PUISI DAN BULU KUDUK
Acep Zamzam Noor
SEBAGAI seorang praktisi yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan sastra, barangkali cara saya menikmati puisi agak “ngawur” jika dibanding dengan mereka yang paham teori-teori sastra, khususnya teori puisi. Saya selalu kebingungan jika ditanya puisi yang seperti apakah yang baik itu. Saya juga akan kebingungan jika ditanya bagus mana antara puisi cinta dan puisi protes, antara puisi pendek dan puisi panjang, antara puisi yang sulit dan mudah dipahami, atau puisi yang ditulis wanita dan lelaki. Saya selalu menjawab bahwa puisi yang baik adalah puisi yang menggetarkan pembacanya, tak peduli apakah itu puisi cinta atau protes, puisi pendek atau panjang, mudah atau sulit dipahami, ditulis wanita atau lelaki. Jadi ukurannya adalah bulu kuduk. Jika saya membaca sebuah puisi dan saya merasa tergetar hingga bulu kuduk saya merinding, apalagi jika tubuh saya sampai menggigil, maka puisi yang saya baca itu adalah puisi yang baik. Puisi yang bisa memberikan pengaruh kepada pembacanya.
Ketergetaran saya terhadap sebuah puisi tentu saja relatif. Saya bisa saja tergetar oleh nama penyairnya yang puitis atau aneh. Tapi di lain pihak saya juga bisa terganggu oleh nama penyair yang lebih mengesankan nama seorang ketua partai, kepala desa, satpam atau bidan, meskipun sebenarnya puisinya lumayan. Saya selalu tergoda untuk mengubah nama-nama penyair muda yang rasanya kurang pas sebagai nama penyair.
Dalam membaca puisi pertama-tama saya akan tertarik pada cara penyair dalam mengungkapkan sesuatu. Bagi seorang penyair ungkapan atau idiom ini sangat penting, sebab inilah yang akan membedakan antara penyair dengan penyanyi dangdut misalnya, atau antara penyair yang satu dengan penyair lain. Ungkapan atau idiom ini erat sekali kaitannya dengan bahasa. Seorang penyair yang bisa mengungkapkan diri dengan cara yang segar atau bahkan mengejutkan, biasanya penyair tersebut telah menguasai bahasa dengan baik. Sedang mengenai penguasaan bahasa, menurut saya sederhana saja: seorang penyair yang mampu mempergunakan alat-alat puitiknya (dalam hal ini kata-kata) secara efektif dan sugestif, pas, tidak kekurangan garam atau kelebihan gula. Penguasaan bahasa seorang penyair akan memunculkan semacam tenung atau sugesti bagi pembacanya.
Menguasai bahasa tentu bukan satu-satunya syarat. Ketajaman pikiran, kepekaan perasaan, kekayaan imajinasi, keterampilan memainkan simbol, metafor dan makna, juga memilih sudut pandang terhadap suatu obyek adalah hal lain yang penting. Menulis puisi adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan. Membaca puisi adalah menangkap kilatan-kilatan pikiran dan perasaan yang diungkapkan penyair. Seorang pembaca akan tergetar perasaannya dan merinding bulu kuduknya jika kilatan-kilatan pikiran dan perasaan yang ditembakkan sang penyair mengenai sasarannya, yakni pikiran dan perasaan pembaca yang terdalam. Ketergetaran ini bukan semata-mata karena paham apa yang disampaikan penyair namun bisa juga karena cara penyair menyampaikan sesuatu yang menyegarkan, mengejutkan dan di luar dugaan. Dengan demikian puisi mampu memberikan pencerahan pada pembacanya.
Dalam membaca antologi Bunga Yang Berserak karya sepuluh penyair dan cerpenis wanita Jawa Barat saya memulainya tidak dengan mencari-cari tema yang ada hubungannya dengan wanita seperti gender, patriakhi, ketertindasan oleh kaum lelaki, penentangan terhadap poligami dan lain sebagainya. Yang saya lakukan justru mengamati nama-nama penyairnya dulu. Eriyanti Nurmala Dewi, Heni Hendrayani, Katherina, Nenden Lilis Aisyah, Nina Minareli, Nuning Damayanti, Ratna Ayu Budhiarti, Shinta Kusumawati, Tetet Cahyati dan Chye Retty Isnendes adalah nama-nama yang indah (paling tidak dari unsur bunyi) dan cocok untuk nama seorang penyair. Nama Chye Retty Isnendes yang pemenang Hadiah Rancage bahkan mengingatkan saya pada pemenang Hadiah Nobel dari Spanyol, Juan Ramon Jiminez. Sedang nama Katherina rasanya terlalu pendek dan perlu sedikit dipoles lagi dengan menambahkan nama lain, misalnya menjadi Katherina Hamijaya, Katherina Tarmana, Katherina Rosada, Katherina Ridwan atau Katherina Setiawan. Rasanya lebih menggetarkan dengan dua suku kata seperti Grazia Dalleda dari Italia, Gabriela Mistral dari Chili atau Anne Lennox dari Amerika.
