Share |

(39) - Artikel Sastra


MUNAJAT ERIYANTI

Acep Zamzam Noor


Eriyanti Nurmala Dewi lebih dikenal sebagai wartawan yang tulisan-tulisan jurnalistik secara rutin muncul setiap minggu di koran harian tempatnya bekerja. Ia banyak menulis tentang masyarakat urban, tentang gaya hidup masa kini, tentang dunia wanita atau tentang komunitas yang terbentuk karena kesamaan hobi. Saya termasuk orang yang setia mengikuti tulisan-tulisannya, selain untuk mendapatkan informasi dari apa yang ditulis atau dilaporkannya, saya juga cukup menikmati caranya bertutur serta gayanya berbahasa. Bagi saya tulisan-tulisan jurnalistik Eriyanti cukup enak dibaca, bahkan pada batas-batas tertentu terasa ada unsur sastranya. Dengan kata lain tulisan jurnalistik Eriyanti tidak sekedar melaporkan sesuatu, namun juga ada upaya mengekspresikan sesuatu.              
            Eriyanti tentu saja bukan sekedar wartawan yang hanya menulis dalam rangka menjalankan tugas rutin saja. Di kalangan sastrawan, khususnya di Jawa Barat, ia juga dikenal sebagai penyair yang sejak akhir 1980-an sudah mulai mengumumkan puisi-puisinya di berbagai media. Eriyanti produktif menulis puisi sejak masih tergabung dalam komunitas sastra di kampusnya, yang kemudian terus berlanjut ketika bekerja pada sebuah tabloid dakwah. Ingatan saya tentang Eriyanti lumayan baik karena pada dekade 1990-an tidak terlalu banyak penyair wanita di Jawa Barat yang mengumumkan puisi-puisinya di media massa. Selain Eriyanti, ada juga Taty Haryati, Katrerina Arm, Miranda Risang Ayu, Shinta Kusumawati, Nenden Lilis Aisyah, lalu Nina Minareli, di samping para penulis cerpen produktif seperti Tetet Cahyati dan Mona Sylviana. Ada juga penyair lain yang bernama Nia Anjani, namun setelah saya teliti dengan seksama ternyata penyair tersebut seorang lelaki.
Pada dekade 2000-an ketika banyak penyair wanita Jawa Barat yang bermunculan, Eriyanti justru mulai jarang mengumumkan puisi-puisinya. Pada kurun tersebut ia meninggalkan tabloid yang terbit mingguan dan bergabung dengan koran harian, yang tentu saja cukup banyak menyedot tenaga. Namun menurut pengakuannya ia masih akan terus menulis puisi sekalipun diam-diam. Menulis puisi baginya sudah menjadi semacam laku meditasi yang berfungsi sebagai oase di tengah kerasnya kota besar. Atau semacam sembahyang malam di tengah rutinitas kerjanya sebagai wartawan koran harian, yang kadang harus bekerja bagaikan seorang tentara di medan perang.
Di tangan saya kini ada antologi puisi Ritus Ibu, yang merupakan himpunan puisi-puisi Eriyanti Nurmala Dewi sejak awal kepenyairannya sampai sekarang. Lewat antologi puisi ini saya berjumpa kembali dengan Eriyanti yang penyair, yang setelah hampir satu dekade hanya saya menikmati tulisan-tulisan jurnalistiknya saja. Terus terang ada semacam kerinduan untuk membaca puisi-puisinya lagi, hal ini disebabkan karena pada paruh 1990-an sebuah puisi Eriyanti begitu melekat dalam ingatan saya. Puisi tersebut berjudul “Tembang Kasmaran” yang ditulis entah ditujukan pada siapa. Setelah saya cari-cari pada lembar demi lembar antologi ini, syukurlah puisi tersebut termuat juga:

puisi terpanjang adalah kau
mimpi terpanjang adalah kau
kau berkelindan dengan dukaku

perapian yang menghanguskan

pagi terindah adalah kau
malam terindah adalah kau
kau hadir dalam ketiadaan

ketiadaan yang diliputi cinta

Meskipun menggunakan bentuk serta ungkapan yang sangat sederhana, puisi di atas mampu mengusik saya sebagai pembaca. Dalam puisi tersebut saya menangkap apa yang ingin disampaikan penyair sekaligus menikmati bagaimana cara penyair menyampaikannya. Dua hal yang sangat mendasar sebenarnya, namun kedua hal elementer tersebut sering dilupakan banyak penyair terutama karena kesibukan mereka-reka bentuk serta memoles-moles kalimat. Pada penyair ini kesederhanaan (bahkan kepolosan) tersebut justru menjadi berkah, sebab lewat ungakapan yang terkesan apa adanya kata-kata menjadi efektif masuk ke kalbu pembaca, paling tidak ke kalbu saya. Selain “Tembang Kasmaran”, beberapa puisi lain seperti “Kau”, “Percakapan I”, “Aku Kini Udara”, “Incognito” dan  “Punah” juga mampu mengusik saya karena kebersihan serta kejernihan bahasanya. Kebetulan semuanya merupakan puisi-puisi yang relatif pendek.
Tentu saja antologi yang menghimpun puluhan puisi ini tidak hanya berisi puisi-puisi pendek saja, begitu juga temanya bukan hanya cinta dan kerinduan horisontal saja. Eriyanti juga menuliskan tentang peranannya sebagai ibu, renungannya tentang alam dan lingkungan, juga munajat-munajat religiusnya sebagai hamba di hadapan Sang Pencipta. Pada paruh 1990-an penyair kelahiran Sukabumi ini sempat terlibat dalam sebuah komunitas spiritual yang dibimbing seorang mursyid sufi dari Pati, Jawa Tengah. Selain Eriyanti beberapa penyair, seniman dan intelektual muda seangkatannya juga bergabung dengan komunitas pengajian ini. Dalam kurun inilah puisi-puisi munajat banyak lahir dari tangannya, yang sebagian bisa dinikmati dalam antologi ini. Saya kutip salah satu puisinya yang berjudul “Tamkin”, sebuah puisi yang juga menyentuh saya:

