MUNAJAT
ERIYANTI
Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor
Eriyanti Nurmala Dewi lebih dikenal sebagai
wartawan yang tulisan-tulisan jurnalistik secara rutin muncul setiap minggu di
koran harian tempatnya bekerja. Ia banyak menulis tentang masyarakat urban,
tentang gaya hidup masa kini, tentang dunia wanita atau tentang komunitas yang
terbentuk karena kesamaan hobi. Saya termasuk orang yang setia mengikuti
tulisan-tulisannya, selain untuk mendapatkan informasi dari apa yang ditulis
atau dilaporkannya, saya juga cukup menikmati caranya bertutur serta gayanya
berbahasa. Bagi saya tulisan-tulisan jurnalistik Eriyanti cukup enak dibaca,
bahkan pada batas-batas tertentu terasa ada unsur sastranya. Dengan kata lain
tulisan jurnalistik Eriyanti tidak sekedar melaporkan sesuatu, namun juga ada
upaya mengekspresikan sesuatu.
Eriyanti
tentu saja bukan sekedar wartawan yang hanya menulis dalam rangka menjalankan
tugas rutin saja. Di kalangan sastrawan, khususnya di Jawa Barat, ia juga
dikenal sebagai penyair yang sejak akhir 1980-an sudah mulai mengumumkan
puisi-puisinya di berbagai media. Eriyanti produktif menulis puisi sejak masih
tergabung dalam komunitas sastra di kampusnya, yang kemudian terus berlanjut
ketika bekerja pada sebuah tabloid dakwah. Ingatan saya tentang Eriyanti
lumayan baik karena pada dekade 1990-an tidak terlalu banyak penyair wanita di
Jawa Barat yang mengumumkan puisi-puisinya di media massa. Selain Eriyanti, ada
juga Taty Haryati, Katrerina Arm, Miranda Risang Ayu, Shinta Kusumawati, Nenden
Lilis Aisyah, lalu Nina Minareli, di samping para penulis cerpen produktif
seperti Tetet Cahyati dan Mona Sylviana. Ada juga penyair lain yang bernama Nia
Anjani, namun setelah saya teliti dengan seksama ternyata penyair tersebut
seorang lelaki.
Pada dekade 2000-an
ketika banyak penyair wanita Jawa Barat yang bermunculan, Eriyanti justru mulai
jarang mengumumkan puisi-puisinya. Pada kurun tersebut ia meninggalkan tabloid
yang terbit mingguan dan bergabung dengan koran harian, yang tentu saja cukup
banyak menyedot tenaga. Namun menurut pengakuannya ia masih akan terus menulis
puisi sekalipun diam-diam. Menulis puisi baginya sudah menjadi semacam laku
meditasi yang berfungsi sebagai oase di tengah kerasnya kota besar. Atau
semacam sembahyang malam di tengah rutinitas kerjanya sebagai wartawan koran
harian, yang kadang harus bekerja bagaikan seorang tentara di medan perang.
Di tangan saya kini ada
antologi puisi Ritus Ibu, yang
merupakan himpunan puisi-puisi Eriyanti Nurmala Dewi sejak awal kepenyairannya
sampai sekarang. Lewat antologi puisi ini saya berjumpa kembali dengan Eriyanti
yang penyair, yang setelah hampir satu dekade hanya saya menikmati
tulisan-tulisan jurnalistiknya saja. Terus terang ada semacam kerinduan untuk
membaca puisi-puisinya lagi, hal ini disebabkan karena pada paruh 1990-an
sebuah puisi Eriyanti begitu melekat dalam ingatan saya. Puisi tersebut
berjudul “Tembang Kasmaran” yang ditulis entah ditujukan pada siapa. Setelah
saya cari-cari pada lembar demi lembar antologi ini, syukurlah puisi tersebut
termuat juga:
puisi terpanjang adalah kau
mimpi terpanjang adalah kau
kau berkelindan dengan dukaku
perapian yang menghanguskan
pagi terindah adalah kau
malam terindah adalah kau
kau hadir dalam ketiadaan
ketiadaan yang diliputi cinta
Meskipun menggunakan
bentuk serta ungkapan yang sangat sederhana, puisi di atas mampu mengusik saya
sebagai pembaca. Dalam puisi tersebut saya menangkap apa yang ingin disampaikan
penyair sekaligus menikmati bagaimana cara penyair menyampaikannya. Dua hal
yang sangat mendasar sebenarnya, namun kedua hal elementer tersebut sering
dilupakan banyak penyair terutama karena kesibukan mereka-reka bentuk serta
memoles-moles kalimat. Pada penyair ini kesederhanaan (bahkan kepolosan)
tersebut justru menjadi berkah, sebab lewat ungakapan yang terkesan apa adanya
kata-kata menjadi efektif masuk ke kalbu pembaca, paling tidak ke kalbu saya.
Selain “Tembang Kasmaran”, beberapa puisi lain seperti “Kau”, “Percakapan I”,
“Aku Kini Udara”, “Incognito” dan
“Punah” juga mampu mengusik saya karena kebersihan serta kejernihan
bahasanya. Kebetulan semuanya merupakan puisi-puisi yang relatif pendek.
