ANTARA KESADARAN DAN BAWAH SADAR
Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor
PUISI dan filsafat punya kaitan karena kedua-duanya memandang hidup sebagai masalah. Penyair dan filsuf dalam hal ini menganggap hidup sebagai teka-teki yang perlu dibuka. Perbedaan mereka adalah dalam bersikap. Kalau seorang filsuf hendak merenggut jawaban dari balik kabut rahasia yang cenderung disusunnya dalam sistem berpikir yang ketat, maka penyair memilih tinggal dalam bertanya-tanya. Demikian Subagio Sastrowardoyo dalam tulisannya mengenai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Ungkapan yang menjadi kunci dalam menyelami kepenyairan Sapardi itu, kiranya bermanfaat juga kita kutip lagi di sini sebagai awal pembicaraan mengenai puisi-puisinya sendiri. Meskipun karya mereka jelas berbeda dalam banyak hal, tapi keduanya sama-sama berangkat dari intelektualitas dan memandang hidup sebagai masalah. Sapardi banyak memainkan lambang dan daya khayal hingga sesuatu yang abstrak seakan-akan menjadi kongkrit, sedang Subagio banyak mengolah pikiran untuk mengkongkritkan sesuatu yang sebenarnya abstrak.
Sejak kumpulan puisinya Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), sampai Hari Dan Hara (1982) sosok perpuisian Subagio Sastrowardoyo nyaris bisa dirumuskan sebagai puisi-puisi yang sarat dengan beban filsafat. Puisi-puisinya bukanlah senandung yang melukiskan lanskap-lanskap alam yang indah. Puisi-puisinya adalah ungkapan-ungkapan lurus dan lugas dengan nada dasar yang cenderung dingin, seperti sebuah gumam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menukik atau pernyataan-pernyataan yang menohok tentang hakikat hidup, cinta dan juga keberadaan manusia. Dengan demikian puisi-puisi Subagio menjadi tak serenyah puisi-puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono atau Abdul Hadi W.M. yang cenderung merdu meskipun mempunyai beban persoalan yang sama seriusnya. Selain itu, pengaruh puisi-puisi Subagio terhadap penyair-penyair yang lebih muda juga tidak sekuat pengaruh ketiga penyair tadi.
Subagio Sastrowardoyo yang muncul pada tahun 1950-an, puisi-puisinya sempat menarik perhatian banyak pengamat -- untuk tidak dikatakan mengguncang dunia perpuisisian kita waktu itu. Puisi-puisinya dinilai berani menggugat hakikat hidup dan sikap keagamaan, yang kemudian banyak dihubungkan orang dengan filsafat eksistensialisme. Puisi-puisinya seperti “Dewa Telah Mati”, “Jarak”, “Bulan Ruwah” dan terutama “Simphoni” memang sangat kuat mengesankan adanya hubungan itu. Puisi-puisi tersebut banyak mempersoalkan sangkan paraning dumadi manusia dan kehidupan modern. Kita kutip bagian dari puisi “Bulan Ruwah” yang banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:
Tuhan, ya robbilalamin!Sejak kumpulan puisinya Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), sampai Hari Dan Hara (1982) sosok perpuisian Subagio Sastrowardoyo nyaris bisa dirumuskan sebagai puisi-puisi yang sarat dengan beban filsafat. Puisi-puisinya bukanlah senandung yang melukiskan lanskap-lanskap alam yang indah. Puisi-puisinya adalah ungkapan-ungkapan lurus dan lugas dengan nada dasar yang cenderung dingin, seperti sebuah gumam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menukik atau pernyataan-pernyataan yang menohok tentang hakikat hidup, cinta dan juga keberadaan manusia. Dengan demikian puisi-puisi Subagio menjadi tak serenyah puisi-puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono atau Abdul Hadi W.M. yang cenderung merdu meskipun mempunyai beban persoalan yang sama seriusnya. Selain itu, pengaruh puisi-puisi Subagio terhadap penyair-penyair yang lebih muda juga tidak sekuat pengaruh ketiga penyair tadi.
