PUISI DAN BATU AKIK
Acep Zamzam Noor
TANPA terasa saya telah menulis puisi selama puluhan tahun, tanpa disadari pula secara langsung atau tidak langsung saya telah memberikan kesetiaan yang aneh pada mahluk yang bernama puisi. Dengan demikian, tanpa direncanakan pula saya telah memilih puisi sebagai jalan hidup. Sebuah pilihan yang juga aneh. Pilihan yang saya sendiri heran dan selalu kesulitan jika harus menerangkannya secara rasional. Ketika panitia Khatulistiwa Award 2007-2008 meminta tulisan tentang kesan-kesan saya sebagai penerima anugerah tahun sebelumnya, yang pertama terbayang adalah tahun-tahun awal saya ketika mulai menulis puisi. Pada dekade itu, juga pada dekade setelahnya, rasanya di negeri ini belum ada tradisi penghargaan terhadap karya sastra yang dilakukan secara rutin, apalagi dengan melibatkan uang yang jumlahnya banyak. Jadi ketika saya mulai menulis puisi pada akhir 1970-an sama sekali tak terbayang akan ada hadiah atau penghargaan.
Sebagai orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan sastra, pemahaman saya terhadap puisi mungkin agak ganjil. Saya selalu kebingungan jika ditanya puisi yang seperti apakah yang baik itu. Saya juga akan kebingungan jika ditanya bagus mana antara puisi cinta dan puisi protes, antara puisi pendek dan puisi panjang, atau antara puisi yang sulit dan mudah dipahami. Saya selalu menjawab bahwa puisi yang baik adalah puisi yang menggetarkan pembacanya, tak peduli apakah temanya cinta atau protes, bentuknya pendek atau panjang, isinya mudah atau sulit dipahami. Jadi ukurannya adalah bulu kuduk. Jika saya membaca sebuah puisi dan saya merasa tergetar hingga bulu kuduk saya merinding, apalagi jika tubuh saya sampai menggigil, maka puisi yang saya baca itu pastilah puisi yang baik. Puisi yang bisa memberikan pengaruh kepada pembacanya.
Begitu juga proses kreatif saya dalam menulis puisi. Saya selalu membiarkan imajinasi saya bergerak sendiri jika ada bagian tertentu dalam tubuh saya tergetar, dan bagian yang paling sensitif tersebut berada di sekitar kuduk dan belakang telinga. Alhamdulillah, selama ini bulu kuduk saya bisa tergetar oleh apa saja, mulai dari hal-hal sepele sampai yang sifatnya gaib, mulai dari benda-benda sederhana sampai kecantikan seorang wanita, mulai dari peristiwa sehari-hari sampai dahsyatnya gelombang tsunami, mulai dari kejadian-kejadian lucu dalam pilkada sampai ditangkapnya para koruptor oleh KPK. Tentu saja saya tidak berhenti hanya pada bulu kuduk, karena teori apapun tak lebih dari sekedar cara, metoda atau tarekat saja. Dengan demikian sebuah teori, cara, metoda atau tarekat harus terus dilatih dan diasah. Harus terus diuji kesaktiannya. Begitu juga dengan teori bulu kuduk saya ini.
Dalam melatih diri agar terus menulis dan mencintai puisi, saya mempunyai kebiasaan yang ganjil juga jika ditinjau dari kacamata kaum akademis. Sejak kecil saya mempunyai hobi mengumpulkan batu, mulai dari yang harganya pasaran seperti akik sampai yang berkelas seperi safir, rubby, jamrud, pirous, widuri bulan atau kalimaya. Awalnya hanya mengoleksi pemberian orang, tapi lama-lama tergoda juga untuk membeli hingga berburu ke berbagai kota. Sebagai kolektor saya bukan hanya pengumpul namun juga berusaha mendalami bagaimana memproses sebuah batu sejak bongkahan yang tak berharga sampai menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Bagaimana sebuah benda yang awalnya kasar dan kusam sampai mampu memancarkan cahaya yang berkilauan.
Ternyata ada banyak tahapan yang harus dilalui. Mulai dari menatah, membentuk dengan gerinda hingga mengampelas sampai halus. Soal mengampelas banyak juga tahapan-tahapannya sesuai dengan tingkat permukaan ampelas itu sendiri, mulai dari yang paling kasar sampai yang halus sekali. Setelah terbentuk dan halus permukaannya, sebuah batu belum mempunyai nilai karena keindahannya belum nampak, cahayanya belum keluar, auranya masih tersembunyi. Proses berikutnya adalah menggosoknya lagi dengan abu intan untuk batu berkelas atau cukup dengan kulit bambu untuk batu akik biasa. Semua tahapan yang prosesnya tidak mudah ini harus dikerjakan dengan penuh intensitas, dengan kekhusyukan, kesabaran dan ketulusan. Dengan kata lain harus dilakukan dengan cinta.
