Share |

Artikel 14

POSISI SAINI



Acep Zamzam Noor


SAYA mengenal nama Saini K.M. lewat ulasan-ulasannya tentang puisi yang sangat memukau di lembaran “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat, sejak tahun 1979. Bagi seorang pemula yang dahaga seperti saya, membaca ulasan-ulasan tersebut seperti mendapatkan siraman rohani yang sangat menyegarkan. Saini membahas teknik-teknik dasar menulis puisi seperti tema, pencitraan, rancang bangun dan proses kreatif dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Bukan hanya teknik-teknik dasar tadi, tapi juga soal logika dan bahasa puisi yang sering membingungkan bagi penyair pemula. Yang paling mengesankan bagi saya adalah ketika secara bersambung menguraikan hubungan antara seniman dan masyarakat. Di sini Saini seperti seorang kiyai yang mengajarkan kepada santri-santrinya tentang pentingnya “akhlak” bagi seorang penyair. Saini menekankan pentingnya ketulusan dan kejujuran sebagai syarat terciptanya puisi yang baik. Menurutnya, seorang penyair menulis puisi harus karena dorongan murni dari dalam dirinya, bukan karena pengaruh dari luar seperti ingin terkenal, ingin berpengaruh, ingin berkuasa atau ingin sekedar disebut “penyair”. Menulis puisi karena dorongan popularitas hanya akan menghasilkan puisi yang dibuat-buat. Ulasan-ulasannya yang seperti petuah ini terus hidup dalam pikiran saya hingga kini. Ulasan-ulasannya ini pula yang kemudian membuat saya mampu membedakan mana penyair dan mana penyanyi dangdut, meskipun keduanya sama-sama seniman. Mana seniman dan mana politisi, meskipun keduanya sama-sama penting untuk sebuah negara.


Saini K.M. mungkin termasuk penyair yang sangat sulit ditemukan puisi-puisinya, seperti halnya puisi-puisi Goenawan Mohamad pada tahun 1980-an. Meski saya sudah akrab dengan ulasan-ulasannya tentang puisi namun saya jarang sekali membaca puisi-puisinya. Dari majalah-majalah lama saya hanya menemukan satu dua puisinya. Pada pertengahan 1980-an saya menemukan kumpulan puisinya Rumah Cermin, lalu disusul Sepuluh Orang Utusan yang terbit 1989. Sementara kumpulan puisi pertamanya Nyanyian Tanah Air yang terbit tahun 1968, yang konon pernah dibahas Goenawan Mohamad dan disebut sebagai puisi-puisi platonis hanya saya dengar dari cerita orang saja.


Saya tidak tahu kenapa Saini K.M. sebagai penyair jarang sekali mempublikasikan puisi-puisinya di media massa. Saya sempat curiga jangan-jangan sudah tidak berkarya lagi. Atau karena posisinya sebagai penjaga gawang puisi “Pertemuan Kecil” yang suka mengkritisi karya-karya orang lain, dan mungkin saja hal yang sama diterapkannya juga pada karya-karya sendiri. Tapi bisa jadi karena sikap menahan diri yang mungkin ada hubungannya dengan “akhlak” kepenyairan yang sering difatwakan kepada calon-calon penyair yang menjadi santrinya. Perilaku jarang mempublikasikan puisi sebenarnya juga menjangkiti para penyair terkemuka Indonesia lainnya, namun para penyair lain cukup aktif membacakan puisi-puisinya di depan publik, bahkan di layar telivisi bersama para menteri dan selebriti. Setahu saya Saini sangat jarang membacakan puisi-puisinya di depan publik.