Subagio Sastrowardoyo yang muncul pada tahun 1950-an, puisi-puisinya sempat menarik perhatian banyak pengamat -- untuk tidak dikatakan mengguncang dunia perpuisisian kita waktu itu. Puisi-puisinya dinilai berani menggugat hakikat hidup dan sikap keagamaan, yang kemudian banyak dihubungkan orang dengan filsafat eksistensialisme. Puisi-puisinya seperti “Dewa Telah Mati”, “Jarak”, “Bulan Ruwah” dan terutama “Simphoni” memang sangat kuat mengesankan adanya hubungan itu. Puisi-puisi tersebut banyak mempersoalkan sangkan paraning dumadi manusia dan kehidupan modern. Kita kutip bagian dari puisi “Bulan Ruwah” yang banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:
apakah kau Islam atau Kristen
apakah kitabmu: Qur’an atau Injil
apakah bangsamu: seorang rus, cina atau jawa?
Orang rus itu komunis yang menghina nabi dan agama
Orang cina suka makan babi. Itu terang jadi larangan
Orang jawa malas sembahyang dan gemar mistik
Apakah bangsamu, apakah warna kulitmu, apakah asalmu
Apakah kau pakai peci atau sarung pelekat
Atau telanjang seperti budak habsyi hitam pekat
atau seperti bintang film berpotret di kamar mandi
Antara tanda kurung: apakah dia punya tuhan?
Tapi dalam suratnya kepada H.B. Jassin yang merupakan kritik atas kritik, Subagio terang-terangan menolak anggapan tersebut: “Di dalam dunia sastra aku tak mau ikut-ikutan mengulang-ulang pandangan filsafat yang tidak menarik lagi bagiku, baik yang Sartreaans, karena absurditas yang terlalu palsu romantis, maupun yang Nietzcheans, karena cita-cita Uebermensch-nya terlalu mengingatkan aku pada pada bayangan cita-cita dan sikap hidup anak puber. Aku bukan penganut buta suatu ajaran filsafat atau dogma agama. Aku mau dengan persediaan pengalaman dan studi mengisi dan membentuk diriku mencapai kesadaran yang setinggi-tingginya tentang hidup ini dan tentang manusia. Dan aku beranggapan, bahwa kebenaran yang hakiki hanya dapat disorot dengan matahari, dengan menggali lebih dalam ke dalam bawah sadar”.
Kaitan antara puisi dan filsafat terutama karena mempunyai obyek permasalahan yang sama, yakni manusia dan hidup. Tapi kedudukan puisi bukanlah untuk mengulang atau menjadi penyambung lidah bagi aliran filsafat atau ajaran tertentu. Dengan posisinya yang khas puisi bahkan bisa menciptakan filsafat atau ajaran tersendiri. Dan Subagio percaya bahwa permasalahan manusia dan hidup bisa ditangkap oleh kilatan-kilatan pikirannya yang mendadak. Dalam menulis puisi yang menjadi pedoman adalah integritas pengucapan dan ketulusan dari bawah sadar penyair, yang oleh Jaques Maritain digambarkan sebagai tempat hadirnya totalitas dan sumber kreatifitas manusia. Jadi tidak ada metode dan sistem pengolahan pikiran di dalam puisi, yang harus dijelaskan pada pembaca tentang obyektivitas pandangannya sehingga dapat berlaku sebagai pandangan umum.
Sebagai penyair yang terhitung produktif, puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo terus mengalir tanpa meninggalkan nada dasarnya meski dari waktu ke waktu obyek permasalahannya semakin melebar. Bukan saja masalah manusia dalam kaitannya dengan hakikat hidup dan sikap keagamaan, tapi juga menyinggung masalah sosial, politik dan peradaban modern serta kecenderungan erotisme pada sebagian puisinya – yang juga dinilai jujur dan berani karena pengungkapannya yang gamblang seperti yang ditunjukkan dalam kumpulan puisi Daerah Perbatasan, Keroncong Motinggo serta Hari dan Hara.
Sejak kumpulan puisi terakhirnya yang terbit tahun 1982, cukup lama kita tak menemukan lagi puisi-puisinya yang baru. Tapi yang kemudian mengejutkan, bahwa sepanjang tahun 1989 ia begitu gencar mengumumkan puisi-puisinya di berbagai media. Kini puisi-puisinya yang ditulis pada tahun tersebut telah dibukukan dengan judul Simfoni Dua (1990). Kumpulan yang berisi 46 puisi terbaru kemudian menjadi agak tebal karena dimuatkan juga kumpulan puisi perdananya, Simphoni, yang pertama terbit tahun 1957, dengan sedikit perubahan ejaan pada judul menjadi Simfoni I. Puisi-puisi terbarunya yang ini dimaksudkan penyairnya sebagai lanjutan dari Simfoni I tersebut.
