PUISI
UNTUK KANJENG NABI
Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor
KASIDAH merupakan salah satu genre puisi yang
berisi persembahan atau puji-pujian kepada seseorang. Pada awalnya genre puisi
puji-pujian tersebut hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad, seperti yang nampak
pada puisi-puisi dari tradisi sastra sufi, namun pada perkembangannya kasidah
dapat bersifat umum juga. Sedang puisi-puisi yang khusus ditujukan pada nabi,
menurut penyair Abdul Hadi WM, dikenal dengan sebutan na’tiyah yang artinya puji-pujian juga. Puisi na’tiyah banyak
menggambarkan keunggulan sifat-sifat nabi, juga ketaatan serta keselarasannya
dengan kehendak Tuhan, selain mengenai sejarah hidup nabi yang menjadi sumber
keteladanan itu sendiri.
Puisi na’tiyah berkembang berdasarkan
pandangan bahwa sebagai penerima wahyu ilahi dan penyampai ajaran Islam, Nabi
Muhammad memainkan peranan sentral dalam sejarah peradaban dan kebudayaan
Islam. Salah satu contohnya adalah kepeloporannya dalam membentuk masyarakat
madani berdasarkan ajaran Islam, yang dilakukan sewaktu beliau dan pengikutnya
hijrah ke Madinah. Semenjak itu sejarah dan kebudayaan Islam bermula dalam arti
yang sebenarnya dan merupakan asas terbentuknya masyarakat Islam pada masa-masa
selanjutnya.
Puisi na’tiyah sudah muncul sejak zaman nabi
masih hidup, ditulis oleh para sahabat dan pengikutnya, yang kemudian
dilanjutkan oleh para penyair sufi dari zaman ke zaman seperti Attar, Nizami,
Sana’i, Sa’di, Rumi, Hafiz sampai Iqbal di zaman modern ini. Bahkan penyair
terbesar dari Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, yang mengagumi
karya-karya penyair na’tiyah juga menulis puisi khusus untuk nabi. Namun tak bisa
dipungkiri bahwa genre puisi na’tiyah dikenal
dan benar-benar tersebar secara luas lewat Qasidah
al-Barzanji, Qasidah al-Burdah dan Qasidah
al-Diba, termasuk ke tengah-tengah masyarakat kita. Bahkan saking
populernya puisi-puisi tersebut di beberapa tempat diadaptasi ke dalam bahasa
lokal, dibacakan dan dinyanyikan beramai-ramai. Mungkin tidak semua orang tahu
bahwa yang mereka bacakan dan nyanyikan tersebut sebenarnya puisi, bukan wirid
atau mantra suci.
Lalu adakah pengaruh
puisi na’tiyah terhadap sastra
Indonesia? Kalau kita mengamati para penyair klasik seperti Raja Ali Haji,
Bukhari Al-Jauhari, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri dan Abdurrauf
Singkel, termasuk di dalamnya Haji Hasan Mustapa sedikit banyak kita masih
merasakan jejaknya, meskipun para penyair tersebut menggunakan bentuk lain
seperti pantun, gurindam, guguritan atau wawacan. Lewat puisi-puisinya mereka
mengungkapkan puji-pujian pada nabi, menceritakan sifat-sifatnya yang baik
serta menyebarkan ajaran-ajarannya. Dalam konteks puisi modern tema mengenai
nabi juga banyak ditulis penyair kita, meskipun dengan sudut pandang yang lebih
subyektif. Saya masih ingat beberapa puisi mengenai nabi yang ditulis Taufiq
Ismail, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn dan Mohammad Diponegoro ketika mereka
masih sangat muda. Taufiq menggambarkan perjalanan Isra dan Mi’raj, sementara
Goenawan merefleksikan peristiwa ketika nabi pertama kali menerima wahyu. Emha
Ainun Nadjib muda juga menulis puisi panjang tentang riwayat nabi dalam
kumpulan puisinya yang pertama, M.Frustrasi.
Sementara lewat cerpen-cerpennya yang sufistik, Danarto melukiskan dengan indah
peristiwa-peristiwa surealistik yang secara simbolis ada kaitannya dengan nabi.