panggang aku dalam baraMu
aku akan sedingin batu
lecut aku dalam siksaMu
aku akan pasrah

duhai, Kekasihku
balut aku selalu dalam luka
sebab di puncak bara dan lecutMu
sakit membuatku tiada


wahai, yang teramat kaya
dari yang maha kaya
limpahruahkan aku
dengan tiada

sebab di puncak tiada aku hadir
di pelataran
: Mu

Puisi di atas menggambarkan perjalanan panjang seorang hamba menuju kesejatian. Dalam tradisi sufi, konon tamkin merupakan salah satu pase yang harus dijalani untuk mencapai pencerahan diri yang total. Dalam bait terakhir sang penyair menggambarkan puncak pencerahan tersebut sebagai kesadaran akan ketiadaan hamba dalam konteks fana di hadapan Sang Pencipta. Beberapa puisi dengan tema sejenis seperti “Doa”, “Sajak Penempuhan”, “Tahajud di Malaka”, “Krematorium II”, “Setitik Debu” dan “Tak Akan Selesai” juga ditulis Eryanti dengan penuh kekhusyukan, dengan ungkapan-ungkapan yang liris dan luruh. Di sini pun saya melihat bahwa pilihan terhadap bahasa sederhana bahkan cenderung konvensional menjadi berkah baginya, terutama karena terkait dengan posisi aku lirik sebagai hamba yang meluruhkan diri menjadi setitik debu di bawah kebesaran Tuhan. Dengan kesederhanaan bentuk dan ungkapan tersebut maka sifat merendah atau tawadu dari sang penyair menjadi semakin terasa. Saya kutip bait terakhir dari puisi “Doa”:

sebab kini aku waktu
mengurai menit demi menit
bergegas melepas harap
memintal hari menjadi jam-jam pasti
sampai tiba hanya pada
satu kata
: perjuampaan denganMu

Meskipun demikian bukan berarti Eriyanti Nurmala Dewi seorang sufi yang dalam tradisi spiritualnya mengembara dari gurun ke gurun dengan memakai jubah kulit domba. Eriyanti tetap seorang penyair, wartawan koran harian, ibu rumahtangga serta warga masyarakat biasa. Bermunajat bukan hanya milik para sufi yang selalu mabuk dalam keindahan dan pesona Tuhan. Bermunajat bisa dilakukan siapa saja yang menyadari keberadaannya di dunia fana serta berusaha mendekatkan diri pada sumber segala keabadian. Dengan kata lain bermunajat merupakan sebuah latihan rohani, yang jika didawamkan selain dapat mencerahkan batin juga akan memberikan pengalaman puitik bagi yang melakukannya. Dan sebagai hamba, sebagai ibu rumah tangga serta warga masyarakat biasa Eriyanti berusaha menangkap pengalaman puitik tersebut dan menuliskannya. Yang ditulis Eriyanti mungkin bukan puisi sufi, namun puisi yang berkecenderungan pada spirit tasawuf. Untuk mempertegas hal itu, saya kutip lagi penggalan puisi yang sebenarnya bersifat horisontal namun sekaligus berdimensi vertikal:

bawa aku dalam gemulungmu
biarkan menjadi air
menguap ke udara
menjadi gerimis yang pedih
menjadi dingin

menjadi sunyi

Dan sebagai hamba, sebagai ibu rumah tangga serta warga masyarakat biasa, munajat-munajat Eriyanti bukan hanya dilakukan di mushola atau masjid yang sunyi, tapi juga di beranda, di ruang tamu, di dapur bahkan di kebun sambil menyemai biji sawi. Ia juga bermunajat di kantor, di perjalanan, di pantai, di tengah laut bahkan di tempat pembakaran mayat. Jika munajat-munajat tersebut terus dilakukan dengan khusyuk, saya rasa percikan-percikan puitik yang bertebaran di tengah keheningan semesta yang ditangkap kemudian dituliskannya akan memberikan sesuatu pada khazanah perpuisian kita. Apalagi jika kemampuan mengolah metafor serta menciptakan imaji terus diasah  tanpa kenal lelah, niscaya kesederhanaan yang kini dimilikinya akan semakin halus, semakin padat dan bercahaya. []
Prev Next Next