Secara umum puisi-puisi terbarunya ini memang mengesankan sebagai lanjutan dari puisi-puisi sebelumnya, terutama dalam kaitannya dengan tema. Subagio masih terus bergulat dengan permasalahan manusia dan hidup, meskipun harus diakui di sana sini terjadi juga pergeseran dalam penekanan masalah dan sudut pandang. Dalam puisi-puisi terbarunya ini keprihatinan sang penyair terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan dan dampak modernisasi terasa sangat dominan. Selain itu, yang agak baru dari Subagio dalam kumpulan ini adalah munculnya puisi-puisi suasana hati yang lanskapis, di samping juga renungan-renungan kematiannya yang semakin menukik.
Kini sang penyair sudah tidak banyak bertanya-tanya lagi untuk mendapatkan kepastian dan juga mulai mengendorkan pernyataan-pernyataannya, sehingga tak terlalu memaksa pembaca untuk terus berpikir. Subagio nampaknya sedang berada pada tahap kontemplasi terhadap dirinya, keberadaannya, lingkungannya serta saudara-saudaranya yang bernasib malang. Subagio tak hanya memandang atau menjadi saksi dari kemalangan mereka, tapi berusaha menerobos masuk ke dalam inti permasalahan. Ia berbicara sebagai aku-lirik seorang pelacur, gelandangan yang tergusur, tukang becak, perempuan tua yang merana dan seterusnya. Ia melakukan monolog. Tapi tidak seperti biasanya, ungkapan-ungkapan Subagio terasa lebih santai karena puisi-puisi sosialnya kali ini banyak menggunakan bahasa sehari-hari. Dengan demikian, dalam perkembangan terbarunya, intelektualitas Subagio yang membuat puisi-puisinya terasa seperti balok es yang dingin kali ini lebih banyak mendapat guyuran perasaan -- dengan konsekwensi menjadi lebih cair, mengalir dan tentu saja naratif.
Kita kutip salah satu puisi sosialnya yang menyuarakan keprihatinan terhadap nasib yang menimpa saudaranya. Puisi ini berjudul “Aku dan Saudaraku”:
Sakitku yang tak sembuhKaitan antara puisi dan filsafat terutama karena mempunyai obyek permasalahan yang sama, yakni manusia dan hidup. Tapi kedudukan puisi bukanlah untuk mengulang atau menjadi penyambung lidah bagi aliran filsafat atau ajaran tertentu. Dengan posisinya yang khas puisi bahkan bisa menciptakan filsafat atau ajaran tersendiri. Dan Subagio percaya bahwa permasalahan manusia dan hidup bisa ditangkap oleh kilatan-kilatan pikirannya yang mendadak. Dalam menulis puisi yang menjadi pedoman adalah integritas pengucapan dan ketulusan dari bawah sadar penyair, yang oleh Jaques Maritain digambarkan sebagai tempat hadirnya totalitas dan sumber kreatifitas manusia. Jadi tidak ada metode dan sistem pengolahan pikiran di dalam puisi, yang harus dijelaskan pada pembaca tentang obyektivitas pandangannya sehingga dapat berlaku sebagai pandangan umum.
Sebagai penyair yang terhitung produktif, puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo terus mengalir tanpa meninggalkan nada dasarnya meski dari waktu ke waktu obyek permasalahannya semakin melebar. Bukan saja masalah manusia dalam kaitannya dengan hakikat hidup dan sikap keagamaan, tapi juga menyinggung masalah sosial, politik dan peradaban modern serta kecenderungan erotisme pada sebagian puisinya – yang juga dinilai jujur dan berani karena pengungkapannya yang gamblang seperti yang ditunjukkan dalam kumpulan puisi Daerah Perbatasan, Keroncong Motinggo serta Hari dan Hara.
