LOKALITAS, LOKALISASI, INTERLOKAL
Acep Zamzam Noor
LOKALITAS dalam perpuisian modern Indonesia tak
bisa dipisahkan dari sejarah dan perkembangan wacana kebudayaan, sejak pasca
Soempah Pemuda 1928 yang disusul dengan
Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an. Wacana perkembangan tentu saja tak
bisa dilepaskan hubungannya dari awal lahirnya kesadaran nasionalisme di
Indonesia. Sebuah nasionalisme yang melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, bahasa pemersatu, sekaligus yang juga menjadi ekspresi dalam
pengucapan karya sastra, beranjak meninggalkan berbagai bahasa lokal yang
ada.
Perpuisian Indonesia
periode 1945 berangkat dengan semangat menggebu untuk mengembara ke berbagai
pelosok yang dijanjikan oleh modernitas. Dan itu artinya adalah berangkat
dengan orientasi budaya yang lebih luas dari hanya sekadar ranah tradisi dan
lokalitas. Tradisi dan lokalitas pun tidak lagi menjadi satu-satunya alat untuk
menjelaskan identitas sebagai bangsa Indonesia sebagaimana Chairil Anwar, Asrun
Sani, dan Rivai Apin, sebagaimana ketiganya mengumumkannya dalam Surat
Kepercayaan Gelanggang: Kami adalah
pewaris sah kebudayaan dunia. Dan kebudayaan dunia yang dimaksud adalah
Barat.
Terutama pada
puisi-puisi Asrul Sani kita bisa merasakan dengan jelas orientasi budaya yang
dianut. Metafor laut yang banyak muncul dalam sejumlah puisinya menjadi
pelukisan semangat mereka, sebagaimana juga ia menolak tradisi dan lokalitas
seperti terungkap dalam puisinya “Orang Gunung”. Demikian pula dengan Chairil
yang banyak mengeksplorasi kesadaran ihwal individu sebagai subyek otonom
seperti yang diajarkan oleh modernisme.
Tapi periode tahun 1950
kita melihat perkembangan yang berbeda. Pada periode ini perpuisian Indonesia
kembali meletakkan orientasi budayanya pada tradisi dan lokalitas. Mereka bukan
lagi pelanjut generasi 1945 yang melihat ke Barat. Barat bagi mereka bukan lagi
harus menjadi sebuah orientasi budaya. Para penyair dalam periode ini kembali
mengolah akar tradisi dan lokalitas mereka. Dengan mudah kita menyebut Rendra yang mengambil dolanan anak-anak
sebagai inspirasi dalam Balada
Orang-orang Tercinta, demikian juga Soebagio Sastrowardoyo dengan
puisi-puisi liris-simbolisnya yang banyak mengambil kisah pewayangan dalam Daerah Perbatasan maupun Keroncong Motinggo, atau Ramadhan KH
dalam Priangan Si Jelita yang
mengadopsi gaya pengucapan pantun Sunda, atau Ajip Rosidi dalam Cari Muatan
yang memuat puisi epik “Jante Arkidam”, yang konon mengambil spirit dari guguritan Haji Hasan Mustapa. Dalam
kaitan ini sejumlah nama yang muncul pada dekade 1970-an bisa disebut, yang
paling penting tentu saja Sutardji Calzoum Bachri yang puisi-puisinya bertolak
dari mantra. Lalu ada Hamid Jabbar yang berangkat dari kaba Minangkabau, ada
L.K. Ara menggali tradisi didong di Aceh, terus I Gusti Putu Bawa Samar Gantang
dari Bali, Linus Suryadi AG dari Jawa, Taufik Ikram Jamil dari Riau, Iverdixon
Tinungki dari Manado dan masih banyak lagi.