Ketika banyak anak-anak muda yang datang untuk belajar menulis puisi, maka pelajaran pertama yang saya berikan adalah menyuruh mereka menggosok batu akik. Ini bukan sekedar mengarahkan agar mereka mempunyai keterampilan dalam hal gosok-menggosok batu, namun lebih pada bagaimana melatih kekhusyukan, kesabaran, ketulusan serta kecintaan mereka terhadap sesuatu. Juga melatih mereka agar terbisa mengerjakan sesuatu tanpa pamrih. Bagi saya, syarat utama menjadi penyair bukan hanya pandai dan terampil mengolah kata-kata. Ada yang jauh lebih penting dari itu semua, yakni kemampuan mengolah batin dan membentuk mental yang tanggul: khusyuk, sabar, tulus, penuh cinta, tanpa pamrih dan tidak gampang naik darah. Juga tidak mudah tergiur jika sekali waktu ditawari menjadi caleg atau calon wakil bupati, apalagi kalau cuma menjadi tim sukses. Sebenarnya metode ini muncul secara intuitif dari kehidupan saya sehari-hari. ”Batu itu seperti kata, semakin digosok semakin bercahaya,” begitulah fatwa yang selalu saya sampaikan kepada siapa saja yang berniat serius menggeluti puisi. Selain menggosok batu, merawat bonsai atau memelihara ikan juga sangat bermanfaat bagi proses kreatif seorang penyair, tentu saja jika kita melakukannya dengan penuh intensitas, kekhusyukan, ketulusan serta kecintaan.
Dengan latihan-latihan sederhana seperti ini, kepenyairan yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan tidak pernah dihargai oleh pemerintah bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Kepenyairan yang tidak bisa menghasilkan banyak uang juga bukan sesuatu yang akan meruntuhkan iman. Kepenyairan adalah kekhusyukan dalam menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari, kewajaran dalam memandang berbagai persoalan dan bersikap santai terhadap apapun yang terjadi. Dengan latihan seperti ini, antara santai dan serius menjadi tidak ada batasnya, antara bercanda dan berkarya menjadi tak ada bedanya, antara tawa dan tangis menjadi tak jelas jaraknya, antara jatuh cinta dan patah hati menjadi sama saja. Dengan demikian miskin dan kaya menjadi hal biasa, menjadi sesuatu yang layak dinikmati dan disyukuri. Mental seperti ini penting dimiliki oleh setiap penyair, lebih-lebih penyair yang hidup di negara yang kondisinya sangat paradoksal seperti Indonesia.
Ketika tahun lalu saya dikabari memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2006-2007, reaksi saya waktu itu rasanya biasa-biasa saja meski hadiah uangnya termasuk banyak untuk ukuran penyair yang tidak mempunyai penghasilan tetap seperti saya. ”Ya, lumayanlah. Hadiah ini saya anggap sebagai honor saya menulis puisi selama puluhan tahun,” kata saya sewaktu memberi sambutan. Memang sempat terlintas juga bahwa uang sebesar itu rasanya akan cukup seandainya digunakan untuk poligami. Namun entah kenapa saya teringat pada koleksi batu saya yang banyak, yang tidak semuanya mendapat giliran dipakai atau sekedar dielus-elus. Ah, jangan-jangan kalau saya punya istri banyak juga akan demikian. Jangan-jangan saya tidak akan punya waktu lagi untuk menulis puisi. Akhirnya uang itu saya belikan kolam.
Memelihara ikan, seperti halnya mengoleksi batu dan merawat bonsai, mudah-mudahan bisa membuat bulu kuduk saya tetap sensitif. Dengan bulu kuduk yang sensitif saya akan mudah terharu, lalu setelah mudah terharu biasanya saya akan gampang jatuh cinta. Dan dengan sering jatuh cinta pada apa saja, tentu saja puisi akan mengalir dengan sendirinya. Jatuh cinta bukan hanya membuat saya merasa awet muda, tapi juga merasa lebih bertenaga. Jadi uang yang berasal dari puisi harus saya kembalikan lagi pada puisi. Hehehe.
(2008)