Share |

Artikel 6

DARI PERTEMUAN KECIL KE PASAR BEBAS


Acep Zamzam Noor



KETIKA panitia Festival Mei 2006 meminta saya untuk membicarakan perkembangan puisi dan kepenyairan di Jawa Barat, tiba-tiba saya teringat pada sejumlah nama yang kini sepertinya terlupakan. Pertama saya teringat Saini K.M., nama yang sangat besar jasanya bagi perkembangan puisi dan kepenyairan di Jawa Barat. Kemudian teringat Suyatna Anirun almarhum yang telah berinisiatif membuka rubrik puisi “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat, di mana Saini menjadi pengasuhnya selama belasan tahun. Dua nama penting ini saya kira bukan hanya membuat puisi menjadi lebih memasyarakat di Jawa Barat, tapi juga telah meletakkan dasar-dasar yang benar tentang bagaimana menulis puisi dan menjadi penyair. Dasar-dasar inilah, diakui atau tidak, telah memberikan warna tersendiri bagi perkembangan puisi dan kepenyairan di tingkat nasional.


Saya kebetulan mengikuti “Pertemuan Kecil” sejak awal dibukanya, tahun 1979. Dengan hanya tiga kolom yang memanjang ke bawah, rubrik ini memuat tiga sampai empat karya penyair yang berbeda dengan disertai sebuah ulasan singkat. Karena ulasan-ulasannya yang menarik dan menggugah, rubrik ini menjadi sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu, paling tidak oleh saya yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah. Aam Muharam, Emmanuel Milala, Brata Anograh Molail, Ade Krustan, Juniarso Ridwan, Gumilar Suparya, Beni Setia, Yessi Anwar, Sutan Iwan Soekri Munaf dan Pipit Senja adalah nama-nama yang terekam indah dalam ingatan saya. Sementara Eddy D. Iskandar, Rachmat Dst, Uddin Lubis atau Karno Kartadibrata saya kenal lebih kemudian.


Dekade 1980-an adalah masa-masa yang menggairahkan. Lewat “Pertemuan Kecil” yang terbit sekali seminggu, nama-nama baru terus bermunculan. Saat itu saya sudah mulai kuliah di Bandung dan sedang sakaw-sakaw-nya pada puisi. Diro Aritonang, Wahyu Goemilar, Moel Mg, Giyarno Emha, Rachman Sabur, Joko Kurnaen, Wawan I.L., Yoffie Cahya, Ook Nugroho, Ramland Rafael Karoskaly, Soni Farid Maulana, Rudi Anggoro, M. Anton Sulistyo, Nia Anjani, Linda Herliany, Aang J. Res, Iwan Ardhi Priyatna dan Saeful Badar merupakan nama-nama yang secara berdesakan menghadirkan karya-karyanya di ruang sempit itu. Jika salah seorang di antara mereka puisinya dimuat Horison atau media bergengsi lain, pasti akan menjadi perbincangan. Ketika sejumlah puisi Ramland Rafael Karoskaly berhasil menembus Kompas setengah halaman penuh misalnya, banyak yang merasa senang sekaligus terguncang. Begitu juga ketika Beni Setia dan Diro Aritonang mendapat undangan untuk tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM), kawan-kawan menggelar syukuran di Rumentang Siang. Undangan dari TIM ini seakan menunjukkan bahwa kepenyairan di Jawa Barat mulai diperhatikan.


Kemudian muncul nama-nama seperti Nirwan Dewanto, M. Padjroel Rachman, Hikmat Gumelar, Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Deden Abdul Aziz, Beni R. Budiman, Wan Anwar, Nurrohman Sudibyo, Wawan Hamzah Arfan, Kijoen, Moeji Esha, Soebagio Mardani, Iim Padmanagara, Bayu Soe, Acep Iwan Saidi, Ahda Imran, Nenden Lilis Aisyah, Ali Akbari, Tajuddin dan Ahmad Syubbanuddin Alwy yang baru pulang dari Yogyakarta. Sesungguhnya kepenyairan Jawa Barat sejak awal tidak selalu memusat di Bandung, meskipun waktu itu “Pertemuan Kecil” menjadi orientasi bagi banyak penyair daerah. Yoffie Cahya, Kijoen dan Tajuddin tinggal di Majalengka, Wawan Hamzah Arfan, Ahmad Syubbanuddin Alwy dan Subagio Mardani di Cirebon, Nurrohman Sudibyo dan Ali Akbari di Indramayu, Bayu Soe dan Iim Padmanagara di Ciamis dan Saeful Badar di Tasikmalaya.