Lokalitas dalam
perpusian Indonesia sebenarnya berada di antara dua hal, apakah lokalitas itu
hadir sebagai bentuk pengucapan yang disadari atau muncul dari alam bawah
sadarnya sendiri? Lokalitas secara bentuk umumnya merupakan upaya penyair untuk
mengolah kembali pengucapan estetika perpusian yang sudah ada dan memberinya
tenaga baru. Chairil Anwar dan Sitor Situmorang adalah contoh menarik untuk hal
ini. Meski puisi keduanya membawa kesadaran tentang vitalisme dan
eksistensialisme, tapi secara puitik, bentuk dan struktur pengucapan puisi
mereka masih menggunakan pola perpusian lama, yakni pantun. Puisi-puisi mereka
yang kosmopolitan masih terasa belum bisa melepaskan diri dari gaya perpuisian
yang sudah menjadi tradisi sebelumnya. Contoh lain adalah Goenawan Mohamad,
meskipun sudah mengembara ke mana-mana namun ia tidak pernah lepas dari
idiom-idiom pewayangan yang memang diakrabinya sejak masa kecil. Idiom-idiom
tersebut kerap muncul secara langsung maupun tidak langsung, termasuk dalam
puisi-puisinya yang paling mutakhir.
***
D. Zawawi Imron
termasuk nama penting dalam kaitannya dengan masalah lokalitas. Zawawi menarik
perhatian karena sejak awal lokalitas sudah tumbuh dalam dirinya dan mewujud
secara utuh pada puisi-puisinya. Baginya lokalitas bukan sesuatu yang harus
dicari atau ditelusuri akar maupun sumbernya, sebab lokalitas tersebut sudah
berada dalam dirinya sendiri. Antara penyair dan lokalitas tidak ada jarak. Dan
jika kita mengamati penyair yang satu ini, maka bukan hanya akan menemukan tubuh,
wajah, senyum atau logat bicaranya saja yang lokal, namun cara berpikir, pola
berlogika serta gaya berungkapnya pun terasa sangat lokal. Begitu juga
joke-jokenya yang segar. Lokalitas hadir bukan sekedar bentuk namun sekaligus
ekspresi alam bawah sadarnya. Dengan demikian puisi-puisinya yang cenderung
spontan menjadi unik, menjadi otentik. Begitu juga dengan imaji-imajinya yang
terkadang polos namun sering mengagetkan pembaca. Sebuah puisi dari awal
kepenyairannya yang berjudul “Pesan” kita kutip penggalannya di sini:
kalau aku datang malam
sambutlah aku
dengan buah siwalan
muda
yang putih
kudamba minum
seteguk nira
yang bening
yang menetes
dari matamu
D.
Zawawi Imron mengaku kepenyairannya banyak dibimbing oleh lagu-lagu dolanan
Madura yang biasa dinyanyikan gadis-gadis di ladang, oleh siul pemuda-pemuda
yang sedang menggembala atau memanjat pohon di tepi hutan, oleh bunyi saronen yang mengiringi karapan sapi,
oleh keindahan alam yang sering membuatnya merenung serta kehidupan sederhana
orang-orang desa. Zawawi pada puisi-puisi awalnya banyak sekali menyebut siwalan, polai, nira, lahang, mayang, sumur, kendi,
lokan, garam, ombak dan laut. Ia juga dengan penuh gairah mengabsen nama-nama
kampung, desa atau pantai yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Selain itu,
tentu saja ia tak lupa menyebut celurit yang merupakan senjata kebanggaan orang
Madura. Dan semuanya merupakan lokalitas yang berada dan hidup dalam diri
maupun puisi-puisinya.
Zawawi
pada tahun 1986 berkesempatan mengunjungi Makassar. Konon setelah cukup lama
tidak menulis puisi, kunjungan tersebut memicu gairah dan kreativitasnya
berkobar kembali. Hanya dalam waktu sekitar 20 hari, puluhan puisi berhasil
ditulisnya. Banyak hal yang diamatinya di sana, baik yang berkenaan dengan alam
seperti bukit, pantai atau sungai. Hal-hal yang berkaitan dengan sejarah serta
kepahlawanan pun banyak ditulisnya. Juga hubungan budaya antara Madura dan
Makassar yang sudah berlangsung sejak berabad lalu. Yang menarik dari
puisi-puisinya ini, terutama karena aroma Madura sebagai lokalitas yang
dimilikinya masih terasa kental. Zawawi tidak pernah meninggalkan lokalitasnya,
tidak pernah kehilangan kemaduraannya. Ia menyebut badik sama fasihnya dengan
menyebut celurit, memanggil pantai Losari sama akrabnya dengan memanggil pantai
Dinari, menyapa Bantimurung sama mesranya dengan menyapa Batang-batang.