Setelah terbit kumpulan puisi terbarunya yang juga berjudul Nyanyian Tanah Air pada tahun 2000, kecurigaan saya bahwa Saini K.M. sudah tidak berkarya lagi ternyata keliru. Saini masih produktif. Dalam bukunya ini banyak puisi yang ditulis pada dekade 1980-an dan 1990-an di luar yang pernah termuat dalam Sepuluh Orang Utusan. Sikap menahan diri dan “tidak kebelet” yang dimiliki Saini nampaknya merupakan perwujudan dari sikap kepenyairannya. Sikap seperti inilah yang kemudian menunjukkan bahwa maqom penyair memang berbeda dengan penyanyi dangdut. Begitu juga dengan politisi. Dalam salah satu pesannya untuk para penyair muda, seperti seorang kiai Saini mengingatkan:


Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu

Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal

Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi

: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya


Seperti juga bagi penyanyi dangdut, bagi politisi pesan ini tak akan berbunyi apa-apa. Politisi akan berusaha mengejar setiap kesempatan dan merebut semua peluang yang berkelebat di depannya. Karir mereka kadang sangat ditentukan oleh mahluk yang namanya kesempatan dan peluang itu. Tak heran jika mereka akan menempuh segala macam cara demi kepentingan karirnya tersebut. Sementara bagi seorang Saini K.M. kepenyairan bukanlah karir, tapi lebih pada keterpanggilan. Keterpanggilan untuk rela menjadi sajen yang tak dikenal. Rela untuk menjadi sekedar sepi. Kerelaan untuk dilupakan orang. Kerelaan yang mustahil akan muncul dari seorang penyanyi dangdut atau politisi.


Pada dekade 1970-an umumnya penyair-penyair Indonesia muncul melalui jalur “birokrasi kesenian” seperti TIM, Pustaka Jaya atau Majalah Horison, yang pada waktu itu menjadi semacam institusi “pembaptisan” tidak resmi bagi seorang penyair. Saini K.M. nampaknya tidak menempuh jalur umum itu. Antologi-antologi penting seperti Laut Biru Langit Biru pun ternyata tak memuat satu pun karyanya. Bahkan dua kumpulan puisi pertamanya hanya terbit secara indie label di Bandung. Saini justru lebih dikenal dan dihormati masyarakat sastra lewat ketekunannya yang luar biasa sebagai pengasuh “Kuntum Mekar” dan “Pertemuan Kecil” selama belasan tahun, yang telah melahirkan begitu banyak penyair. Ketekunan yang mungkin hanya dimiliki oleh seorang kiyai kampung yang tulus dan ikhlas mengasuh santri-santrinya. Ketekunan semacam inilah, menurut saya, yang kemudian memposisikan Saini menempati tempat “khusus” dalam khazanah perpuisian Indonesia. Selain Saini, hanya penyair Umbu Landu Paranggi yang layak disebut untuk menempati posisi “khusus” ini, meskipun cara dan gaya yang dipakai kedua “kiyai” ini berbeda.


Posisi “khusus” ini jelas bukan semata-mata karena ketekunannya membina para penyair muda, tapi juga ditunjukkan oleh karya-karyanya yang memang bernilai. Bahkan puisi-puisinya, yang sebenarnya baru saya baca secara lengkap belakangan ini, menjadi contoh kongkrit dari ulasan-ulasannya tentang puisi di masa lalu. Saini KM tidak hanya berteori tentang puisi, tapi juga berusaha mewujudkannya dalam karya. Saini tidak hanya bicara soal sikap seorang penyair, tapi juga menjadikan dirinya contoh.


Terbitnya Nyanyian Tanah Air yang memuat 100 puisi ini memberi kesempatan kepada saya untuk lebih mengakrabi puisi-puisinya, terutama puisi-puisi awalnya yang ditulis tahun 1960-an. Puisi-puisi awal Saini K.M. adalah puisi-puisi lirik yang juga banyak ditulis para penyair terkemuka lainnya di awal kepenyairan mereka. Sitor Situmorang, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi, Abdul Hadi W.M., Linus Suryadi A.G., Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Jenis puisi konvensional yang jika diurut ke belakang akan melibatkan banyak sekali nama seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Hartojo Andangdjaja dan lain-lain.


