SURAT UNTUK VINNY
Acep Zamzam Noor
VINNY, setiap saya menghadapi sejumlah puisi
baik yang ditulis penyair pemula maupun yang sudah mempunyai nama, entah kenapa
saya selalu teringat pada ulasan-ulasan Saini K.M. yang muncul seminggu sekali
di rubrik “Pertemuan Kecil” Pikiran
Rakyat sepanjang dekade 1980-an. Beberapa ulasan malah saya hapal di luar
kepala karena begitu meresapnya apa yang telah ditulis beliau itu. Saya mungkin
tidak dengan sengaja menghapalnya, namun apa yang beliau sampaikan dulu begitu
tertanam jauh dalam ingatan. Salah satunya adalah ulasan beliau yang berkenaan
dengan keterpanggilan seseorang untuk menjadi penyair.
Beliau mengatakan bahwa
kepenyairan tidak terwujud berdasarkan keinginan saja. Kita tidak dapat
mengatakan kepada diri kita bahwa kita ingin menjadi penyair, lalu berupaya
menguasai teknik-teknik menulis puisi dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya. Kepenyairan lebih berdasar pada panggilan.
Bahkan, seorang yang tidak bercita-cita menjadi penyair pun, secara pelahan dan
alamiah akan tertarik kepada puisi, lalu terlibat lebih dalam dan akhirnya
tiba-tiba menyadari bahwa ia telah mampu menulis puisi. Sebaliknya, orang yang
ingin jadi penyair betapapun keras upayanya memperjuangkan keinginan tersebut,
belumlah tentu menjadi penyair. Bisa jadi di tengah jalan mereka tergoda
menjadi pegawai negeri atau politisi misalnya, dan kemudian melupakan puisi
yang tidak akan membuatnya menjadi kaya raya itu. Jika demikian, yang menjadi
persoalan bagaimana kita tahu bahwa kita terpanggil untuk menjadi penyair?
Vinny, saya tidak tahu
apakah kamu ketika masih remaja pernah bercita-cita menjadi penyair, namun yang
saya tahu bahwa minatmu terhadap kesenian sangatlah besar. Terbukti bahwa sejak
masih anak-anak kamu sudah sering ikut lomba baca puisi, lalu ketika menginjak
remaja juga aktif bermain teater di sekolah. Tidak berhenti di situ, ketika sudah mahasiswa pun kamu terus aktif
bermain teater, bahkan sempat mengkuti acting
course di Studiklub Teater Bandung (STB). Tentu semua aktivitas tersebut
normal-normal saja adanya karena beberapa temanmu juga melakukan hal serupa,
hanya yang perlu dicatat bahwa dengan demikian kamu jadi mengenal puisi. Kamu
jadi banyak membaca puisi, lalu berusaha mendalaminya, menghayatinya dan
menghapalnya di luar kepala. Awalnya bisa jadi hanya untuk kepentingan pentas
atau lomba, lama-lama menjadi kesenangan bahkan semacam kebutuhan yang tidak
kamu sadari hingga hari ini.
Vinny, kalau dihitung
dari sekarang mungkin sudah belasan tahun kamu berkeluarga. Selama belasan
tahun pula kamu sibuk dengan rutinitas rumah tangga, di samping berbagai
aktivitas sosial yang menyita waktu tentunya. Jika ditanyakan apakah kamu masih
sempat membaca dan menikmati puisi di tengah rutinitas tersebut, saya merasa
yakin bahwa jawabannya masih. Paling tidak kamu akan mencari-cari rublik puisi
kalau sedang memegang majalah atau koran. Atau ketika kamu harus membelikan
anak-anakmu buku puisi, ketika kamu harus melatih anak-anakmu baca puisi untuk
ikut lomba atau pentas di sekolahnya. Atau jangan-jangan selama ini justru kamu
telah jauh mengajari anak-anakmu menulis dan mengapresiasi puisi. Jangan-jangan
anak-anakmu malah sudah pandai menulis dan mengapresiasi puisi. Malah sudah
jago deklamasi. Mudah-mudahan saja begitu.
Ah, saya jadi teringat
lagi pada Saini K.M. yang pernah mengatakan, bahwa jika seseorang suka membaca
puisi kemudian terpesona oleh puisi-puisi yang dibacanya, apalagi kalau sampai
terobsesi oleh puisi-puisi tertentu yang menyentuh hatinya, maka hal tersebut
merupakan indikasi awal bahwa ia mendapat panggilan untuk menjadi penyair. Saya
yakin sejak masih remaja sebenarnya kamu sudah mendapat panggilan meskipun
sayup-sayup. Panggilan untuk menulis puisi.