Puisi-puisi yang merekam pengembaraannya selama 20 hari di Makassar tersebut
kemudian diterbitkan dengan judul Berlayar
di Pamor Badik.
Begitu juga ketika ia
mengunjungi Negeri Belanda pada tahun 2003, seratus puisi yang ditulisnya
secara spontan di sana masih tetap khas Zawawi, yang imaji-imajinya terkadang
polos namun enak dibaca. ”Kalau puisi-puisi saya
yang berlatar Negeri Belanda dianggap para pengamat tak sebagus puisi-puisi
saya terdahulu, saya malah merasa gembira. Sebab dengan begitu saya lebih cocok
menjadi orang Madura ketimbang menjadi orang Belanda,” begitu kelakarnya sekali
waktu.
***
Masih sekitar masalah lokalitas, ada
baiknya kita menengok sejenak pada Ahmad Syubbanuddin Alwy. Seperti halnya D.
Zawawi Imron, penyair kelahiran pesisir Cirebon ini adalah jebolan pondok
pesantren yang kemudian memilih tinggal di tanah kelahirannya. Seperti halnya
Zawawi Imron, penyair ini pun mempunyai perhatian yang cukup serius terhadap
lokalitas. Banyak puisi yang mengangkat tanah kelahirannya sebagai tema
sentral, baik yang berkaitan dengan sejarah, legenda, mitos, tradisi bahkan
kondisi sosial dan politik. Seperti halnya Zawawi, pergulatannya dengan
lokalitas terbilang intens dan khusyuk, bahkan saking intens dan khusyuknya
sebagian puisinya ditulis langsung dalam bahasa lokal, yakni bahasa Cirebon itu
sendiri. Dan terakhir, seperti halnya Zawawi, penyair yang juga seorang aktivis
pergerakan ini sangat pandai melucu.
Meskipun keduanya mempunyai banyak
persamaannya, namun dalam hal proses kreatif Syubbanuddin Alwy mempunyai
pandangan serta pendekatan yang berbeda terhadap lokalitas. Dengan sangat sadar
penyair ini mengambil jarak yang tegas
dan memilih posisi bagi sudut pandang kepenyairannya. Alwy tidak larut apalagi
menjadi bagian yang pasif dari lokalitas tersebut. Dengan strategi ini, dengan jarak yang terus dipeliharanya
dari waktu ke waktu, ia mempunyai ruang untuk memandang lokalitas dengan cermat
dan kritis. Tidak hanya mengagumi kejayaan masa lalu namun juga turut prihatin
dengan kenyataan yang mengiringinya kini. Dengan demikian Cirebon sebagai
lokalitas menjadi sebuah obyek sekaligus subyek yang menantang, yang kemudian
menjadi tema sentral yang terus-menerus digelutinya.
Kita
kutip penggalan dari ”Fantasia Cirebon” yang ditulisnya pada tahun 1993:
Di sela-sela jendela super-market itu –
jalanan gemuruh, matahari bercampur debu
kesunyian
dan gema adzan menyayat sayup-sayup
menggoreskan
nyeri keharuan demi keharuan
aku
daki kubah syahadatmu dari tangga elevator
dan
kemiskinan melambai-lambai, menghanyutkan langkahku
ke
segenap taman impian yang beracun
mungkin
dengan luka, airmata, dan desir kebimbangan
irisan-irisan
hatiku akan menampung lautan bara
dari
dinding kemanusiaanku yang menyala
......