Nampaknya banyak penyair terkemuka kita yang menganggap menulis puisi lirik itu sangat penting hingga kepenyairan mereka diawali dengan menulis puisi jenis itu. Dan terbukti, penyair yang mengawali kepenyairannya dengan puisi lirik kebanyakan menjadi penyair yang baik. Misalnya Rendra dengan Empat Kumpulan Sajak, Taufiq Ismail dengan Sajak Ladang Jagung, Goenawan Mohamad dengan Parikesit, Sapardi Djoko Damono dengan DukaMu Abadi, Abdul Hadi W.M. dengan Laut Belum Pasang, Linus Suryadi A.G. dengan Langit Kelabu, Emha Ainun Nadjib dengan M Frustrasi dan lain-lain.


Tahun 1960 Saini K.M. menulis sejumlah puisi lirik yang di antaranya berjudul “Kota Kelahiran” dan “Priangan”. Bagi saya kedua puisi ini sangat penting karena merupakan tiang yang sangat kokoh bagi bangunan estetika kepenyairannya di kemudian hari. Ada benang merah yang menghubungkan kedua puisi ini dengan puisi-puisi mutakhirnya kini. Bentuk kwatrin yang dipilih membuat puisi-puisi Saini sangat tertib dan teratur, baik dalam bait maupun baris. Ketertiban dan keteraturan yang menjadi ciri khas Saini dalam puisi-puisinya tak bisa dilepaskan dari kedua puisi awalnya ini. Sebenarnya tema kedua puisi ini sangat sederhana. Pikiran dan perasaan penyair yang mendalam tentang tanah kelahiran diungkapkan dengan cara yang bersahaja, begitu juga penggambaran alam sebagai latar puisinya. Saya kutip puisi “Kota Kelahiran”:


Mengimbau kotaku di dasar hijau lembahmu

Dinafasi angin di dua musim

Ketika fajar berlinang embun

Dan gugur bunga-bunga kemarau


Betapa banyak di sana bulan jatuh ke kali

Terapung dalam air rindu kita

Surat-surat terlambat atas rentangan rel kereta

Jendela yang senantiasa terbuka ke arah masa lalu


Betapa banyak di sini hujan menguyupkan hatiku

Dan malam lewat atas pelupuk mata terbuka

Jalan panjang merangkai tahun ke tahun

Di likunya wajah-wajah berdesak menyuruki sepi


Kesederhanaan puisi Saini K.M. adalah kesederhanaan yang terjaga dan terukur, kesederhanaan yang fungsional. Kesederhanaan yang lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap anasir-anasir puisi. Kesederhanaan yang justru malah menyiratkan kekayaan, baik makna maupun bunyi. Tanah kelahiran misalnya, yang menjadi tema dari banyak puisi-puisi awalnya, hadir bukan hanya sebagai latar tapi juga sebagai lambang yang menghidupkan puisi.


Sementara puisi yang berjudul “Bagi Sebuah Sajak”, yang dari judulnya kita bisa menebak bahwa penyair akan memaparkan pandangannya tentang puisi, namun karena kwalitas pemilihan kata-katanya yang kuat dan terjaga, kita malah mendapatkan lebih dari sekedar penggambarannya tentang puisi. Kita juga mendapatkan pandangannya tentang manusia. Jika pun puisi ini sedikit agak sulit dipahami karena lambang-lambang yang digunakannya seperti tak ada hubungan dengan masalah puisi, toh kita sebagai pembaca masih bisa menangkap suasana yang dibangun oleh permainan diksi dan anasir bunyi, yang membantu penghayatan kita tentang puisi. Saya kutipkan dua bait pertamanya:


Anak dari segala duka, dengan nama apakah

akan kutandai kehadiranmu yang besar

Suara semesta suara, tiada arti bagimu

suatu bisik, sebuah nama, sepatah kata sunyi.


Dari kesumat dan kasih, berbapakkan hari

beribu malam-malam jagaku, kau pun menjelma

di luar batas waktu, di luar batas abad demi abad

yang dijelang dan bertolak pergi.