Sejak kumpulan puisi terakhirnya yang terbit tahun 1982, cukup lama kita tak menemukan lagi puisi-puisinya yang baru. Tapi yang kemudian mengejutkan, bahwa sepanjang tahun 1989 ia begitu gencar mengumumkan puisi-puisinya di berbagai media. Kini puisi-puisinya yang ditulis pada tahun tersebut telah dibukukan dengan judul Simfoni Dua (1990). Kumpulan yang berisi 46 puisi terbaru kemudian menjadi agak tebal karena dimuatkan juga kumpulan puisi perdananya, Simphoni, yang pertama terbit tahun 1957, dengan sedikit perubahan ejaan pada judul menjadi Simfoni I. Puisi-puisi terbarunya yang ini dimaksudkan penyairnya sebagai lanjutan dari Simfoni I tersebut.
Secara umum puisi-puisi terbarunya ini memang mengesankan sebagai lanjutan dari puisi-puisi sebelumnya, terutama dalam kaitannya dengan tema. Subagio masih terus bergulat dengan permasalahan manusia dan hidup, meskipun harus diakui di sana sini terjadi juga pergeseran dalam penekanan masalah dan sudut pandang. Dalam puisi-puisi terbarunya ini keprihatinan sang penyair terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan dan dampak modernisasi terasa sangat dominan. Selain itu, yang agak baru dari Subagio dalam kumpulan ini adalah munculnya puisi-puisi suasana hati yang lanskapis, di samping juga renungan-renungan kematiannya yang semakin menukik.
Kini sang penyair sudah tidak banyak bertanya-tanya lagi untuk mendapatkan kepastian dan juga mulai mengendorkan pernyataan-pernyataannya, sehingga tak terlalu memaksa pembaca untuk terus berpikir. Subagio nampaknya sedang berada pada tahap kontemplasi terhadap dirinya, keberadaannya, lingkungannya serta saudara-saudaranya yang bernasib malang. Subagio tak hanya memandang atau menjadi saksi dari kemalangan mereka, tapi berusaha menerobos masuk ke dalam inti permasalahan. Ia berbicara sebagai aku-lirik seorang pelacur, gelandangan yang tergusur, tukang becak, perempuan tua yang merana dan seterusnya. Ia melakukan monolog. Tapi tidak seperti biasanya, ungkapan-ungkapan Subagio terasa lebih santai karena puisi-puisi sosialnya kali ini banyak menggunakan bahasa sehari-hari. Dengan demikian, dalam perkembangan terbarunya, intelektualitas Subagio yang membuat puisi-puisinya terasa seperti balok es yang dingin kali ini lebih banyak mendapat guyuran perasaan -- dengan konsekwensi menjadi lebih cair, mengalir dan tentu saja naratif.
Kita kutip salah satu puisi sosialnya yang menyuarakan keprihatinan terhadap nasib yang menimpa saudaranya. Puisi ini berjudul “Aku dan Saudaraku”:
adalah untuk merasakan
sakit saudaraku
yang tak mampu membeli obat
di apotik.
Laparku di pembaringan
adalah untuk turut menderita
lapar saudaraku
yang tak menemukan sisa makanan
di bak sampah.
Napasku yang sesak di paru
adalah napas yang tersengal
di dada saudaraku
yang letih disiksa hidup.
Dalam menyampaikan keprihatinannya yang mendalam terkadang Subagio melepaskan metafor atau simbol hingga puisi-puisinya tampak lebih telanjang. Dengan memanfaatkan kekuatan bahasa grafis – meminjam istilah Rendra untuk menyebut puisi-puisi yang mementingkan kejelasan – puisi-puisi seperti “Kenikmatan-kenikmatan”, “Doa Seorang WTS”, “Aku Tak Lagi Bisa Menulis Puisi”, “Dunia Kini Tidak Peka”, “Paskah Di Kentucky Fried Chiken” serta beberapa yang lainnya mengalir lancar dan aman, dengan demikian terasa komunikatif. Tapi kelancaran ini pada beberapa puisi menjadi sangat verbal karena bahasa yang digunakan benar-benar bahasa sehari-hari dari aku-lirik. Kita kutip sebagian dari “Doa Seorang Pelacur”:
Laki saya kerja di pabrik rokok. Yangdibawa pulang saban bulan cuma
10.000. Selebihnya dihabiskan di mainan
judi buntut. Sedang anak-anak masih
kecil, tiga. Yang sulung baru kelas dua
SD. Mereka perlu makan, perlu obat
kalau sakit. Belum lagi pakaian
untuk lebaran, hiburan ke kebun binatang.
