Share |

Artikel 33

PUISI SEBAGAI TAREKAT

Acep Zamzam Noor


AGAK sulit untuk menjelaskan siapa sesungguhnya Emha Ainun Nadjib yang sudah sangat kita kenal itu. Apakah ia seorang penyair, dramawan, budayawan, pekerja sosial atau mubalig? Emha mengaku sangat gelisah jika dipotret sebagai penyair, ketika hal itu dimaksudkan sebagai urusan sastra. Karena baginya yang menjadi soal bukan bagaimana menjadi penyair. Puisi-puisinya yang melimpah, baik yang dipublikasikan atau disimpan dilaci, baik yang dibacakan rata-rata seminggu dua kali di hadapan khalayak maupun yang ia rasa tidak pantas untuk dibacakan, esei-eseinya yang subur, juga percikan-percikan pemikirannya yang muncul di berbagai forum dan workshop pengembangan masyarakat – adalah saringan dari berbagai inspirasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, sosial, politik, hati nurani serta rindu dendam kepada sesuatu yang transenden.

“Kehidupan ini sangat luas, dan tidak membutuhkan kita untuk menjadi penyair atau kiai, melainkan membutuhkan peningkatan kwalitas kemanusiaan yang diperkaya oleh kenikmatan keindahan, kesungguhan ber-Tuhan, perjuangan politik peradaban serta kejernihan hati nurani,” demikianlah sikap lelaki jebolan Pondok Moderen Gontor ini. Baginya sastra hanyalah sebuah jalan atau tarekat untuk menuju kesejatian. Emha tanpa kenal lelah bekerja di masyarakat, melanglang ke sejumlah negara, keliling ke berbagai daerah, keluar masuk desa hingga ke kampung-kampung terpencil – dan semua itu ia letakan dalam jiwa hidup yang lebih luas dari sekedar urusan sastra, urusan politik atau yang selama ini kita sangka juga sebagai urusan agama.

Tapi terlepas dari sikapnya yang memandang sastra hanyalah sebuah jalan di antara begitu banyak jalan lain, toh puisi-puisi yang dilahirkan dari proses penggodokan nilai-nilai kemanusiaannya terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Sejak kumpulan pertamanya yang berjudul M Frustrasi (1975) sampai pada Cahaya Maha Cahaya (1988), kumpulannya paling gres yang akan kita bicarakan ini, terasa sekali bagaimana kegelisahannya sebagai seorang penyair. Ada benang merah yang menyambungkan ruh puisinya dari kurun ke kurun, yakni kepeduliannya yang besar pada masalah-masalah sosial. Kegelisahanan Emha adalah kegelisahan yang penuh intensitas. Kegelisahan yang penuh kekhusyukan. Ia bisa sangat berang menyaksikan ketimpangan yang terjadi di sekelilingnya, tapi ia juga bisa begitu luluh dihadapan Sang Khalik. Dengan begitu puisi-puisi Emha Ainun Nadjib bisa dikatakan berwajah sosial sekaligus berdimensi religius. Marilah kita simak cuplikan dari puisi “Pertemuan” di bawah ini:

Sudah tiga puluh lima tahun aku mengembara,
tapi tak terlihat oleh mataku sebuah masjid pun
Di larut malam aku tiba di puncak semesta,
dan menjelang fajar pagi di pangkal dunia aku sampai kembali
Tapi di manakah masjid?
Aku menyelinap di kampung-kampung,
aku terbang mengitari kota,
aku menyisir belantara dan menggali gunung-gunung
Di manakah masjid?

Dari cuplikan puisi ini bisa kita rasakan bagaimana intensitas penyair menukik pada renungan-renungan yang sangat eksistensial sekaligus metafisis. Apa yang dicari, disangkal dan digugat larik-larik di atas bukan saja hakikat keberadaan dirinya, tapi juga kenyataan lingkungan yang menderita kepalsuan kolektif di mana ia terlibat dalam arus kebersamaan hidup. Kenyataan lingkungan dan masyarakat yang penuh kemunafikan, membuatnya tak bisa lagi melihat masjid secara esensial, masjid yang berdiri dengan megah di dalam batin setiap insan yang beriman. Yang dilihatnya hanyalah bangunan-bangunan yang penuh dengan hiasan. Marilah kita simak juga baris-baris berikutnya:

Kalau engkau menyaksikan beribu-ribu orang
mensujudkan badannya di dalam bangunan besar berkubah
yang dihiasi warna-warni kaligrafi,
bisa tahukah engkau apakah jiwa mereka juga bersujud?

Dalam pengertian tasawuf ada yang lebih hakiki dari sekedar wujud atau wadah. Masjid yang berdiri di setiap kampung dan pusat kota hanyalah wujud atau wadah, sebab yang memberinya nilai tentu saja intensitas keimanan jemaah yang bersembahyang di dalamnya. Apakah mereka telah bersujud? Apakah mereka telah sembahyang? Pertanyaan-pertanyaan yang menukik semacamnya ini terdapat juga pada sejumlah puisi lainnya. Emha menggugat siapa saja, bukan hanya maling tapi juga yang dianggap sebagai kaum beragama. Tapi tak sedikit juga puisi-puisi yang juga menggugat dirinya, menggugat keimanannya hingga ia sampai pada titik yang fatalistik seperti larik di bawah ini:

tuhan sayang ajari aku tidur
sejak ngungun di rahim ibu bisaku cuma tidur
namun sudah sejauh ini tuaku tak juga bisa tidur
………
tuhan sayang ajari, ajari aku mati
nasib dunia menggumpali jantungku
sampai menggelepar, tapi tak juga pingsan
sampai meledak, tapi tak kunjung mati

