POSISI SAINI
Acep Zamzam Noor
SAYA mengenal nama Saini K.M. lewat ulasan-ulasannya tentang puisi yang sangat memukau di lembaran “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat, sejak tahun 1979. Bagi seorang pemula yang dahaga seperti saya, membaca ulasan-ulasan tersebut seperti mendapatkan siraman rohani yang sangat menyegarkan. Saini membahas teknik-teknik dasar menulis puisi seperti tema, pencitraan, rancang bangun dan proses kreatif dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Bukan hanya teknik-teknik dasar tadi, tapi juga soal logika dan bahasa puisi yang sering membingungkan bagi penyair pemula. Yang paling mengesankan bagi saya adalah ketika secara bersambung menguraikan hubungan antara seniman dan masyarakat. Di sini Saini seperti seorang kiyai yang mengajarkan kepada santri-santrinya tentang pentingnya “akhlak” bagi seorang penyair. Saini menekankan pentingnya ketulusan dan kejujuran sebagai syarat terciptanya puisi yang baik. Menurutnya, seorang penyair menulis puisi harus karena dorongan murni dari dalam dirinya, bukan karena pengaruh dari luar seperti ingin terkenal, ingin berpengaruh, ingin berkuasa atau ingin sekedar disebut “penyair”. Menulis puisi karena dorongan popularitas hanya akan menghasilkan puisi yang dibuat-buat. Ulasan-ulasannya yang seperti petuah ini terus hidup dalam pikiran saya hingga kini. Ulasan-ulasannya ini pula yang kemudian membuat saya mampu membedakan mana penyair dan mana penyanyi dangdut, meskipun keduanya sama-sama seniman. Mana seniman dan mana politisi, meskipun keduanya sama-sama penting untuk sebuah negara.
Saini K.M. mungkin termasuk penyair yang sangat sulit ditemukan puisi-puisinya, seperti halnya puisi-puisi Goenawan Mohamad pada tahun 1980-an. Meski saya sudah akrab dengan ulasan-ulasannya tentang puisi namun saya jarang sekali membaca puisi-puisinya. Dari majalah-majalah lama saya hanya menemukan satu dua puisinya. Pada pertengahan 1980-an saya menemukan kumpulan puisinya Rumah Cermin, lalu disusul Sepuluh Orang Utusan yang terbit 1989. Sementara kumpulan puisi pertamanya Nyanyian Tanah Air yang terbit tahun 1968, yang konon pernah dibahas Goenawan Mohamad dan disebut sebagai puisi-puisi platonis hanya saya dengar dari cerita orang saja.
Saya tidak tahu kenapa Saini K.M. sebagai penyair jarang sekali mempublikasikan puisi-puisinya di media
Setelah terbit kumpulan puisi terbarunya yang juga berjudul Nyanyian Tanah Air pada tahun 2000, kecurigaan saya bahwa Saini K.M. sudah tidak berkarya lagi ternyata keliru. Saini masih produktif. Dalam bukunya ini banyak puisi yang ditulis pada dekade 1980-an dan 1990-an di luar yang pernah termuat dalam Sepuluh Orang Utusan. Sikap menahan diri dan “tidak kebelet” yang dimiliki Saini nampaknya merupakan perwujudan dari sikap kepenyairannya. Sikap seperti inilah yang kemudian menunjukkan bahwa maqom penyair memang berbeda dengan penyanyi dangdut. Begitu juga dengan politisi. Dalam salah satu pesannya untuk para penyair muda, seperti seorang kiai Saini mengingatkan:
Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu
Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya
Seperti juga bagi penyanyi dangdut, bagi politisi pesan ini tak akan berbunyi apa-apa. Politisi akan berusaha mengejar setiap kesempatan dan merebut semua peluang yang berkelebat di depannya. Karir mereka kadang sangat ditentukan oleh mahluk yang namanya kesempatan dan peluang itu. Tak heran jika mereka akan menempuh segala macam cara demi kepentingan karirnya tersebut. Sementara bagi seorang Saini K.M. kepenyairan bukanlah karir, tapi lebih pada keterpanggilan. Keterpanggilan untuk rela menjadi sajen yang tak dikenal. Rela untuk menjadi sekedar sepi. Kerelaan untuk dilupakan orang. Kerelaan yang mustahil akan muncul dari seorang penyanyi dangdut atau politisi.
