Share |

Artikel 11

KREATIVITAS DAN PEMICUNYA


Acep Zamzam Noor



KREATIVITAS membutuhkan sebuah pemicu. Banyak sekali cara yang bisa dan biasa dilakukan untuk memicu kreativitas, dari mulai yang serius, umum dan bahkan nyleneh. Dalam dunia sastra kita mengenal bentuk-bentuk kegiatan seperti apresiasi sastra, diskusi sastra, sarasehan sastra, seminar sastra, bengkel atau workshop sastra. Di lain pihak ada juga pembacaan puisi dan dramatisasi puisi. Bentuk-bentuk kegiatan seperti ini selain untuk memasyarakatkan atau menggairahkan kehidupan sastra, pada batas-batas tertentu juga untuk memicu kreativitas. Paling tidak sebagai sarana aktualisasi diri para praktisinya.


Sanggar Sastra Tasik (SST) dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah melakukan banyak hal dalam upaya mengenalkan dan memasyarakatkan sastra. Selain kegiatan-kegiatan seperti yang disebut di atas, juga banyak kegiatan-kegiatan lain yang mungkin tidak biasa, main-main dan terkesan seenaknya. Tahun awal 1998 misalnya, di tengah krisis ekonomi dan kepanikan rezim Orde Baru sejumlah penyair yang didukung para mahasiswa mendatangi gedung DPRD Tasikmalaya dengan menggotong sebuah lukisan berukuran besar. Mungkin karena dianggap mau demonstrasi, rombongan penyair itu diterima secara resmi oleh ketua DPRD beserta jajaran fraksi dan komisinya. Bahkan sekda juga hadir mewakili bupati waktu itu.


Tapi rupanya para politisi kecele. Rombongan penyair sama sekali tidak bermaksud demonstrasi atau menyampaikan aspirasi seperti halnya para aktivis, namun hanya ingin “menyatakan cinta” secara langsung dan terbuka kepada salah seorang anggota dewan termuda, Nur Islami Dini (19 tahun) yang waktu itu masih lajang dan rupawan. Eriyandi Budiman, salah seorang anggota SST, memang jatuh cinta (dalam arti yang sebenarnya) pada politisi muda itu dan menulis banyak sekali puisi untuknya.


Setelah menyampaikan maksud kedatangan yang ditandai dengan penyerahan lukisan potret sang gadis kepada ketua DPRD, sejumlah puisi cinta karya Eriyandi Budiman dibagikan dan kemudian dibaca secara bergiliran. Bukan hanya para penyair yang membaca puisi tapi juga ketua DPRD beserta jajarannya, termasuk dari Fraksi ABRI. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang pensiunan tentara yang berkumis tebal membacakan puisi cinta. Begitu juga seorang kiai dari PPP membacakan puisi patah hati. Pertemuan kemudian berlanjut dengan diskusi sastra yang penuh gelak tawa. Lucunya Eriyandi sendiri tidak ikut dalam “unjuk perasaan” ini, ia malah meriang panas dingin menunggu sendirian di sanggar. Begitu juga Nur Islami Dini, menghilang entah ke mana.


Masih dalam hubungannya dengan DPRD, tahun 2001 buku saya Dongeng Dari Negeri Sembako yang berisi kritik-kritik nyleneh bagi para politisi, juga diluncurkan di gedung DPRD Tasikmalaya dengan mengambil ruang sidang utama. Buku tersebut dibacakan beramai-ramai oleh para penyair, mahasiswa sampai tukang becak. Juga digelar performance art oleh para penggiat teater, yang dengan merdeka menduduki tempat-tempat “sakral” yang ada di gedung milik rakyat itu. Begitu juga dalam sesi diskusi yang menampilkan tiga pembicara dan seorang moderator, di-setting seperti halnya sidang paripurna, lengkap dengan palu di atas meja. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memicu para anggota dewan menunjukkan kreativitasnya sebagai wakil rakyat.


Antara tahun 2002-2003 dilakukan kegiatan yang sifatnya berkesinambungan. Secara kebetulan kegiatan ini dinamakan “tradisi enam” karena setiap anggota SST dikelompokkan ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang. Ada waktu yang diberikan kepada setiap grup untuk mempersiapkan diri, mulai dari membikin workshop intern untuk menyiapkan dan mematangkan karya-karya mereka, mengusahakan penerbitan antologi sederhana dan kemudian menyelenggarakan acara berupa pembacaan puisi yang disertai diskusi dengan pembahas dari luar.