Tahun 1970-an Rendra yang waktu itu masih beragama Katolik bersama kelompok
Bengkel Teater-nya yang terkenal mementaskan Qasidah al-Barzanji berdasarkan terjemahan Syu’bah Asa, dan konon
tak lama kemudian penyair besar ini masuk Islam. Abdul Hadi WM dan A. Mustofa Bisri termasuk penyair kita
yang banyak menulis puisi tentang nabi, yang kadang dihubungkan secara
kontekstual dengan kondisi sosial dan politik negeri ini. Begitu juga Hamid
Jabbar tak ketinggalan menulis puisi tentang nabi, tentu dengan gaya dan
caranya sendiri.
Di sini saya kutip
puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Muhammad Menjelang Baytul-Maqdis”:
Langit yang melengkungkan dada, biru hitam
Muka tengadah denyut darah tertahan
Kutoreh dadamu al-Amin, jantung baiduri
Kubuka langitku bagimu, mata hujan dan salju
Di tangannya waktu meleleh
Lumat gurun dan lembah. Berlalu
Gerimis cahaya melinangi bumi
Lekat dada dan langit baginya. Selalu
Tema tentang nabi masih
terus ditulis para penyair kita yang muncul kemudian, meskipun secara bentuk
sudah berbeda jauh dari genre puisi na’tiyah
yang formal, mungkin disebabkan
karena ekspresi serta subyektivitas penyairnya lebih menonjol. Bentuk puisinya
pun cenderung liris dan sublim, tidak lagi naratif. Dengan demikian puisi yang
dihasilkan para penyair mutakhir tersebut lebih sebagai puisi religius atau
sufistik ketimbang na’tiyah.
Sementara dalam
khazanah sastra Sunda modern tema mengenai nabi juga menunjukkan jejaknya
seperti nampak pada beberapa puisi atau prosa karya RAF, Apip Mustofa, Wahyu
Wibisana, Usep Romli HM, Yous Hamdan atau
Etti RS, di samping beberapa karya yang diadaptasi para pengarang Sunda
dari sastra Arab. Namun yang membuat saya paling terkesan adalah prosa lirisnya
Enas Mabarti yang berjudul Gunem Rencep
Sidem. Penyair yang juga aktivis Nahdlatul Ulama asal Garut ini benar-benar
memaksimalkan karakter bahasa Sunda yang lembut dan plastis untuk menggambarkan
kedalaman perasaan serta kekagumannya terhadap Kanjeng Nabi Muhammad secara
naratif.
***
Fauz Noor merupakan
salah seorang penulis muda dari kalangan santri yang cukup produktif. Beberapa
novel dan kajian filsafatnya yang lumayan tebal sudah terbit sebagai buku.
Konon sekarang pun sedang khusyuk menyiapkan sebuah novel lagi. Ketika ia
berkunjung ke rumah saya belum lama ini dan menunjukkan puisi-puisinya yang
khusus mengenai nabi, saya sempat tercenung lama.
Dalam dua dekade
terakhir ini saya mengenal banyak penulis dari kalangan santri, baik yang
menulis puisi, cerpen maupun novel. Saya juga merasakan kegairahan yang luar
biasa hingga di banyak pesantren muncul sanggar-sanggar sastra. Ada yang
khusyuk menulis puisi-puisi liris, ada yang produktif menulis cerpen-cerpen
pop, ada juga yang menulis novel tentang romantika kehidupan santri. Meskipun puisi-puisi
liris yang ditulis mereka banyak yang bertema religius atau bermuatan
spiritual, namun rasanya jarang sekali saya melihat puisi-puisi dari genre na’tiyah, yang secara khusus bicara
mengenai nabi. Padahal selama ini mereka hidup dalam atmosfir na’tiyah, yang secara berkala melakukan
ritual seperti diba’an, burdahan, barzanjian atau shalawatan di pesantren
maupun kampungnya masing-masing.