Mana cukup uang segitu.
Pernah saya coba jualan kain di pasar
dan menjaga took juragan beras. Tapi hasilnya
cuma pas-pasan. Badan saya jadi kurus
tidak terpelihara. Lalu saya beginilah jadinya.
Tapi dengan cara seperti ini, selain kelancaran mengemukan gagasan, puisi-puisi Subagio pun menjadi berbeda dengan puisi-puisi sosial Rendra yang cenderung retorik dengan bahasa grafisnya yang sangat plastis. Puisi-puisi Subagio bercerita tanpa basa-basi, tanpa aksentuasi dan sekaligus tanpa dramatisasi yang berlebihan, namun seperti sebuah gumam dalam nada yang rendah. Meskipun begitu, kumpulan terbarunya ini tak melulu berisi puisi-puisi sosial yang telanjang seperti disinggung di atas. Sebagian puisinya justru mengingatkan kita pada sebagian puisi lamanya, sarat dengan pikiran serta imaji-imaji yang berat, sekalipun untuk tema-tema yang sifatnya sosial.
“Nada Awal”, “Motif I” sampai “Motif V”, “Lima Sajak Tentang Perempuan”, “Penantian” dan “Tanpa Berkata”, mengungkapkan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang lebih berlapis-lapis. Puisi-puisi ini penuh dengan imaji-imaji yang menyuruk pada alam bawah sadarnya ketimbang pada kesadaran. Puisi sebagai suara bawah sadar yang menjadi konsepsi awal kepenyairan Subagio sebenarnya lebih tepat untuk puisi-puisi jenis ini, di mana kilatan-kilatan pikiran, percikan-percikan imaji muncul secara intuitif dan spontan. Hal ini berbeda dengan kebanyakan puisi sosialnya yang telah disinggung tadi, di mana puisi sepertinya dilahirkan terlebih dahulu oleh gagasan, atau dengan kata lain oleh kesadaran penyairnya dalam memilih tema maupun cara pengucapannya.
Subagio sebenarnya sudah sejak kumpulan puisi pertamanya cenderung menampilkan imaji-imaji yang mengarah pada suasana surealistik, kemudian terasa dominan pada kumpulan ketiganya, Keroncong Motinggo, dengan penggunaan imaji-imaji yang memberat pada alam bawah sadar. Dalam Simfoni Dua, suasana seperti itu muncul pada sebagian puisi dengan kadar yang lebih linier, lebih mengalir juga lebih santai dibanding puisi-puisi terdahulunya yang terkesan sangat serius. Beberapa puisinya malah menunjukkan kemerduan irama seperti yang kita rasakan ketika membaca puisi “Jendela”, “Seakan-akan”, “Berilah Aku Kota”, “Pada Daun Gugur”, dan terutama “Soneta Laut” yang memang sangat lanskapis. Kita kutip bait awalnya saja:
Laut, di mana mata airmu “Nada Awal”, “Motif I” sampai “Motif V”, “Lima Sajak Tentang Perempuan”, “Penantian” dan “Tanpa Berkata”, mengungkapkan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang lebih berlapis-lapis. Puisi-puisi ini penuh dengan imaji-imaji yang menyuruk pada alam bawah sadarnya ketimbang pada kesadaran. Puisi sebagai suara bawah sadar yang menjadi konsepsi awal kepenyairan Subagio sebenarnya lebih tepat untuk puisi-puisi jenis ini, di mana kilatan-kilatan pikiran, percikan-percikan imaji muncul secara intuitif dan spontan. Hal ini berbeda dengan kebanyakan puisi sosialnya yang telah disinggung tadi, di mana puisi sepertinya dilahirkan terlebih dahulu oleh gagasan, atau dengan kata lain oleh kesadaran penyairnya dalam memilih tema maupun cara pengucapannya.