Pada dekade 1970-an umumnya penyair-penyair Indonesia muncul melalui jalur “birokrasi kesenian” seperti TIM, Pustaka Jaya atau Majalah Horison, yang pada waktu itu menjadi semacam institusi “pembaptisan” tidak resmi bagi seorang penyair. Saini K.M. nampaknya tidak menempuh jalur umum itu. Antologi-antologi penting seperti Laut Biru Langit Biru pun ternyata tak memuat satu pun karyanya. Bahkan dua kumpulan puisi pertamanya hanya terbit secara indie label di Bandung. Saini justru lebih dikenal dan dihormati masyarakat sastra lewat ketekunannya yang luar biasa sebagai pengasuh “Kuntum Mekar” dan “Pertemuan Kecil” selama belasan tahun, yang telah melahirkan begitu banyak penyair. Ketekunan yang mungkin hanya dimiliki oleh seorang kiyai kampung yang tulus dan ikhlas mengasuh santri-santrinya. Ketekunan semacam inilah, menurut saya, yang kemudian memposisikan Saini menempati tempat “khusus” dalam khazanah perpuisian
Posisi “khusus” ini jelas bukan semata-mata karena ketekunannya membina para penyair muda, tapi juga ditunjukkan oleh karya-karyanya yang memang bernilai. Bahkan puisi-puisinya, yang sebenarnya baru saya baca secara lengkap belakangan ini, menjadi contoh kongkrit dari ulasan-ulasannya tentang puisi di masa lalu. Saini KM tidak hanya berteori tentang puisi, tapi juga berusaha mewujudkannya dalam karya. Saini tidak hanya bicara soal sikap seorang penyair, tapi juga menjadikan dirinya contoh.
Terbitnya Nyanyian Tanah Air yang memuat 100 puisi ini memberi kesempatan kepada saya untuk lebih mengakrabi puisi-puisinya, terutama puisi-puisi awalnya yang ditulis tahun 1960-an. Puisi-puisi awal Saini K.M. adalah puisi-puisi lirik yang juga banyak ditulis para penyair terkemuka lainnya di awal kepenyairan mereka. Sitor Situmorang, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi, Abdul Hadi W.M., Linus Suryadi A.G., Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Jenis puisi konvensional yang jika diurut ke belakang akan melibatkan banyak sekali nama seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Hartojo Andangdjaja dan lain-lain.
Nampaknya banyak penyair terkemuka kita yang menganggap menulis puisi lirik itu sangat penting hingga kepenyairan mereka diawali dengan menulis puisi jenis itu. Dan terbukti, penyair yang mengawali kepenyairannya dengan puisi lirik kebanyakan menjadi penyair yang baik. Misalnya Rendra dengan Empat Kumpulan Sajak, Taufiq Ismail dengan Sajak Ladang Jagung, Goenawan Mohamad dengan Parikesit, Sapardi Djoko Damono dengan DukaMu Abadi, Abdul Hadi W.M. dengan Laut Belum Pasang, Linus Suryadi A.G. dengan Langit Kelabu, Emha Ainun Nadjib dengan M Frustrasi dan lain-lain.
Tahun 1960 Saini K.M. menulis sejumlah puisi lirik yang di antaranya berjudul “Kota Kelahiran” dan “Priangan”. Bagi saya kedua puisi ini sangat penting karena merupakan tiang yang sangat kokoh bagi bangunan estetika kepenyairannya di kemudian hari.