Tentu tidak ada yang
salah dengan semua ini. Seorang penulis, dari latar belakang manapun pada
dasarnya tetaplah seorang penulis yang bebas menulis apa saja tanpa harus
dibebani tema tertentu. Bisa menulis tentang cinta, sosial, politik, religius
atau apapun termasuk ronggeng seperti yang dilakukan Ahmad Tohari. Hanya saja,
genre na’tiyah atau tema tentang nabi
juga merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk dikembangkan, apalagi oleh
mereka yang akrab atau hidup di tengah-tengah atmosfir tersebut. Sesuatu yang
sangat menantang untuk diwujudkan menjadi karya yang akan ikut mewarnai
khazanah sastra kita, entah itu dalam genre puisi, prosa liris maupun cerita.
Entah itu dalam gaya formal atau eksperimental.
Membaca puisi-puisi
Fauz Noor saya seperti mendapat jawaban dari keheranan yang selama ini saya
simpan dalam hati. Kumpulan puisinya yang berjudul Terapi Bersama Nabi berisi puisi-puisi yang ditulis dalam genre na’tiyah, yang secara tematik khusus
berbicara mengenai nabi. Pada hampir setiap puisinya digambarkan aku lirik yang
kasmaran merindukan kehadiran nabi, merindukan sifat-sifatnya yang mulia,
merindukan keteladanannya, merindukan ajaran-ajarannya. Juga aku lirik yang
mabuk menghirup wewangian nabi serta tenggelam dalam cahayanya yang suci. Di
sini saya kutip penggalan puisinya:
Ya Rosululloh
Senantiasa aku tunggu baginda di muka beranda
Menyambut baginda adalah cinta
Memimpikan baginda adalah cita
Mencium baginda adalah karunia
Bahasa yang digunakan
Fauz Noor pada hampir seluruh puisinya memang terkesan klasik, atau dalam
perkataan lain mengingatkan kita pada puisi gaya lama. Namun jika dibaca dan
direnungi puisi per puisi secara keseluruhan, kita akan menemukan letak
keunikan serta kenikmatannya. Bahasa yang klasik, yang cenderung formal dan
kemelayu-melayuan jika diterapkan secara konsisten bagi saya bukan sekedar
pilihan bentuk yang disadari, namun sekaligus menyiratkan sikap tawadu dalam
memposisikan diri di hadapan Tuhan dan nabi. Dengan demikian untuk genre na’tiyah ini pilihan pada bahasa klasik
tersebut menjadi terasa pas, bahkan efektif. Saya kutip lagi penggalan
puisinya:
Allah ...
Bawalah aku ke haribaan pena
Ke peraduan syair dan tafsir
Di negeri umpama
Mengikuti sunnah nabi-Mu terkasih
Meneladani akhlaknya yang mulia
Hal
lain yang menarik dari kumpulan puisi ini adalah karena penyairnya memilih
idiom atau ungkapan yang sederhana. Bahkan terasa bahwa ungkapan yang
digunakannya berasal dari memori kolektif kita, yang tentu saja mudah diingat
dan dimengerti oleh siapapun. Tak ada ungkapan yang berlapis, ruwet, gelap,
ambigu atau obscure. Semuanya
transparan seperti kaca, dan semuanya bisa kita nikmati tanpa harus banyak
mengerutkan dahi. Metafor-metafor yang
digunakanannya juga apa adanya, dan nampaknya mengacu pada karakter formal
puisi-puisi na’tiyah itu sendiri, di mana keindahan dan kemuliaan nabi
misalnya, banyak digambarkan dengan metafor cahaya dan wewangian. Metafor yang
tentu saja sudah menjadi klasik. Dalam genre puisi semacam ini nampaknya isi atau pesan lebih penting
ketimbang bentuk, dengan demikian pilihan bentuk pun akan mengikuti karakter
isi.
Begitulah, saya telah
mencoba berapresiasi terhadap kumpulan puisi yang menurut saya cukup unik.
Disebut unik karena penyair dan novelis asal Tasikmalaya ini mengangkat tema
yang langka dalam khazanah perpuisian kita, di samping adanya upaya menggali
potensi bahasa klasik sehingga menimbulkan bunyi yang kadang terdengar eksotik
di tengah gempuran idiom-idiom grafis di media massa. Semoga dengan
mengapresiasi puisi-puisi sederhana namun menyentuh hati ini kecintaan serta
kerinduan kita terhadap Kangjeng Nabi Muhammad juga akan semakin meninggi, yang
kemudian terefleksikan dalam perilaku hidup kita sehari-hari. Amin. []