Mengenai domisili penyair ada cerita menarik. Sukma Brata adalah penggemar atau “bobotoh” sastra dari Bandung yang sangat fanatik. Sekali waktu ia begitu penasaran dengan penyair baru yang bernama Nia Anjani. Entah penasaran pada karyanya atau karena ingin berkenalan dengan orangnya sampai-sampai ia mengecek langsung keberadaan penyair tersebut ke redaksi Pikiran Rakyat, kemudian dengan penuh semangat menelusuri alamatnya di Karawang. Namun penyair yang namanya sangat perempuan itu ternyata seorang lelaki. Kasus serupa pernah terjadi juga pada Nia Effendi yang juga ditelusuri alamatnya karena dikira seorang gadis, padahal pengarang yang cerpen-cerpennya sangat romantis itu ternyata lelaki berkumis.


Saini K.M. bukan hanya mengulas puisi-puisi yang dimuat namun juga memberikan banyak wawasan, baik teoritis maupun praktis, seputar puisi dan kepenyairan. Ulasan-ulasannya yang mencerahkan seperti ingin menunjukkan sebuah jalan atau mengenalkan macam-macam jalan dengan segala resikonya. Metode yang dilakukan oleh Saini lewat “Pertemuan Kecil” dan mungkin juga “Kuntum Mekar” pada dekade sebelumnya, seperti layaknya pengajian di pesantren. Bahkan pada intensitas tertentu saya merasakannya sebagai tarekat. Untuk memasuki hutan kepenyairan seperti juga menempuh belantara tasawuf, memang diperlukan seorang mursyid atau guru. Dalam hal ini peran mursyid bukan untuk mempermudah perjalanan atau secara “simsalabim” menyulap seseorang menjadi penyair. Peran mursyid justru untuk selalu mengingatkan pentingnya sebuah proses yang harus dilewati. Pentingnya sebuah kerja keras dan kesabaran.


Dalam banyak ulasannya yang masih saya ingat, Saini K.M. sering menekankan soal ketulusan dan kejujuran dalam menulis puisi. Menurutnya kepenyairan bukanlah profesi seperti halnya dokter atau insinyur. Kepenyairan merupakan sebuah panggilan, maka sifatnya lebih dekat pada “ibadah” ketimbang “pekerjaan” yang menghasilkan uang. Dari ulasan-ulasannya saya menangkap ada dua pesan penting. Pertama, bagi para calon penyair yang memang serius dan berbakat ia menganjurkan untuk terus berproses secara wajar sehingga bisa menyumbangkan sesuatu bagi dunia perpuisian. Kedua, bagi yang kurang serius atau yang bakatnya pas-pasan ia mengingatkan agar tidak memaksakan diri karena sesuatu yang dipaksakan hasilnya akan percuma, bahkan bisa jadi malah mengganggu atau mengotori dunia perpuisian itu sendiri. “Seperti ilalang yang mengganggu tanaman padi,” tulisnya suatu kali.


Bagi calon-calon penyair seperti saya dan kawan-kawan, wejangan di atas begitu tertanam dan bahkan menjadi semacam iman. Saya masih ingat bagaimana Wahyu Goemilar, penyair muda yang paling berbakat pada awal 1980-an, mendeklarasikan sikapnya terhadap puisi di hadapan sejumlah kawan. “Kalau pada umur 25 puisi-puisi kita belum diperhitungkan secara nasional, maka kita harus mundur dari dunia kepenyairan dan cukup menjadi apresiator saja. Bahkan kita harus ikhlas seandainya menjadi pedagang roti,” katanya. Dan ia memang serius: ketika konsentrasi kepenyairannya mulai terpecah dengan keharusan mencari nafkah, ia mundur. Langkah yang diambilnya tak lepas dari isyarat sang mursyid, bahwa untuk ikut memajukan dunia perpuisian tidak selalu harus menjadi penyair. Puisi juga butuh apresiator yang baik.