Dinafasi angin di dua musim
Ketika fajar berlinang embun
Dan gugur bunga-bunga kemarau
Terapung dalam air rindu kita
Surat-surat terlambat atas rentangan rel kereta
Jendela yang senantiasa terbuka ke arah masa lalu
Dan malam lewat atas pelupuk mata terbuka
Jalan panjang merangkai tahun ke tahun
Di likunya wajah-wajah berdesak menyuruki sepi
Kesederhanaan puisi Saini K.M. adalah kesederhanaan yang terjaga dan terukur, kesederhanaan yang fungsional. Kesederhanaan yang lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap anasir-anasir puisi. Kesederhanaan yang justru malah menyiratkan kekayaan, baik makna maupun bunyi. Tanah kelahiran misalnya, yang menjadi tema dari banyak puisi-puisi awalnya, hadir bukan hanya sebagai latar tapi juga sebagai lambang yang menghidupkan puisi.
Sementara puisi yang berjudul “Bagi Sebuah Sajak”, yang dari judulnya kita bisa menebak bahwa penyair akan memaparkan pandangannya tentang puisi, namun karena kwalitas pemilihan kata-katanya yang kuat dan terjaga, kita malah mendapatkan lebih dari sekedar penggambarannya tentang puisi. Kita juga mendapatkan pandangannya tentang manusia. Jika pun puisi ini sedikit agak sulit dipahami karena lambang-lambang yang digunakannya seperti tak ada hubungan dengan masalah puisi, toh kita sebagai pembaca masih bisa menangkap suasana yang dibangun oleh permainan diksi dan anasir bunyi, yang membantu penghayatan kita tentang puisi. Saya kutipkan dua bait pertamanya:
Anak dari segala duka, dengan nama apakah
akan kutandai kehadiranmu yang besar
Suara semesta suara, tiada arti bagimu
suatu bisik, sebuah nama, sepatah kata sunyi.
Dari kesumat dan kasih, berbapakkan hari
beribu malam-malam jagaku, kau pun menjelma
di luar batas waktu, di luar batas abad demi abad
yang dijelang dan bertolak pergi.
Banyak puisi-puisi indah lainnya yang ditulis dalam dekade 1960-an seperti “Kanak-kanak”, “Sajak Buat Anak-anak”, “Lagu”, “Ada Sebuah Negeri”, “Nyanyian Tanah Air”, “Selain Cahaya Matamu”, “Sebuah Wajah” atau “Kepada Perempuan Yang Sedang Tidur”. Puisi-puisi yang sering disebut orang sebagai puisi suasana hati, puisi kamar atau puisi yang bergumam ini seperti menegaskan pada saya, bahwa Saini K.M. adalah salah seorang penyair lirik yang kuat di samping Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi dan Abdul Hadi W.M.
Puisi-puisi Saini K.M. adalah puisi yang masih setia memelihara anasir puisi. Anasir sajak.
Puisi-puisi yang temanya mungkin bisa disebut “kontekstual” pada zamannya ini tetap ditulis Saini K.M. dengan
Ketika iringan jenazah diusung dari
gemetarlah gempa bumi bawah derap berjuta kaki
dari sebuah pasukan yang bangkit tanpa panglima
tanpa perintah, selain bisik nurani
Goenawan Mohamad juga menulis puisi-puisi kontekstual di samping puisi-puisi suasana hatinya yang memukau. Namun berbeda dengan Saini K.M., Goenawan adalah seorang eksperimentalis -- meskipun masih dalam koridor lirik. Goenawan tidak terlalu setia pada bentuk kwatrin, tapi kadang-kadang berimprovisasi dan liar. Bahkan beberapa puisi kontekstualnya seperti “Tentang Seseorang Yang Terbunuh Di Sekitar Hari Pemilihan Umum” atau “Cerita Buat Yap Thiam Hien” ditulis dengan gaya naratif yang segar. Atau beberapa puisinya tentang kekerasan malah ditulis dalam bentuk lirik minimalis yang sangat sederhana namun menggoda, tengok misalnya “Der Prozess”, “Pagi” dan “Lanskap”. Saya ingin membandingkan Saini dengan Goenawan Mohamad karena keduanya sama-sama jawara lirik yang berangkat dari pola kwatrin. Keduanya juga intelektual dan budayawan yang punya minat pada banyak hal. Bahkan keduanya dikenal sebagai ensliklopedi berjalan. Hanya yang satu “setia” pada konvensi, yang satunya suka “berkelana”.