Tentu saja antologi
yang menghimpun puluhan puisi ini tidak hanya berisi puisi-puisi pendek saja,
begitu juga temanya bukan hanya cinta dan kerinduan horisontal saja. Eriyanti juga
menuliskan tentang peranannya sebagai ibu, renungannya tentang alam dan
lingkungan, juga munajat-munajat religiusnya sebagai hamba di hadapan Sang
Pencipta. Pada paruh 1990-an penyair kelahiran Sukabumi ini sempat terlibat
dalam sebuah komunitas spiritual yang dibimbing seorang mursyid sufi dari Pati,
Jawa Tengah. Selain Eriyanti beberapa penyair, seniman dan intelektual muda
seangkatannya juga bergabung dengan komunitas pengajian ini. Dalam kurun inilah
puisi-puisi munajat banyak lahir dari tangannya, yang sebagian bisa dinikmati
dalam antologi ini. Saya kutip salah satu puisinya yang berjudul “Tamkin”,
sebuah puisi yang juga menyentuh saya:
panggang aku dalam baraMu
aku akan sedingin batu
lecut aku dalam siksaMu
aku akan pasrah
duhai, Kekasihku
balut aku selalu dalam luka
sebab di puncak bara dan lecutMu
sakit membuatku tiada
wahai, yang teramat kaya
dari yang maha kaya
limpahruahkan aku
dengan tiada
sebab di puncak tiada aku hadir
di pelataran
: Mu
Puisi di atas
menggambarkan perjalanan panjang seorang hamba menuju kesejatian. Dalam tradisi
sufi, konon tamkin merupakan salah
satu pase yang harus dijalani untuk mencapai pencerahan diri yang total. Dalam
bait terakhir sang penyair menggambarkan puncak pencerahan tersebut sebagai
kesadaran akan ketiadaan hamba dalam konteks fana di hadapan Sang Pencipta.
Beberapa puisi dengan tema sejenis seperti “Doa”, “Sajak Penempuhan”, “Tahajud
di Malaka”, “Krematorium II”, “Setitik Debu” dan “Tak Akan Selesai” juga
ditulis Eryanti dengan penuh kekhusyukan, dengan ungkapan-ungkapan yang liris
dan luruh. Di sini pun saya melihat bahwa pilihan terhadap bahasa sederhana
bahkan cenderung konvensional menjadi berkah baginya, terutama karena terkait
dengan posisi aku lirik sebagai hamba yang meluruhkan diri menjadi setitik debu
di bawah kebesaran Tuhan. Dengan kesederhanaan bentuk dan ungkapan tersebut
maka sifat merendah atau tawadu dari sang penyair menjadi semakin terasa. Saya
kutip bait terakhir dari puisi “Doa”:
sebab kini aku waktu
mengurai menit demi menit
bergegas melepas harap
memintal hari menjadi jam-jam pasti
sampai tiba hanya pada
satu kata
: perjuampaan denganMu
Meskipun demikian bukan
berarti Eriyanti Nurmala Dewi seorang sufi yang dalam tradisi spiritualnya
mengembara dari gurun ke gurun dengan memakai jubah kulit domba. Eriyanti tetap
seorang penyair, wartawan koran harian, ibu rumahtangga serta warga masyarakat
biasa. Bermunajat bukan hanya milik para sufi yang selalu mabuk dalam keindahan
dan pesona Tuhan. Bermunajat bisa dilakukan siapa saja yang menyadari
keberadaannya di dunia fana serta
berusaha mendekatkan diri pada sumber segala keabadian. Dengan kata lain bermunajat merupakan sebuah latihan rohani, yang
jika didawamkan selain dapat mencerahkan batin juga akan memberikan pengalaman
puitik bagi yang melakukannya. Dan sebagai hamba, sebagai ibu rumah tangga
serta warga masyarakat biasa Eriyanti berusaha menangkap pengalaman puitik
tersebut dan menuliskannya. Yang ditulis Eriyanti mungkin bukan puisi sufi,
namun puisi yang berkecenderungan pada spirit tasawuf. Untuk mempertegas hal
itu, saya kutip lagi penggalan puisi yang sebenarnya bersifat horisontal namun
sekaligus berdimensi vertikal:
bawa aku dalam gemulungmu
biarkan menjadi air
menguap ke udara
menjadi gerimis yang pedih
menjadi dingin
menjadi sunyi
Dan sebagai hamba,
sebagai ibu rumah tangga serta warga masyarakat biasa, munajat-munajat Eriyanti
bukan hanya dilakukan di mushola atau masjid yang sunyi, tapi juga di beranda,
di ruang tamu, di dapur bahkan di kebun sambil menyemai biji sawi. Ia juga
bermunajat di kantor, di perjalanan, di pantai, di tengah laut bahkan di tempat
pembakaran mayat. Jika munajat-munajat tersebut terus dilakukan dengan khusyuk,
saya rasa percikan-percikan puitik yang bertebaran di tengah keheningan semesta
yang ditangkap kemudian dituliskannya akan memberikan sesuatu pada khazanah
perpuisian kita. Apalagi jika kemampuan mengolah metafor serta menciptakan
imaji terus diasah tanpa kenal lelah,
niscaya kesederhanaan yang kini dimilikinya akan semakin halus, semakin padat
dan bercahaya. []