Sikap kritis juga ditunjukan oleh
puisi-puisi Syubbanuddin Alwy yang lain, yang mempertanyakan kembali berbagai
mitos dan legenda, bahkan lewat puisi-puisinya yang berbahasa lokal dengan
leluasa ia melancarkan gugatan ke segala penjuru lewat ungkapan lugas dan
keras. Untuk menumbuhkan sikap kritis tersebut ia bukan hanya menyelami
berbagai literatur yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Cirebon, namun terjun langsung melakukan riset ke berbagai
situs, masjid, makam serta goa keramat. Ia melakukan riset ke dalam
lokalitasnya sendiri, mengembara ke dalam ruang batinnya sendiri. Dengan sadar
ia menyusuri akarnya kembali, menggali sumbernya lagi. Hasilnya, selain
sejumlah puisi lepas yang berkaitan dengan Cirebon, ia pun mendapat gagasan
besar untuk menuliskan sejarah tanah kelahirannya tersebut dalam sebuah puisi
panjang berbentuk epik yang diberinya judul ”Cirebon, 630 Tahun Kemudian...”.
Ada baiknya kita kutip terlebih dahulu penggalan dari salah satu baitnya:
Di tengah sayatan suluk dangdanggula yang bergetar,
dukamu berlayar
ribuan kelelawar terbang dari remang keraton, udara
gusar, pecahan marmar
alun-alun merah kesumba membelit langit bagai ular,
meniti gulungan primbon
keramik guci, bongkahan terasi, sumur tujuh, dan rusuh
babad tanah Cerbon
menghunjam di pematang cakrawala, menuruni aras
tangga-tangga pendakian
lima abad silam: khutbah, jubah dan terompah sunan,
terlepas dari gurat waktu
gugusan lapis pualam, uang logam, kelir hitam dan riang
selendang ratu
menjemputku di riuh subuh, menari serimpi, mengusir arwah
peri
dengan sekerat jimat, gema shalawat yang telah melampaui
pusaran bumi
......
Puisi panjang tersebut mulai ditulis
pada tahun 2000 dan sampai hari ini baru selesai satu episode dari seratus
episode yang direncanakannya. Episode pertama yang berjudul ”Pohon-pohon Api”
terdiri dari belasan halaman polio dengan 24 buah catatan kaki. Episode pertama
nampaknya masih berupa pengantar yang mendeskripsikan suasana Cirebon lima abad
yang lalu, jadi belum masuk ke dalam pokok persoalan atau inti cerita.
Syubbanuddin Alwy menyertakan sejumlah catatan kaki di bawah puisinya bukan
semata untuk kepentingan ilmiah, namun karena banyak hal yang memang perlu
penjelasan lebih lanjut agar pembaca punya gambaran secara visual.
Seandainya
puisi panjang yang ambisius ini kelak selesai ditulis, maka kita bisa berharap
bahwa sesuatu yang unik dari pesisir utara Jawa Barat akan turut mewarnai taman
perpuisian Indonesia modern. Dan apa yang dilakukan Alwy lewat puisi yang masih
terus diprosesnya hingga hari ini akan menjadi penguatan serta pengayaan
terhadap lokalitas yang ada, di mana unsur-unsur dari lokalitas tersebut terus
diperkuat dan diperkaya. Artefak-artefak yang sudah lama berantakan serta
berserakan dikumpulkannya kembali satu demi satu.
Di
sini penyair bukan hanya berimajinasi namun berperan langsung sebagai peneliti
sekaligus kritisi, di mana kejayaan masa lalu yang kini tinggal berupa
serpih-serpih budaya, remah-remah sosial, jejak-jejak politik, bercak-bercak
kenangan serta bintik-bintik ingatan disusun dan ditatanya, lalu ditimbang,
dihidupkan dan disegarkannya kembali.
Dengan kata lain artefak-artefak yang berantakan dan berserakan tersebut
semuanya dilokalisasi, ditempatkan dalam suatu komplek atau wisma yang bernama
puisi.
”Menulis
puisi tentang sejarah sebuah kota ternyata berat sekali. Tapi untuk puisi yang
satu ini saya akan serius dan bekerja keras. Sampai hari ini saya masih terus
melakukan riset ke tempat-tempat keramat di sekitar Cirebon, Priangan dan Jawa
Tengah. Saya tidak akan memikirkan penerbitannya dulu, apalagi merencanakan
acara peluncurannya. Dan kalaupun puisi ini terbit ketika saya sudah meninggal
juga tidak apa-apa,” ujarnya dalam banyak kesempatan.
