkas, namun karena secara keseluruhan puisi-puisi tersebut mampu menyentuh kalbu pembaca. Seperti teh yang mengaliri tenggorokan, kata-kata yang digunakannya tidak kekurangan atau kelebihan gula. Saya ingin mengutip “Puisi Mungil” karya Hu Shi:
Bunga yang mekar belum banyak
maka pandanglah sepohon daun baru kuning muda ini
sebagai bunga
Tentu kesenangan saya ini bukan karena tahu bahwa puisi-puisi mereka dalam bahasa aslinya memang bagus, tapi terutama karena Soeria Disasatra sebagai penerjemah berhasil menghadirkan ruh dari puisi-puisi pendek tersebut ke dalam bahasa
Bukan tidak bisa aku merobeknya dengan jemari,
bukan tidak bisa aku menorehnya dengan gunting,
hanya dengan pelahan-lahan
dengan ringan
dengan hati-hati sekali menyingkap bibir
Aku tahu di balik bibir surat itu,
tersimpan kecup rahasianya.
Meskipun demikian, pada sebagian puisi lain yang terdapat dalam antologi ini saya masih sering merasa gemas dan gatal ingin ikut merubah beberapa kata atau kalimat yang menurut saya masih kurang pas, masih kurang kuat, masih bisa dicari lagi kata padanannya yang lain, atau karena menumpuknya kata yang sama maknanya. Atau terlalu setia pada rancang bangun puisi asli hingga diksi dan tipografinya menjadi ganjil dalam bahasa sasaran. Atau bisa jadi karena puisi-puisinya sendiri yang memang tidak potensial untuk diterjemahkan ke dalam bahasa
Saya tiba-tiba teringat pada ucapan Dr. Mikihiro Moriyama dalam sebuah obrolan di rumah saya beberapa waktu lalu. Guru besar Asian Studies dari
(2007)