Banyak puisi-puisi indah lainnya yang ditulis dalam dekade 1960-an seperti “Kanak-kanak”, “Sajak Buat Anak-anak”, “Lagu”, “Ada Sebuah Negeri”, “Nyanyian Tanah Air”, “Selain Cahaya Matamu”, “Sebuah Wajah” atau “Kepada Perempuan Yang Sedang Tidur”. Puisi-puisi yang sering disebut orang sebagai puisi suasana hati, puisi kamar atau puisi yang bergumam ini seperti menegaskan pada saya, bahwa Saini K.M. adalah salah seorang penyair lirik yang kuat di samping Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi dan Abdul Hadi W.M.


Puisi-puisi Saini K.M. adalah puisi yang masih setia memelihara anasir puisi. Anasir sajak. Ada konvensi yang terus menerus dipelihara. Ada kedisiplinan yang keras kepala. Meskipun tidak selalu merdu atau melodius, puisi-puisi Saini yang bentuknya bertahan pada pola kwatrin tak pernah lepas dari peranan bunyi, rima atau irama. Bentuk seperti ini sangat efektif untuk puisi-puisi yang bertema suasana hati, cinta, panorama atau yang bersifat perenungan tentang eksistensi manusia, yang juga banyak ditulis Saini. Namun Saini bukan hanya penyair tapi juga intelektual, budayawan dan pendidik yang mempunyai minat besar pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Maka puisi-puisinya pun tidak berberhenti hanya pada tema yang disebut di muka, tapi juga merambah pada filsafat, mitologi, sejarah, masalah sosial dan politik. Sejak kumpulan puisi pertamanya Saini sudah menampakkan perhatiannya pada masalah sosial dan politik. Di samping menulis puisi-puisi suasana hati yang indah ia pun menulis tema-tema sosial, khususnya pergerakan mahasiswa dan kepahlawanan, misalnya “Wasiat Seorang Ayah”, “Tidurlah Pahlawan”, Anggota Kami Pada Kawannya”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Mereka Datang Kepada Saya”, “Bendera Darah dan Airmata Kami” dan beberapa lagi.


Puisi-puisi yang temanya mungkin bisa disebut “kontekstual” pada zamannya ini tetap ditulis Saini K.M. dengan gaya yang sama. Rapih, tertib dan disiplin pada pola kwatrin. Saini sangat konsisten dengan pola ini. Untuk beberapa puisi yang bersifat doa atau refleksi dari sebuah peristiwa, bentuk ini masih terasa efektif. Kata-kata yang dipilih masih berkarakter lirik, masif dan menyatu dalam bangunan puisi yang kokoh. Saya kutipkan bait kedua puisi “Tidurlah Pahlawan” yang didedikasikan untuk Julius Usman:


Ketika iringan jenazah diusung dari kota ke kota

gemetarlah gempa bumi bawah derap berjuta kaki

dari sebuah pasukan yang bangkit tanpa panglima

tanpa perintah, selain bisik nurani


Goenawan Mohamad juga menulis puisi-puisi kontekstual di samping puisi-puisi suasana hatinya yang memukau. Namun berbeda dengan Saini K.M., Goenawan adalah seorang eksperimentalis -- meskipun masih dalam koridor lirik. Goenawan tidak terlalu setia pada bentuk kwatrin, tapi kadang-kadang berimprovisasi dan liar. Bahkan beberapa puisi kontekstualnya seperti “Tentang Seseorang Yang Terbunuh Di Sekitar Hari Pemilihan Umum” atau “Cerita Buat Yap Thiam Hien” ditulis dengan gaya naratif yang segar. Atau beberapa puisinya tentang kekerasan malah ditulis dalam bentuk lirik minimalis yang sangat sederhana namun menggoda, tengok misalnya “Der Prozess”, “Pagi” dan “Lanskap”. Saya ingin membandingkan Saini dengan Goenawan Mohamad karena keduanya sama-sama jawara lirik yang berangkat dari pola kwatrin. Keduanya juga intelektual dan budayawan yang punya minat pada banyak hal. Bahkan keduanya dikenal sebagai ensliklopedi berjalan. Hanya yang satu “setia” pada konvensi, yang satunya suka “berkelana”.