Subagio sebenarnya sudah sejak kumpulan puisi pertamanya cenderung menampilkan imaji-imaji yang mengarah pada suasana surealistik, kemudian terasa dominan pada kumpulan ketiganya, Keroncong Motinggo, dengan penggunaan imaji-imaji yang memberat pada alam bawah sadar. Dalam Simfoni Dua, suasana seperti itu muncul pada sebagian puisi dengan kadar yang lebih linier, lebih mengalir juga lebih santai dibanding puisi-puisi terdahulunya yang terkesan sangat serius. Beberapa puisinya malah menunjukkan kemerduan irama seperti yang kita rasakan ketika membaca puisi “Jendela”, “Seakan-akan”, “Berilah Aku Kota”, “Pada Daun Gugur”, dan terutama “Soneta Laut” yang memang sangat lanskapis. Kita kutip bait awalnya saja:
supaya aku bisa kembali ke asalmu
Laut, di mana mata anginmu
supaya aku bisa mengikuti arusmu
Kemerduan irama kita rasakan juga pada puisi-puisinya yang bertema cinta dan maut. Kedua tema ini sebenarnya sudah banyak ditulis Subagio pada puisi-puisinya terdahulu, tapi rupanya pesona yang dipancarkan cinta dan maut masih cukup kuat untuk mengusik kesadaran dan bawah sadar sang penyair. Menurut hemat saya, kedua tema ini sangat dikuasai Subagio sehingga puisi-puisi yang ditulis tentangnya tampak jauh lebih berhasil dibanding dengan tema sosial atau tema yang berangkat dari sejarah atau mitologi. Dalam tema cinta dan maut Subagio mampu menukik pada perenungan yang intens tentang manusia, absurditas hidup serta pesona kematian: Begitu dekat jarak antara cinta dan maut, katanya dalam puisi “Untuk Aida”. Puisi panjang dengan 9 bagian ini mengingatkan pada puisi “Hotel” dan “Keroncong Motinggo” yang memadukan cinta dan kematian dengan imaji-imaji yang erotis. Kita kutip bagian pertama dari puisi panjangnya yang mempesona ini:
Yang kuingat hanya jemarimu yang meraba bibirkudan kau berkata: “Kapan kebebasan ini
berakhir, kalau seluruh tubuh sudah
diresapi dan kenikmatan tinggal segenggam
uang kusam di tangan? Berapa aku
kaubayar semalam?”
Kita beringsut dari sudut kamar
tempat kita terdampar. Semua tertutup
kecuali pintu di mana cinta menanti
yang menunjuk ke arah mati
Yang diungkapkan penyair di atas bukanlah kisah “mesum” yang biasa dilakukan sepasang insan yang berlainan jenis, tapi sebuah pergulatan eksistensial dalam memahami kehidupan dengan segala absurditasnya. Kegelisahan, keterasingan dan kesunyian telah menjadi persoalan manusia yang berjuang mengenal dirinya, sesamanya dan lingkungannya. Puisi ini menampakkan sisi lain dari cinta, di mana segala kenikmatan atau kebahagiaan yang didambakan dari cinta sangat dekat jaraknya dengan maut. Tapi maut pun bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena pada titik tertentu merupakan puncak ekstase dari cinta, suatu pembebasan yang menghapuskan keperihan hidup dan pada gilirannya akan melahirkan kemurnian kembali. Kita simak bagian akhir dari puisi ini:
Engkau sudah tercemarsebelum kusentuh pertama kali.
Memang dunia ini tersaji
bagi insan yang berani memadu napsu
sampai batas akhir
sehingga hilang beda nikmat dan lupa.
Begitu dekat jarak antara cinta dan maut.
Aida, bajumu menjadi merah di tanganku
kena getah darah.
Hanya api, kukira, api neraka
yang menyala sepanjang hayat kita
yang akan sempat menghanguskan semua noda
sehingga kita murni kembali
telanjang seperti bayi.
Demikianlah Subagio Sastrowardoyo, seorang penyair terkemuka yang juga eseis serta kritikus sastra yang tajam. Tampaknya dia masih belum membeku dalam usianya yang semakin lanjut, puisi-puisi terbarunya masih cukup bergigi dengan keberaniannya mengungkapkan hal-hal yang secara konvensional dianggap tabu. Lebih dari itu semua, puisi-puisi terbarunya juga menunjukkan keragaman tema serta pengucapan yang terus berkembang. []
(1991)