Dari jam terbang yang lumayan ini nampak bahwa persoalan teknis sudah bukan persoalan utama mereka lagi. Puisi-puisi mereka yang disunting Soni Farid Maulana untuk antologi ini umumnya lancar, jelas apa yang ingin diungkapkan dan tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Tetet Cahyati, Heni Hendrayani, Nuning Damayanti dan Shinta Kusumawati banyak berbicara tentang perasaan wanita dalam hubungannya dengan alam, lingkungan dan kasih sayang. Puisi-puisi mereka liris dan bening, menggunakan metafor-metafor alam yang menyaran. Atau metafor dari benda-benda yang akrab dalam keseharian. Simak puisi Heni Hendrayani berjudul “
Sedingin kamar dengan kapur
Melepuh. Sedingin ranjang yang kau
Tinggal pergi ke negeri jauh, dan aku
Terbaring di situ dijaring kesepian
Dan kesunyian bagai sebutir batu
Ungkapan senada dengan metafor yang lebih kental unsur alamnya nampak pada puisi “Setelah Hujan”, “Catatan Luka”, “Bulan Kemarau”, “Sepanjang Masa” dan “Cahaya Jiwa” karya Tetet Cahyati. Dalam puisi-puisi pendeknya ini Tetet bagaikan seorang pelukis cat air yang menggambarkan perasaan terdalamnya dengan goresan yang hemat namun tepat. Tetet banyak berpuisi tentang cinta, kerinduan dan harapan, yang menurutnya harus dimiliki oleh seorang manusia, meski dalam kondisi apapun:
Masih tersisa pada denyut nadi
Sekeping semangat yang terus berjalan
Dan tak boleh pudar
Pada puisi-puisi Nuning Damayanti dan Shanti Kusumawati perasaan-perasaan serupa diungkapkan dengan bait yang agak panjang dan kalimat-kalimat yang melebar seperti nampak pada “Aku Dan Burung Dara”, “Sabtu Malam Di Roppongi”, “Mimpi Pulang” dan “Duh Gusti” karya Nuning, juga pada “Pintu Mati”, “Nyanyian Ibu” dan “Belitung Delapan” karya Shinta. Pada puisi-puisi Nuning, nampak penyair tidak hanya menggunakan metafor alam seperti angin, daun atau burung namun juga menggambarkan sejumlah tempat di luar negeri untuk menegaskan perasaan kesepiannya.
Dalam kesusastraan
Metafor-metafor yang subyektif seperti itu juga nampak pada beberapa penyair wanita dalam antologi ini, mereka adalah Nenden Lilis Aisyah, Eriyanti Nurmala Dewi, Katherina, Nina Minareli dan Ratna Ayu Budhiarti. Jika Heni, Tetet, Nuning dan Shinta ungkapan maupun metafornya mudah diurai, maka empat penyair terakhir ini sedikit lebih sulit. Namun kesulitan mengurai ungkapan dan metafor mereka tidak mengarah pada kegelapan, tapi lebih pada keketatan pilihan kata. Puisi-puisi mereka tidak terlalu transfaran, namun sedikit berselimut kabut.
Nenden dengan puisinya “Pengintai”, yang dari bentuknya sangat sederhana namun menyimpan kedalaman perasaan. Nampaknya penyair ingin bercerita tentang hubungan manusia yang didasari kecurigan sehingga saling mengintai satu sama lain. Hubungan yang tidak alamiah ini akan berdasar pada hubungan kepentingan, yang pada ujungnya adalah saling curiga: Namun, si ringkih yang tergopoh dari pintu/ dengan gumaman kacau dan hujan anyir dari mulutnya/kerap nengusirku, menyuruh kembali ke ujung. Nada yang sama namun dengan wilayah yang lebih luas dari sekedar hubungan antar manusia nampak pada puisinya “Que Sera Sera”, Menuju Negeri Dingin” dan “Di Jembatan Merabeau”. Tiga puisi terakhir ini bukan sekedar catatan perjalanan yang lanskapis.
