PENYAIR DAN POLIGAMI
Acep Zamzam Noor
DI TENGAH menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan partai politik, di tengah perilaku wakil rakyat yang semakin mirip pelawak, melambungnya harga-harga bahan pokok serta melemahnya daya beli masyarakat seiring mahalnya bensin, listrik dan telepon. Di tengah ledakan bom, kebakaran pasar, banjir tahunan, pembunuhan di bioskop dan kerusuhan sosial yang bisa terjadi kapan dan di mana saja. Di tengah krisis kepemimpinan dan maraknya orang-orang yang berambisi jadi pemimpin, calon gubernur yang jumlahnya ratusan, calon walikota yang berakhir di pengadilan, testing calon pegawai negeri yang dilelang seperti pakaian, gaji wakil rakyat yang fantastik, tunjangan pejabat yang akrobatik dan habisnya dana untuk pembangunan oleh anggaran rutin Pemda.
Di tengah praktek KKN yang rapih dan canggih, yang dilakukan bukan saja oleh eksekutif tapi juga legislatif, penipuan jemaah haji yang melibatkan kiai, penggalian prasasti oleh seorang menteri dan kegilaan kolektif yang melanda negeri dangdut ini. Di tengah munculnya Inul, sibuknya para ulama menafsirkan goyang pinggul, senyum Amrozi yang manis, Imam Samudera yang berkumis tipis, fenomena uang
Wilayah seniman adalah wilayah kreativitas. Seorang seniman bisa khusyuk di belakang meja, bisa asyik di studio, bergulat di bengkel, jumpalitan di panggung, berpameran di mall, main drama di pasar, baca puisi di masjid, ngamen di terminal dan bahkan berunjuk rasa bersama para mahasiswa di gedung DPR. Wilayah kreativitas sangat luas dan terbuka. Maka dengan keluasan wilayahnya, seorang seniman tak perlu merasa stres dengan situasi serba sulit yang kebetulan tengah melanda negeri ini. Seorang seniman harus bergembira, begitu pesan Sutardji Calzoum Bachri. Dan memang demikianlah seharusnya. Biarlah para pejabat dan pegawai negeri saja yang stres. Biarlah para wakil rakyat saja yang stres. Biarlah orang-orang partai saja yang stres. Biarlah mereka yang berambisi jadi lurah, bupati, gubernur dan presiden saja yang stres.
Seniman harus merasa bersyukur karena di tengah kebangkrutan nasional yang parah ini, di tengah rasa malu sebagai bangsa beradab yang tak tertahankan ini, secara kebetulan senimanlah yang bisa disebut masih “diuntungkan”. Seorang penyair misalnya, jelas harus bersyukur dan bergembira karena begitu banyak bahan dari situasi yang sepertinya tak masuk akal ini yang bisa diekspresikan menjadi ratusan puisi. Begitu juga seorang pelukis, harus lebih bergembira karena situasi politik, ekonomi dan sosial negeri ini semakin menarik untuk diekspresikan sebagai karya seni rupa kontemporer. Seniman teater juga harus bergembira karena bisa mementaskan happening art di Senayan dan ditonton ribuan
Meskipun demikian, tentu saja tidak berarti dengan berekspresi secara riang gembira lewat kesenian maka persoalan besar negeri ini kemudian menjadi selesai: harga-harga akan turun secara drastis dan krisis bisa diakhiri. Seniman bukan tukang sulap. Juga bukan penguasa. Menurunkan harga dan mengakhiri krisis adalah kewajiban para pengelola negara. Tugas para eksekutif dan legislatif, tugas para penguasa yang sudah dibayar sangat besar untuk itu. Seorang seniman, dengan kreativitas dan kegembiraannya paling tidak telah melibatkan diri secara tulus pada persoalan bangsanya, pada lingkungannya dan menjadi saksi zaman yang otentik lewat karya-karyanya, yang mungkin kelak akan menjadi sebuah sumbangan yang sangat berharga. Dengan kata lain, seorang seniman paling tidak telah memberikan kegembiraan atau inspirasi kepada lingkungannya, memberikan pencerahan kepada tetangganya. Bukan sebagai begawan atau pelawak, tapi sebagai bagian dari anggota lingkungannya. Sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.
Dalam antologi puisi yang berjudul Poligami ini ada sekitar duapuluhan penyair yang tergabung dalam Sanggar Sastra Tasik (SST), yang dengan kegembiraannya terus menulis puisi dari hari ke hari.
Yang jelas, dalam beberapa tahun terakhir ini mereka telah menunjukkan konsistensi dan militansinya sebagai penyair. Memang, tak semua yang menulis puisi ini berpretensi menjadi atau ingin disebut penyair. Beberapa di antara mereka menulis hanya karena kesenangan, karena pelarian dari satu masalah, karena butuh pelepasan atau perlu katarsis dari rutinitas sehari-hari.