***
Dalam
kaitannya dengan lokalitas dan lokalisasi yang sudah dipaparkan di atas,
rasanya perlu juga disinggung masalah interlokal yang kadang menempatkan
penyair tertentu pada posisi yang terbelah atau malah mendua berkenaan dengan
orientasi budayanya. Untuk hal itu Beni Setia dan Ahda Imran barangkali bisa
dijadikan contoh soal.
Beni
Setia lahir dan besar di Soreang, Jawa Barat. Sebagai orang Sunda pada mulanya
ia menulis puisi dalam bahasa lokal, dan sebagai warga negara Indonesia ia pun
menulis puisi dalam bahasa nasional. Baik puisi yang ditulis dalam bahasa Sunda
maupun Indonesia terasa sangat kental unsur lokalnya. Dalam puisi-puisinya yang
berbahasa Indonesia misalnya, ia bukan hanya sering menampilkan kata-kata atau
idiom-idiom Sunda namun secara keseluruhan baik struktur maupun ”rasa” bahasanya
pun sangat terasa kesundaaannya.
Setelah
dewasa dan menikah dengan seorang gadis asal Surabaya, pada akhir 1980-an Beni
Setia hijrah ke Caruban, Madiun, mengikuti istrinya yang menjadi guru di sana.
Selama puluhan tahun ia tinggal dalam lingkungan budaya Jawa tradisional,
berbicara dengan bahasa Jawa, makan masakan Jawa dan membiasakan diri minum teh
manis setiap hari. Caruban merupakan kota kecamatan yang jaraknya lumayan jauh
dari Madiun, apalagi dari Surabaya yang
kosmopolitan. Maka bisa kita bayangkan betapa kental tradisi yang berlaku di
tempat tinggalnya tersebut, namun sebagai penyair interlokal Beni Setia cukup
siap untuk melakoni posisinya yang mengangkang itu. Ia tidak melupakan
kesundaan yang sudah menjadi bagian dari identitasnya, namun ia pun berusaha
mengambil hikmah serta inspirasi dari lingkungan barunya. Dengan demikian
puisi-puisinya memperlihatkan harmoni antara kesundaan dan kejawaan, bahkan
harmoni tersebut berlaku bagi etnis-etnis lain yang kerap muncul juga dalam
banyak tulisannya. Inilah penggalan dari salah satu puisi lamanya yang berjudul
”Pledoi buat Kucing”:
tuan dan nyonya, kucing adalah kucing
cukup disembur dengan air sambil dibentak
atau dikejar sambil digertak dengan lidi
dan kucing tak perlu ditembak atau digantung
karena kucing bukan Kusni Kasdut
atau Henky Tupanwael atau Desin Batfari
Ahda
Imran lain lagi. Penyair kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, ini sudah dibawa
merantau ke Cimahi sejak masih kanak-kanak. Ahda bergaul rapat dengan
masyarakat Sunda, berbicara dalam bahasa Sunda dan merasa bangga karena
ditakdirkan tinggal dan bekerja di tatar Sunda yang hijau dan permai. Namun
dalam soal makanan ia sangat fanatik dengan masakan Padang yang seolah tak akan
pernah tergantikan dengan makanan lain dari belahan dunia manapun. Begitu juga
dalam soal jodoh, ternyata ia lebih memilih gadis Jawa ketimbang mojang Sunda.
”Jiwa dan raga saya memang sudah Sunda, namun lidah saya tetap Padang, sedang
cinta saya untuk Jawa,” katanya suatu kali.
Ahda
hanya menulis puisi dalam bahasa Indonesia. Puisi-puisi awalnya yang terkumpul
dalam Dunia Perkawinan memperlihatkan
keterbelahan dirinya dalam orientasi budaya. Idiom-idiom khas Minangkabau yang
secara biologis telah mengalir dalam darahnya muncul pada sebagian besar
puisinya, terutama ditunjukkan oleh kesadarannya pada unsur bunyi seperti dalam
pantun. Namun pada sisi lain ia pun kerap berusaha menunjukkan warna kesundaan
yang telah dianggapnya sebagai tanah kelahiran kedua. Warna kesundaan tersebut
muncul terutama pada puisi-puisinya yang dengan merdu melukiskan keindahan
alam, yang suasananya konon diserap dari spiritualitas tembang Cianjuran.