Pada dekade 1980-an dan 1990-an Saini K.M. banyak menulis puisi yang semakin menunjukkan minatnya pada masalah-masalah sosial. Saini banyak menulis puisi-puisi tentang atau yang ditujukan pada nama-nama tertentu, baik tokoh yang dikenal umum maupun yang dikenal secara pribadi oleh penyairnya. Muhammad Toha, Sum Kuning, Dede Hudaya Padmadimaja, Samad, Ahim, Suganda, Acil, Sukardal, Suryomentaram, Dewi Sartika, Prof. Dr. Yus Rusyana dan Marsinah adalah nama-nama yang menjadi judul puisi-puisinya. Puisi-puisi ini semacam ode yang merupakan ungkapan kekaguman atau penghormatan, namun juga sekaligus balada yang mengisahkan nama-nama tersebut.
Inilah bedanya Saini K.M. dengan Goenawan Mohamad. Baik ode maupun balada, baik yang kontemplatif maupun yang naratif, Saini tetap menuliskannya dengan pola dan disiplin yang sama. “Suryomentaraman”, “Dewi Sartika”, dan “Prof. Dr. Yus Rusyana” adalah puisi-puisi yang berhasil karena tetap menyiratkan keindahan dan kebeningan lirik. Sementara “Sukardal”, “Sum Kuning”, “Dede Hudaya Padmadimaja”, “Samad, Sebelum Tewas di Gelanggang Dangdut”, “Ahim, Pengangkut Sampah”, dan “Pak Guru Acil” bagi saya rasanya menjadi puisi naratif yang tanggung. Untuk memberi kesan naratif, nampaknya Saini lebih memilih memasukkan kata-kata pasar atau sehari-hari ke dalam puisinya ketimbang merubah bentuk atau rancang bangun menjadi lebih plastis. Namun kata-kata pasar seperti “terkutuk oleh tubuh montok” atau “kita cubit pantat gadis-gadis gatal selagi goyang” rasanya menjadi aneh dan artifisial di tangan Saini yang terlanjur dikenal sebagai pribadi santun dan serius.
Tentu saja puisi-puisi yang saya sebutkan tadi adalah puisi-puisi yang mempunyai makna. Puisi-puisi yang lebih dekat pada rasio ketimbang intuisi, puisi-puisi yang memang mudah dimengerti.
Goenawan Mohamad pernah mengatakan bahwa puisi-puisi Saini K.M. adalah puisi-puisi yang pasti dan selesai, sehingga tak banyak memberi ruang untuk ditafsir ulang oleh pembaca. “Melihat ketigapuluh sajak yang dipilihnya sendiri dari prestasi selama delapan tahun, saya tidak melihat kemungkinan perubahan-perubahan yang akan mengejutkan pada Saini. Kecuali, tentu saja, jika terjadi perubahan radikal dalam kehidupan dan pandangan-pandangannya. Sampai kumpulan yang kita bicarakan ini, Saini telah menunjukkan satu kepribadian yang sudah terbentuk, suatu
Di akhir tulisan ini saya tidak akan menyarankan Saini K.M. untuk belajar “tidak setia” dan sedikit “berkelana” seperti halnya Goenawan Mohamad, karena bagaimana pun “kesetiaan” yang keras kepala itu sangat berharga untuk zaman kita yang penuh perselingkuhan ini.
(2002)