Kondisi kepenyairan semacam inilah yang kemudian mengilhami saya untuk memberi judul antologi puisi ini Poligami. Kebetulan para penyair yang puisi-puisinya dimuat dalam antologi ini hampir semuanya mempunyai aktivitas lain, pekerjaan lain, bisnis lain, tugas lain dan keterampilan lain, selain menulis puisi. Aktivitas mereka tidak mono, tapi stereo. Mereka bukan hanya penyair, tapi punya profesi lain. Pendeknya, para penyair yang terangkum dalam antologi ini semuanya berpoligami.
Jika judul Poligami ini kemudian seperti menyindir perilaku para pejabat dan wakil rakyat di Tasikmalaya yang tengah berlomba-lomba berpoligami (karena mempunyai aktivitas lain, pekerjaan lain, bisnis lain, proyek lain, rumah lain, mobil lain dan juga istri lain), sungguh itu sebuah kebetulan belaka. Poligami, selain telah menjadi gambaran mutakhir kondisi sosial politik di Tasikmalaya ini, juga merupakan gambaran yang khas dari kepenyairan di
Keduapuluh penyair ini tentu saja belum bisa menggambarkan potret kepenyairan Tasikmalaya yang seutuhnya. Masih banyak penyair lain yang tidak termuat ke dalam antologi ini dengan berbagai alasan, salah satunya adalah keterbatasan halaman yang ujungnya adalah dana. Banyak nama yang pernah masuk dalam antologi yang diterbitkan SST sebelumnya, tak masuk dalam antologi ini. Begitu juga sebaliknya. Berbeda dengan antologi-antologi yang lalu, antologi ini mencoba untuk selektif, meski belum bisa sepenuhnya. Antologi ini merupakan seleksi dari puisi-puisi yang pernah muncul di buletin Puitika dan forum-forum pembacaan puisi yang biasanya disertai penerbitkan antologi puisi sederhana.
Selain nama-nama yang sudah mempunyai jam terbang lumayan, juga ada beberapa nama baru yang dianggap menjanjikan. Dasar pemilihan terhadap puisi dari penyair-penyair ini penekanannya adalah pada penguasaan bahasa. Dengan kata lain, puisi-puisi yang dari segi kebahasaan tidak terlalu bermasalah meski belum bisa dikatakan “khatam”. Meskipun begitu, di antara mereka ada beberapa yang telah menunjukan kesegaran pengucapan serta pencapaian puitik yang mengesankan.
Aku harap kau tak pernah mengingat kenangan
Saat kita bertukar kelamin
Di persimpangan jalan yang menggelisahkan
Kekasih, jangan kausentuh lagi dada ini
Sebab aku telah kehilangan payudara yang kaupuja
Kekasih, rampaslah bintang itu
Dari setiap sudut langitku
Aku telah mengubur birahiku
Di ladang hati yang membangkai
Cukuplah, kau mewakili ribuan lelaki
Yang menawarkan mimpi
Nina Minareli, Sarabunis Mubarok, Yusran Arifin, Enung Sudrajat dan Kidung Purnama tampil dengan puisi-puisi liris yang kental, dengan ungkapan yang berlapis-lapis. Puisi-puisi mereka merupakan kontemplasi tentang eksistensi, religiusitas, refleksi sosial sampai soal waktu dan kematian. Sementara kesegaran pengucapan dan eksperimentasi nampak jelas pada puisi-puisi Eriyandi Budiman, Yadi Mafie, Nizar Kobani, Iwan Koeswanna, Ratna Ayu Budhiarti dan Ashmansyah Timutiah. Mereka bukan saja bereksperimen dalam idiom, dengan mengangkat bahasa sehari-hari misalnya, tapi juga dalam diksi dan rancang bangun puisi.
Meski sudah menunjukkan kekentalan, kesegaran, eksperimentasi serta keragaman tema, namun dalam beberapa hal masih ditemukan adanya semacam “ganjalan” yang mungkin disebabkan oleh kekurangsabaran penyairnya dalam menyelesaikan sebuah puisi. Sebuah puisi, bukan hanya lahir dari semangat dan kerja keras, tapi juga dari kesabaran penyairnya dalam menimbang, memilih, merubah, mengganti dan membuang kata-kata. Juga dari kesabaran penyairnya dalam memutuskan apakah puisi tersebut selesai atau belum.
Seorang penyair jangan kebelet seperti ketua partai yang ingin jadi bupati. Atau seperti sekda yang tak tahan ingin jadi walikota. Atau seperti penyanyi dangdut yang ingin buru-buru rekaman. Seorang penyair harus melakukan koreksi dan revisi yang terus-menerus terhadap puisi maupun dirinya sendiri. Juga melancarkan kritik yang keras dan kejam pada puisi dan dirinya sendiri.
(2003)