Sebagai upaya pemicu kreativitas kegiatan ini cukup menarik. Ada persaingan yang sehat antar grup, terutama dalam penyelenggaraan acara. Ada juga persaingan antar anggota masing-masing grup, khususnya dalam kreativitas dan produktivitas. Setiap grup diberi nama yang sesuai dengan kecenderungan puisi maupun karakter dari anggota grup itu sendiri, seperti “Enam Penyair Menembus Udara”, “Enam Penyair Membentur Tembok”, “Enam Penyair Meminum Aspal”, “Enam Penyair Mengisap Knalpot” dan semacamnya. Nama dari grup-grup tersebut sekaligus juga menjadi judul antologi puisi mereka. Dari kegiatan “iseng” semacam ini aroma kompetisi mulai terasa, bahkan terjadi pergesekan yang serius. Sayang kegiatan ini terhenti begitu sampai pada giliran “Enam Penyair Menunggu Ajal”, karena anggota-anggota baru sepertinya tak mau masuk ke dalam grup ini. Entah kenapa.


Menjelang perhelatan Pemilu 2004 yang mulai memanas, SST merespons dengan menggelar acara pembacaan puisi. Acara ini dipersiapkan agak matang, dimulai dengan semacam workshop mengenai tema acara serta puisi yang harus dipersiapkan. Dilakukan juga semacam investigasi terhadap nama-nama dan track record caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan kota dan kabupaten Tasikmalaya. Dari investigasi itu nyaris bisa disimpulkan tak ada caleg yang bisa dipercaya, semuanya adalah nama-nama lama yang perilakunya sudah diketahui umum. Ada pun nama-nama baru yang mungkin “masih” bisa dipercaya berada pada nomor sepatu. Dari workshop ini lahirlah puisi-puisi kontekstual yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, yakni kecenderungan yang sangat kuat pada “golput”. Puisi-puisi ini kemudian dibacakan dalam sebuah pagelaran yang bertajuk “Penyair Memilih Puisi Dalam Pemilu 2004”.


Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar “Karnaval Golput” yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain. Sesungguhnya karnaval ini sebagai reaksi atas berlangsungnya kampanye “brutal” yang dilakukan partai-partai peserta pemilu. Para seniman ingin memberi contoh bagaimana menggelar arak-arakan yang menghibur dan tidak membuat masyarakat ketakutan. Selain mengangkat teks-teks kritis namun lucu ke dalam pamplet dan spanduk, sejumlah kesenian digelar sepanjang jalan. Mulai dari drumband, kesenian-kesenian tradisional sampai performance art. Karnaval ini cukup mengejutkan (karena dilakukan pada saat minggu tenang) dan diliput banyak televisi, meski akhirnya harus berurusan dengan polisi.


***


Tidak semua gagasan “iseng” muncul secara formal dari SST, kadang datang dari para anggota atau simpatisan yang selama ini menjadi bagian dari komunitas. Para anggota bisa saja membikin gerakan-gerakan apresiasi sendiri, seperti membuat komunitas sastra di sekolah atau kampus, membentuk kelompok diskusi atau malah ngamen baca puisi. Atau melakukan tour ke kampung-kampung. Gerakan-gerakan semacam ini memang perlu terus dilakukan, termasuk membuat target-target pribadi yang dianggap menantang. Dengan adanya semacam target, gerakan-gerakan sastra akan menjadi jelas arah dan sasarannya. Target baca puisi keliling dengan menerbitkan antologi misalnya, sudah pasti harus diawali oleh aktivitas menulis puisi itu sendiri. Dengan demikian mau tak mau dipaksa untuk produktif berkarya.


Lintang Ismaya dan Elde Praja adalah dua anak muda yang memendam semangat dan kegelisahan. Lintang bertubuh tinggi besar, berambut keriting panjang dengan warna kepirang-pirangan, sedang Praja bersosok kecil mungil dengan rambut cepak mirip tentara. Namun keduanya mempunyai mata yang merah, nyalang dan selalu berkilat. Selain pernah terlibat dalam “tradisi enam” yang diselenggarakan SST, mereka dengan lincah mengadakan gerakan-gerakan sendiri. Lintang dan Praja sering keluar masuk sekolah dan kampus untuk membacakan puisi, mereka juga mengikuti macam-macam lomba yang berkaitan dengan sastra di mana pun berada. Selain itu keduanya juga akrab dengan teater dan sering terlibat sebagai penata artistik, penata busana atau juru rias.