Eriyanti Nurmala Dewi tampil dengan puisi-puisi cinta dan kepeduliannya pada nasib wanita. Namun saya lebih tertarik dengan puisi-puisi cintanya yang ditunjukan pada lawan jenis seperti “Percakapan”, “Monolog” dan “Tembang Cinta” ketimbang puisi-puisi gendernya. Eriyanti yang sudah menulis sejak dekade 1980-an tentu mempunyai keterampilan dalam mengolah perasaan dan pikiran dalam wujud kata-kata. Puisi-puisi cintanya, terutama yang berjudul “Percakapan” dan “Monolog” terasa segar karena berhasil memadukan bentuk gumam dan percakapan. Bahasanya lincah, dengan metafor-metafor yang sensual dan menggoda. Terasa adanya keseimbangan antara gairah yang menggebu dan kesadaran mengontrol diri. Sementara dalam puisi “Tembang Cinta” yang cenderung lugas dan ekspresif, kata-kata yang digunakannya masih tetap terjaga:
puisi terpanjang adalah kau
mimpi terpanjang adalah kau
kau berkelindan dengan dukaku
perapian yang menghangatkan kenyataan
Katherina yang jam terbangnya hampir sama dengan Eriyanti menampilkan metafor-metafor yang juga menggoda.
Nina Minareli tergolong pendatang baru yang cukup produktif dalam menulis puisi. Nampaknya penyair ini seorang yang gelisah dan kegelisahannya sangat terasa pada pilihan-pilihan metafornya yang cenderung subyektif. Membaca puisi-puisi Nina seperti memasuki lorong dan kita dipaksa untuk sama-sama mencari cahaya. Nada puisinya seperti menekan, dengan kalimat-kalimat panjangnya yang memberat. Puisi-puisi seperti ini membutuhkan keterampilan berbahasa yang baik, jika kurang hati-hati akan mudah sekali tergelincir pada ungkapan yang gelap.
Puisi “Langit Malam” misalnya, pada awalnya sangat menggoda karena metafor-metafornya yang liar terasa segar dan mengejutkan. Namun jika membacanya lebih teliti kita akan ketemu juga dengan pilihan-pilihan kata yang kurang mendukung satu sama lain, bahkan saling mematahkan. Sedang dalam puisinya yang berjudul “Aku Ingin Bertanya”, “Air”, “Sendiri” dan “Sebuah Catatan” nampak Nina lebih terjaga dalam mengendalikan kata-katanya yang mengalir deras seperti air. Kita cuplik bagian akhir dari “Aku Ingin Bertanya”:
Tapi aku ingin bertanya lagi
Saat aku melukismu di bumi
Yang lain, memagari purnama
Dengan warna tembaga keyakinan
Pada dinding tua yang bisu
Aku terkurung dalam sekarat
Memujamu, saat kudengar suaramu
Seperti saat kudengar syair-syair
Kudusmu mengalir bersama ciuman
Di depan halaman rumahmu yang kekal
Pendatang baru yang lain adalah Ratna Ayu Budhiarti. Penyair rupawan yang dikagumi Soni Farid Maulana dan Godi Suwarna ini puisi-puisinya cukup segar dan menjanjikan. Ayu mengungkapkan perasaannya dengan santai dan jujur, kadang dalam beberapa hal terkesan sensual dan berani. Ayu memadukan antara narasi, celoteh dan gumam dengan menggunakan simbol-simbol yang akrab dalam kesehariannya.
Seperti halnya Nina, puisi-puisi Ayu sangat ekspresif dan spontan, namun terkesan agak tergesa-gesa. Di antara ungkapan-ungkapannya yang menarik, masih terselip satu dua kata yang mengganggu. Jika lebih didalami dengan terus melakukan pertimbangan dan perhitungan yang keras terhadap pilihan kata, mungkin hasilnya akan lebih menggetarkan dan tidak hanya sekedar ungkapan perasaan belaka:
Sayang,
hari ini tak ada cerita menarik
kemarin karibku kawin dan
sebentar lagi nganggur
(ah, tidak! Mungkin minggu depan
ada jatah sisa tukang sulap)
bagaimana taman bungamu, masih
penuh mawar berduri atau kau ganti
jadi kebun jagung?
Tapi apakah kita tergetar membaca puisi-puisi dalam antologi Bunga Yang Berserak ini? Antara tergetar dan tergoda jelas ada bedanya. Tergoda adalah langkah awal ketertarikan kita, sedang tergetar adalah keterlibatan kita di dalamnya. Saya sudah tergoda tapi belum cukup tergetar. Banyak puisi yang potensial untuk bisa menggetarkan pembaca, namun masih dibutuhkan kesabaran untuk menuntaskannya. Puisi-puisi potensial tersebut sepertinya belum selesai, di sana-sini masih ada sesuatu yang mengganjal. Entah apa.
(2003)