Di antara tanda-tanda seru, teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan gemeretak gigi-gigi pemberontakkannya, hampir selalu kita dapati suasana yang begitu religius, sebentuk kerinduan pada sesuatu yang abstrak namun sekaligus sangat kongkrit. Pengembaraannya selalu berakhir dan bermuara pada satu-satunya tujuan: Allah. Dengan begitu puisi-puisi Emha bagaikan dzikir yang terus mengalun, terus menderu. Dalam puisi “Hizib”,” Aku Mabuk Allah”, “Ajari Aku Tidur”, “Menderas” atau pada syair-syair “Asmaul Husna” suasana dzikir demikian pekat: memuja Allah dan mengutuki keterbatasan diri serta lingkungannya.

Sikap kepenyairan yang meletakkan urusan sastra (baca: estetika) bukan segala-galanya telah membuat Emha menanggalkan beban-beban simbol atau metafora yang cenderung gelap. Ia kemudian memilih bahasa yang telanjang dalam mengusung inti persoalan yang begitu mendesak untuk segera disampaikan. Ia nampaknya menghindari keruwetan-keruwetan ungkapan yang dianggap tidak perlu dan memilih bahasa komunikatif. Pengalaman menghadapi khalayak dari berbagai lapisan masyarakat telah memberikannya modus yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan kritisnya. Bahasanya terkadang cair, polos, jernih dan langsung kepada sasaran. Dengan menggunakan bahasa grafis, yakni bahasa yang jelas, puisi-puisinya seakan dikomunikasikan bukan saja untuk santapan mata (dibaca) tapi juga telinga (didengar). Meskipun begitu, dengan kepiawaiannya puisi-puisi dalam kumpulan ini tidak jatuh sebagai kumpulan retorika belaka.

Dengan sikap kepenyairan seperti ini nampaknya Emha lebih leluasa untuk bercerita tentang apa saja, mulai dari persoalan-persoalan besar sampai hal-hal yang remeh. Ia bercerita tentang bendera merah putih, modernisasi, pizza yang murah meriah, orang nguap, orang bersepeda, pasar, kesenian, jilbab sampai TKW. Dalam puisi-puisi sosial ini bahasanya yang cenderung prosais terasa santai dan nyleneh karena anekdot-anekdot yang diselipkannya membuat kita tersenyum simpul. Misalnya ketika ia mempertanyakan kesenian:

Lantas siapakah engkau sendiri? Penyair?
Jangan dulu nulis puisi, sebaiknya kau sabar menanti
Sebab puitika syair baru sedang dirapatkan para menteri
Kalau engkau sutradara janganlah tergesa bikin sandiwara
Sebab apa gunanya kalau tak cocok dengan sabda

Sedang dalam “Syair Orang Nguap” ia menulis dengan tak kalah sinisnya:

Sialan
Orang sudah capek industri
Kita baru berak TKW
Orang kibarkan revolusi informasi
Kita buta hari
Masak ikan di air kimia
Burung-burung terbang minggat ke sorga

Menggunakan bahasa sehari-hari, dengan pertimbangan bisa lebih dimengerti pembaca, tanpa kepiawaian bisa-bisa jatuh pada slogan atau sekedar ledekan tanpa daya cekam. Sebab bagaimana pun puisi tetaplah puisi, yang kekuatan intinya tidak ditentukan oleh kerasnya kritikan terhadap masalah sosial, juga bukan oleh besar kecilnya tema yang disodorkan. Kekuatan puisi berada pada daya cekam yang muncul dari pencapaian-pencapaian puitiknya, sekalipun urusan estetika dianggap bukan hal yang paling utama. Kita perhatikan kutipan di bawah ini:

Malam-malam aku bersepeda mengitari kota
Ketika sampai di jalanan sempit, di tepian parit, lampu
Sebuah motor dari depan menyiramkan cahaya ke wajahku
Aku sudah amat menepi, tapi motor itu tak juga puas
Menggagahi jalanan, dengan ketenangan dan sikap acuh
Yang luar biasa

Harus diakui bahwa puisi-puisi semacam “Pizza Murah Meriah”, “Adapun”, ”Syair Kalau Ditanya” atau “Syair Bersepeda” yang kita kutip di atas, mungkin sedikit lebih cair dibanding dengan puisi-puisi religiusnya yang terasa pekat. Di samping agak prosais puisi-puisi sosial ini nampaknya hanya ingin bercerita dengan cara bercerita, atau hanya ingin menyindir dengan cara menyindir. Namun secara keseluruhan Cahaya Maha Cahaya yang diterbitkan oleh Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Sastra (LP3S) Yogyakarta ini mencitrakan dengan kuat komitmen penyairnya terhadap persoalan-persoalan sosial dalam dimensi religius.

Suminto A. Sayuti yang bertindak sebagai editor bersama Jabrohim, menyampaikan dalam kata pengantarnya bahwa puisi-puisi Emha Ainun Nadjib bagaikan sebuah pemancar yang terus menyebarkan sinyal ke dalam diri kita dan sekaligus memancarkannya kembali ke luar. Sesuatu yang terkadang sangat luar biasa namun sekaligus juga teramat biasa. Dan saya kira apa yang disampaikan Suminto tersebut tidak terlalu berlebihan bahkan mungkin sangat tepat untuk seorang penyair, dramawan, budayawan, pekerja sosial dan sekaligus mubalig yang penuh tenaga ini.

(1990)
Prev Next Next