Sebagai
penyair interlokal nampaknya Ahda Imran sedikit berbeda dibanding Beni Setia
yang dengan ringan bisa melompat dari satu idiom ke idiom lainnya, menerobos
dari satu bentuk ke bentuk lainnya, bahkan mengembara dari satu bahasa ke
bahasa lainnya. Sampai hari ini Ahda masih terus bergulat mengasah bentuk
pengucapan yang dipilihnya, yakni pengucapan yang liris dan tertib. Pengucapan
yang cenderung khusyuk dan sublim. Jika Beni nampak santai menikmati posisinya
yang mengangkang, maka Ahda masih sedikit menyisakan ketegangan.
Meskipun
begitu, puisi-puisinya yang secara langsung menunjukkan kecintaan serta
kekagumannya pada tanah Priangan banyak ditemukan pada Penunggang Kuda Negeri Malam, kumpulan puisi keduanya. Dalam
kumpulan puisi tersebut ia banyak bersenandung tentang Bandung, tentang
Simpanglima, tentang Citarum, tentang Tangkubanparahu, tentang Panjalu, tentang
Sindangkerta, juga tentang gunung, pantai serta sungai lain yang ada di Jawa
Barat. Lewat puisi-puisinya yang liris dan tertib pula ia kerap menyapa
seniman-seniman Jawa Barat yang dikaguminya seperti Harry Roesli, Ahmad
Syubbanuddin Alwy, Tisna Sanjaya dan Godi Suwarna.
Di sini kita kutip penggalan dari puisinya
yang berjudul ”Silsilah” untuk sekedar menunjukkan adanya keterbelahan
orientasi budaya yang dialami penyair interlokal ini:
Ada selalu malam ketika anakku
bertanya tentang para leluhur, dan kota
yang melayang-layang itu. Selalu tak pernah
ada yang sanggup kukisahkan, selain membakar
seluruh pohon yang tumbuh di punggungnya
lalu membuat upacara persembahan. Menanak
air sungai bercampur sisik ular
dan diam-diam menuangkannya
ke mulut cucuku
Masalah
lokalitas tak akan habis untuk diperbincangkan karena cakupan pengertiannya
yang sangat luas. Lokalitas bukan hanya menunjuk pada tradisi tertentu dalam
kaitannya dengan batasan etnis, adat, bahasa, budaya maupun geografis. Yang
dimaksud dengan lokalitas bisa jadi sangat luas dan terbuka. Masyarakat di
perkotaan mempunyai lokalitasnya sendiri, lokalitas pada masyarakat perkotaan
bisa terkotak-kotak lagi berdasar strata sosial dan ekonominya. Begitu juga
dengan masyarakat di pedesaan, masyarakat di lingkungan adat, di lingkungan
pesantren, di lingkungan priyayi, di lingkungan petani dan seterusnya. Jika
seorang penyair menemukan bahasa bagi puisi-puisinya berarti penyair tersebut
sudah menemukan lokalitasnya. Sudah menemukan pribadinya.
Adapun
bahasa puisi yang ditemukannya tersebut akan luruh dengan alam seperti puisi
Zawawi Imron, atau akan berjarak dengan lingkungan seperti puisi Syubbanuddin
Alwy, atau akan mengharmoniskan beragam budaya seperti puisi Beni Setia, atau
akan terbelah di antara dua tanah kelahiran yang dicintai seperti puisi Ahda
Imran, itu merupakan persoalan lain. Dengan pendekatan, kecenderungan serta
gayanya yang berbeda, jika proses kreatif terus dijalani dengan tabah dan
gembira niscaya suatu saat setiap penyair akan menemukan lokalitas serta
keunikannya masing-masing. Akan menemukan pribadinya masing-masing. []