Share |

(42) - Artikel Sastra


SURAT UNTUK VINNY

Acep Zamzam Noor

VINNY, setiap saya menghadapi sejumlah puisi baik yang ditulis penyair pemula maupun yang sudah mempunyai nama, entah kenapa saya selalu teringat pada ulasan-ulasan Saini K.M. yang muncul seminggu sekali di rubrik “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat sepanjang dekade 1980-an. Beberapa ulasan malah saya hapal di luar kepala karena begitu meresapnya apa yang telah ditulis beliau itu. Saya mungkin tidak dengan sengaja menghapalnya, namun apa yang beliau sampaikan dulu begitu tertanam jauh dalam ingatan. Salah satunya adalah ulasan beliau yang berkenaan dengan keterpanggilan seseorang untuk menjadi penyair.
Beliau mengatakan bahwa kepenyairan tidak terwujud berdasarkan keinginan saja. Kita tidak dapat mengatakan kepada diri kita bahwa kita ingin menjadi penyair, lalu berupaya menguasai teknik-teknik menulis puisi dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Kepenyairan lebih berdasar pada panggilan. Bahkan, seorang yang tidak bercita-cita menjadi penyair pun, secara pelahan dan alamiah akan tertarik kepada puisi, lalu terlibat lebih dalam dan akhirnya tiba-tiba menyadari bahwa ia telah mampu menulis puisi. Sebaliknya, orang yang ingin jadi penyair betapapun keras upayanya memperjuangkan keinginan tersebut, belumlah tentu menjadi penyair. Bisa jadi di tengah jalan mereka tergoda menjadi pegawai negeri atau politisi misalnya, dan kemudian melupakan puisi yang tidak akan membuatnya menjadi kaya raya itu. Jika demikian, yang menjadi persoalan bagaimana kita tahu bahwa kita terpanggil untuk menjadi penyair?
Vinny, saya tidak tahu apakah kamu ketika masih remaja pernah bercita-cita menjadi penyair, namun yang saya tahu bahwa minatmu terhadap kesenian sangatlah besar. Terbukti bahwa sejak masih anak-anak kamu sudah sering ikut lomba baca puisi, lalu ketika menginjak remaja juga aktif bermain teater di sekolah. Tidak berhenti di situ,  ketika sudah mahasiswa pun kamu terus aktif bermain teater, bahkan sempat mengkuti acting course di Studiklub Teater Bandung (STB). Tentu semua aktivitas tersebut normal-normal saja adanya karena beberapa temanmu juga melakukan hal serupa, hanya yang perlu dicatat bahwa dengan demikian kamu jadi mengenal puisi. Kamu jadi banyak membaca puisi, lalu berusaha mendalaminya, menghayatinya dan menghapalnya di luar kepala. Awalnya bisa jadi hanya untuk kepentingan pentas atau lomba, lama-lama menjadi kesenangan bahkan semacam kebutuhan yang tidak kamu sadari hingga hari ini. 
Vinny, kalau dihitung dari sekarang mungkin sudah belasan tahun kamu berkeluarga. Selama belasan tahun pula kamu sibuk dengan rutinitas rumah tangga, di samping berbagai aktivitas sosial yang menyita waktu tentunya. Jika ditanyakan apakah kamu masih sempat membaca dan menikmati puisi di tengah rutinitas tersebut, saya merasa yakin bahwa jawabannya masih. Paling tidak kamu akan mencari-cari rublik puisi kalau sedang memegang majalah atau koran. Atau ketika kamu harus membelikan anak-anakmu buku puisi, ketika kamu harus melatih anak-anakmu baca puisi untuk ikut lomba atau pentas di sekolahnya. Atau jangan-jangan selama ini justru kamu telah jauh mengajari anak-anakmu menulis dan mengapresiasi puisi. Jangan-jangan anak-anakmu malah sudah pandai menulis dan mengapresiasi puisi. Malah sudah jago deklamasi. Mudah-mudahan saja begitu.
Ah, saya jadi teringat lagi pada Saini K.M. yang pernah mengatakan, bahwa jika seseorang suka membaca puisi kemudian terpesona oleh puisi-puisi yang dibacanya, apalagi kalau sampai terobsesi oleh puisi-puisi tertentu yang menyentuh hatinya, maka hal tersebut merupakan indikasi awal bahwa ia mendapat panggilan untuk menjadi penyair. Saya yakin sejak masih remaja sebenarnya kamu sudah mendapat panggilan meskipun sayup-sayup. Panggilan untuk menulis puisi.