Pada dekade 1980-an dan 1990-an Saini K.M. banyak menulis puisi yang semakin menunjukkan minatnya pada masalah-masalah sosial. Saini banyak menulis puisi-puisi tentang atau yang ditujukan pada nama-nama tertentu, baik tokoh yang dikenal umum maupun yang dikenal secara pribadi oleh penyairnya. Muhammad Toha, Sum Kuning, Dede Hudaya Padmadimaja, Samad, Ahim, Suganda, Acil, Sukardal, Suryomentaram, Dewi Sartika, Prof. Dr. Yus Rusyana dan Marsinah adalah nama-nama yang menjadi judul puisi-puisinya. Puisi-puisi ini semacam ode yang merupakan ungkapan kekaguman atau penghormatan, namun juga sekaligus balada yang mengisahkan nama-nama tersebut.


Inilah bedanya Saini K.M. dengan Goenawan Mohamad. Baik ode maupun balada, baik yang kontemplatif maupun yang naratif, Saini tetap menuliskannya dengan pola dan disiplin yang sama. “Suryomentaraman”, “Dewi Sartika”, dan “Prof. Dr. Yus Rusyana” adalah puisi-puisi yang berhasil karena tetap menyiratkan keindahan dan kebeningan lirik. Sementara “Sukardal”, “Sum Kuning”, “Dede Hudaya Padmadimaja”, “Samad, Sebelum Tewas di Gelanggang Dangdut”, “Ahim, Pengangkut Sampah”, dan “Pak Guru Acil” bagi saya rasanya menjadi puisi naratif yang tanggung. Untuk memberi kesan naratif, nampaknya Saini lebih memilih memasukkan kata-kata pasar atau sehari-hari ke dalam puisinya ketimbang merubah bentuk atau rancang bangun menjadi lebih plastis. Namun kata-kata pasar seperti “terkutuk oleh tubuh montok” atau “kita cubit pantat gadis-gadis gatal selagi goyang” rasanya menjadi aneh dan artifisial di tangan Saini yang terlanjur dikenal sebagai pribadi santun dan serius.


Tentu saja puisi-puisi yang saya sebutkan tadi adalah puisi-puisi yang mempunyai makna. Puisi-puisi yang lebih dekat pada rasio ketimbang intuisi, puisi-puisi yang memang mudah dimengerti. Para sosiolog, pengamat sosial, aktivis LSM, demonstran mungkin akan merasa antusias dengan puisi-puisi semacam ini. Namun karena saya penyair, yang biasa menempatkan makna bukan yang paling utama dalam sebuah puisi, maka saya lebih menyukai puisi-puisinya yang lain, yang bagi saya jauh lebih menggetarkan.


Goenawan Mohamad pernah mengatakan bahwa puisi-puisi Saini K.M. adalah puisi-puisi yang pasti dan selesai, sehingga tak banyak memberi ruang untuk ditafsir ulang oleh pembaca. “Melihat ketigapuluh sajak yang dipilihnya sendiri dari prestasi selama delapan tahun, saya tidak melihat kemungkinan perubahan-perubahan yang akan mengejutkan pada Saini. Kecuali, tentu saja, jika terjadi perubahan radikal dalam kehidupan dan pandangan-pandangannya. Sampai kumpulan yang kita bicarakan ini, Saini telah menunjukkan satu kepribadian yang sudah terbentuk, suatu gaya tersendiri,” tulis Goenawan tentang Nyanyian Tanah Air versi pertama.


Di akhir tulisan ini saya tidak akan menyarankan Saini K.M. untuk belajar “tidak setia” dan sedikit “berkelana” seperti halnya Goenawan Mohamad, karena bagaimana pun “kesetiaan” yang keras kepala itu sangat berharga untuk zaman kita yang penuh perselingkuhan ini.


(2002)


Prev Next Next