Vinny, saya tidak
merasa heran ketika mendengar bahwa kamu banyak sekali menulis puisi belakangan
ini. Mungkin kamu akan menolak jika yang kamu tulis tersebut dinamakan puisi,
sebab kamu hanya merasa menuliskan apa yang ada dalam hati dan pikiranmu saja.
Atau kamu hanya merasa menangkap kelebat-kelabat kata atau frasa yang datang
tanpa diundang. “Saya tidak tahu apakah yang saya tulis itu puisi atau bukan,
yang jelas saya telah menuliskannya dengan sepenuh hati,” katamu suatu kali.
Dari hari ke hari tanpa terasa puisi-puisimu semakin banyak hingga beberapa
sahabatmu yang masih aktif berkesenian mendorong supaya dibukukan. “Kalau pun
saya sekarang berniat menerbitkannya, itu hanya untuk diri saya sendiri, atau
paling jauh untuk anak-anak, keluarga, dan sahabat-sahabat saya. Tak lebih dari
itu,” katamu dengan nada rendah.
Vinny, setelah saya
membaca puisi-puisimu (saya ingin menyebutnya puisi karena memang puisi) yang
jumlahnya lumayan banyak itu, saya seperti menemukan jawaban soal
keterpanggilan yang dimaksud Saini K.M. tadi. Sekarang saya paham kenapa
menjadi penyair bukan sesuatu yang perlu dicita-citakan seperti halnya
profesi-profesi lain, kenapa menulis puisi
kadang tidak membutuhkan persiapan yang terencana seperti halnya
membangun jembatan atau gedung bertingkat. Bukan berarti kita tidak boleh
mempersiapkan dan merencanakannya terlebih dahulu, namun dengan persiapan dan
perencanaan yang matang sekalipun tidak ada jaminan puisi akan datang
menghampiri kita. Tidak ada jaminan puisi akan lahir dari tangan kita. Banyak
orang yang mengerti teori puisi, paham sejarah
perkembangan puisi, canggih dalam menganalisis puisi, terampil mengutip
atau membuat catatan kaki, hapal di luar
kepala nama penyair dalam dan luar negeri, namun semua ini bukan jaminan puisi
akan mengalir lancar dari tangan mereka. Kadang mereka lebih lancar berbicara
tentang puisi ketimbang menulis puisi itu sendiri.
Puisi memang aneh, Vinny. Dan jika kita
ibaratkan mungkin puisi itu seperti getar cinta yang keberadaannya hanya bisa
dirasakan diam-diam. Atau seperti suara sayup-sayup yang berada jauh di ruang
bawah sadar kita. Lalu penyair kurang lebih seperti pecinta, yang terpanggil
untuk mengkongkritkan perasaan dan suara sayup-sayup tersebut menjadi
kata-kata. Menjadi baris-baris puisi.
Sekarang izinkan saya mengutip bagaimana suara sayup-sayup yang berasal dari
ruang bawah sadarmu itu dikongkritkan dalam sebuah ungkapan yang menyentuh,
ungkapan yang lahir sebagai jawaban bagi suara sayup-sayup yang terus memanggil
itu:
sudah kutumpahkan sejuta kalimat
pada kertas putih bertumpuk
masih saja tidak cukup
parahnya aku mencintaimu
menghantarkanku ke sisi gelap
november keempat masih sama
hingga melewati laut yang dibelah Musa
berjalan tak mengerti akhir cerita
tak pernah memilih menghantarkanku pada pilihan
(entah november ke berapa ada jawabnya?)
Terakhir, sebagai
penutup surat pendek ini saya ingin mengucapkan selamat dan sukses untukmu.
Semoga puisi-puisi yang dikumpulkan dalam Bulan
Bibir Bintang ini bukan hanya suara sayup-sayup yang menyapa dirimu saja,
namun juga mampu menyapa anak-anakmu, menyapa suamimu, keluarga besarmu,
sahabat-sahabat tercintamu dan semua pecinta puisi di mana saja berada. Semoga
puisi-puisimu akan menjadi suara cinta, yang dengan cara serta keunikannya
sendiri mampu memperkaya khazanah batin kita semua. []