Vinny, saya tidak merasa heran ketika mendengar bahwa kamu banyak sekali menulis puisi belakangan ini. Mungkin kamu akan menolak jika yang kamu tulis tersebut dinamakan puisi, sebab kamu hanya merasa menuliskan apa yang ada dalam hati dan pikiranmu saja. Atau kamu hanya merasa menangkap kelebat-kelabat kata atau frasa yang datang tanpa diundang. “Saya tidak tahu apakah yang saya tulis itu puisi atau bukan, yang jelas saya telah menuliskannya dengan sepenuh hati,” katamu suatu kali. Dari hari ke hari tanpa terasa puisi-puisimu semakin banyak hingga beberapa sahabatmu yang masih aktif berkesenian mendorong supaya dibukukan. “Kalau pun saya sekarang berniat menerbitkannya, itu hanya untuk diri saya sendiri, atau paling jauh untuk anak-anak, keluarga, dan sahabat-sahabat saya. Tak lebih dari itu,” katamu dengan nada rendah.
Vinny, setelah saya membaca puisi-puisimu (saya ingin menyebutnya puisi karena memang puisi) yang jumlahnya lumayan banyak itu, saya seperti menemukan jawaban soal keterpanggilan yang dimaksud Saini K.M. tadi. Sekarang saya paham kenapa menjadi penyair bukan sesuatu yang perlu dicita-citakan seperti halnya profesi-profesi lain, kenapa menulis puisi  kadang tidak membutuhkan persiapan yang terencana seperti halnya membangun jembatan atau gedung bertingkat. Bukan berarti kita tidak boleh mempersiapkan dan merencanakannya terlebih dahulu, namun dengan persiapan dan perencanaan yang matang sekalipun tidak ada jaminan puisi akan datang menghampiri kita. Tidak ada jaminan puisi akan lahir dari tangan kita. Banyak orang yang mengerti teori puisi, paham sejarah  perkembangan puisi, canggih dalam menganalisis puisi, terampil mengutip atau membuat  catatan kaki, hapal di luar kepala nama penyair dalam dan luar negeri, namun semua ini bukan jaminan puisi akan mengalir lancar dari tangan mereka. Kadang mereka lebih lancar berbicara tentang puisi ketimbang menulis puisi itu sendiri.
 Puisi memang aneh, Vinny. Dan jika kita ibaratkan mungkin puisi itu seperti getar cinta yang keberadaannya hanya bisa dirasakan diam-diam. Atau seperti suara sayup-sayup yang berada jauh di ruang bawah sadar kita. Lalu penyair kurang lebih seperti pecinta, yang terpanggil untuk mengkongkritkan perasaan dan suara sayup-sayup tersebut menjadi kata-kata. Menjadi  baris-baris puisi. Sekarang izinkan saya mengutip bagaimana suara sayup-sayup yang berasal dari ruang bawah sadarmu itu dikongkritkan dalam sebuah ungkapan yang menyentuh, ungkapan yang lahir sebagai jawaban bagi suara sayup-sayup yang terus memanggil itu:

sudah kutumpahkan sejuta kalimat
pada kertas putih bertumpuk
masih saja tidak cukup
parahnya aku mencintaimu
menghantarkanku ke sisi gelap

november keempat masih sama
hingga melewati laut yang dibelah Musa
berjalan tak mengerti akhir cerita
tak pernah memilih menghantarkanku pada pilihan

(entah november ke berapa ada jawabnya?)

Terakhir, sebagai penutup surat pendek ini saya ingin mengucapkan selamat dan sukses untukmu. Semoga puisi-puisi yang dikumpulkan dalam Bulan Bibir Bintang ini bukan hanya suara sayup-sayup yang menyapa dirimu saja, namun juga mampu menyapa anak-anakmu, menyapa suamimu, keluarga besarmu, sahabat-sahabat tercintamu dan semua pecinta puisi di mana saja berada. Semoga puisi-puisimu akan menjadi suara cinta, yang dengan cara serta keunikannya sendiri mampu memperkaya khazanah batin kita semua. []
Prev Next Next