Di lain pihak keseriusan ditunjukkan oleh Beni Setia, Juniarso Ridwan dan Soni Farid Maulana yang terus menerus menghasilkan karya sampai hari ini. Meskipun memangku berbagai jabatan di pemerintahan, karya-karya Juniarso terus hadir. Begitu juga Soni yang sibuk sebagai wartawan, buku-bukunya terus mengalir. Keseriusan yang lain ditunjukkan oleh Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari dan Wan Anwar. Kini mereka menjadi tiga serangkai yang mengelola Horison, majalah sastra yang pernah sangat berpengaruh itu. Sementara Nirwan Dewanto, M. Padjroel Rachman, Ahmad Syubanuddin Alwy, Hikmat Goemelar, Ahda Imran, Saeful Badar dan Nenden Lilis Aisyah masih terus berkiprah, baik tetap sebagai penyair maupun bergeser sedikit menjadi pendidik, wartawan, penggiat atau pengamat.


Pada dekade 1990-an atmosfir kepenyairan di Jawa Barat sedikit lain. Saini K.M. sudah tidak menjadi penjaga gawang lagi. “Pertemuan Kecil” kemudian menjadi semacam “pasar bebas”. Beragam ekspresi muncul dengan merdeka. Bentuk-bentuk pengucapan terus dicoba. Tak heran kalau puisi-puisi sosial, politik atau yang berbau porno hadir leluasa. Penerbitan indie label menjadi alternatif bagi yang punya dana. Bersamaan dengan itu muncul pula komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah. Bandung menjadi bukan kiblat lagi, sebab ada Cirebon, Indramayu, Majalengka, Tasikmalaya atau Ciamis yang orientasinya berlainan. Bahkan kota-kota kecamatan seperti Ciparay, Cililin, Pamanukan, Kadipaten, Wanaraja, Cibatu atau Singaparna masing-masing mempunyai penyairnya sendiri.


Dengan demikian puisi masih terus diproduksi. Kepenyairan terus dirayakan dengan berbagai kegiatan. Apresiasi sastra terus digalakkan hingga ke sekolah-sekolah. Juga nama-nama baru terus bermunculan: Eriyandi Budiman, Bambang Q-Anees, Nandang Darana, Erwan Juhara, Doddy Ahmad Fawdzy, Deddy Koral, Herwan F.R., Lukman Asya, Nazaruddin Azhar, Iskandar Barlian, Matdon, Katherina Arm, Eryanti Nurmala Dewi, Rini Kuswartini atau Shinta Kusumawati. Tanpa menunggu terlalu lama, sederet nama lain kemudian menyusul: Pandu A. Hamzah, Sarabunis Mubarok, Ahmad Faisal Imron, Ujianto Sadewa, Darda Surya Pertama, Diki M. Sodik, Nina Minareli, Ratna Ayu Budiarti, Syilfi Purnamasari, Dian Hartati dan masih banyak lagi. Dari sudut kuantitas kepenyairan di Jawa Barat bukan hanya semakin marak, tapi juga cukup lengkap untuk dipetakan.


Dengan maraknya “pasar bebas” dan riuhnya kemerdekaan berekspresi belakangan ini, masalah kedalaman dan kekhusyukan dengan sendirinya menjadi sedikit terabaikan. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa karya penyair sekarang banyak yang instan, karena hal ini masih perlu diperdebatkan. Hanya saja saya melihat seperti ada proses yang tidak dilewati, seperti ada kerja keras dan kesabaran yang kurang dihayati. Seperti ada sunyi yang belum benar-benar diselami. Kepenyairan kemudian menjadi sesuatu yang selebral, sesuatu yang bersifat pergaulan. Di Bandung saya sulit membedakan mana penyair, wartawan, aktivis politik, fotografer, calon rocker atau event organizer. Mereka kongkow di kafe yang sama, membicarakan hal yang serupa, dengan idiom yang tak jauh beda. Begitu juga gaya rambut dan cara berpakaian mereka. Saya menjadi tidak bisa membayangkan akan lahir lagi penyair setangguh Rustandi Kartakusumah, Wing Kardjo atau Karno Kartadibrata yang sanggup hidup membujang demi puisi. Atau seperti Saeful Badar yang nekad keluar dari pegawai negeri. Atau paling tidak seperti Wahyu Goemilar yang berani meninggalkan kepenyairan, justru untuk kepentingan puisi itu sendiri.


Zaman terus berubah, Tuan. Masalah kedalaman dan kekhusyukan, seperti juga masalah keterpanggilan menjadi seorang penyair, memang sulit untuk dijelaskan karena sangat berkaitan dengan sikap mental orang per orang. Namun begitulah gambaran umum dunia kepenyairan, termasuk kepenyairan di Jawa Barat sekarang ini.

(2006)


Prev Next Next