Lintang Ismaya dan Elde Praja bukanlah nama yang sebenarnya. Nama asli mereka, Doni Muhammad Nur dan Lendra Dipraja, sesungguhnya lumayan bagus untuk nama seorang penyair. “Kami sengaja mengganti nama untuk memicu kreativitas. Dengan nama asli puisi-puisi kami sepertinya tidak maju-maju,” jawab Lintang ketika hal ini ditanyakan padanya. Lintang dan Praja bukan hanya sering berganti nama, tapi juga sering berganti model rambut dan gaya berpakaian. Mulai dari yang bergaya rocker sampai bergaya pendekar ninja. Ketika hal ini juga ditanyakan, jawaban mereka tetap sama: untuk memicu kreativitas dan semangat berkarya. Pada titik ini nampaknya mereka serius.


Dalam beberapa bulan terakhir ini keseriusan mereka untuk meningkatkan kreativitas berkarya diwujudkan dalam bentuk “workshop”. Mereka berdua selalu jalan bersama-sama baik ke stasiun, ke pasar, ke gedung kesenian maupun ke makan pahlawan. Mereka mencari inspirasi dan menulis puisi bersama-sama. Mereka juga begadang bersama-sama. Rock ‘n roll bersama-sama. Setelah puisi-puisi baru mereka hasilkan, muncul gagasan lain yang kemudian menjadi target yang harus dilaksanakan. Mula-mula Praja mengusulkan untuk baca puisi keliling pulau Jawa, namun langsung disergah oleh Lintang, “Wah tanggung, kenapa kita tidak baca puisi keliling Sumatera saja, itu kan lebih menantang?”. Praja pun setuju.


Untuk mewujudkan rencananya mereka mengajak Nina Minareli bergabung dalam “proyek” ini. Nina adalah penyair wanita andalan SST yang cukup lama menghilang karena sibuk dalam gerakan-gerakan sosial bersama para aktivis LSM. Nina sangat antusias dengan gagasan baca puisi keliling Sumatra ini, apalagi cukup lama juga dia tidak menulis puisi. Nina lalu mengusulkan tujuan pertama harus ke Banda Aceh, baru ke kota-kota lain seperti Medan, Padang, Palembang, Jambi atau Lampung. Nampaknya dia punya obsesi tersendiri pada Tanah Rencong yang baru saja diterjang badai tsunami itu, terbukti puisi-puisi terbarunya yang “sensual” banyak ditujukan kepada seorang lelaki asal Aceh. “Tapi itu hanya sekedar imajinasi,” kilahnya.


Mereka bertiga memang punya banyak kemiripan. Mata mereka sama-sama merah, nyalang dan selalu berkilat. Mereka juga memendam semangat dan kegelisahan yang sama. Selama ini Nina lebih banyak mengekspresikan kegelisahannya dengan mengikuti berbagai demonstrasi atau investigasi, sementara Lintang dan Praja melibatkan diri pada sejumlah produksi teater. Setelah ketiganya berkumpul dan sama-sama berproses dalam sebuah workshop, gagasan baca puisi kelilingnya semakin berkembang. “Kepalang tanggung kita keliling Indonesia saja sekalian, ke Riau, Kalimantan, Maluku, Irian, Sulawesi dan Bali,” usul Nina ketika mereka sama-sama mencari inspirasi di makam pahlawan, menjelang dini hari. “Betul sekali Nin, bahkan kita juga harus baca puisi di Pulau Komodo dan Bau-bau,” timpal Praja bersemangat, yang kemudian disambut Lintang dengan tangan terkepal, “Yeess!”.


Yang mereka lakukan kemudian bukan hanya menulis puisi bersama-sama, namun juga mengurus banyak hal berkaitan rencana besar tadi. Nina menghubungi teman-teman yang dikenalnya selama menjadi aktivis untuk mencari dukungan, sementara Lintang dan Praja konsentrasi dalam urusan pengumpulan dan pemilihan puisi. Gagasan baca puisi keliling ini kemudian berkembang juga pada kemungkinan menerbitkan antologi puisi. “Baca puisi keliling Indonesia tanpa membawa buku rasanya kurang mantap,” keluh Nina, yang kemudian dibenarkan kedua rekannya. Lintang dan Praja pun bergerak menjajagi berbagai kemungkinan hingga akhirnya bertemu dengan Puji Pamungkas yang menyatakan siap untuk menjadi maecenas. Lintang kemudian mengusulkan judul Naik Birahi, sebagai refleksi semangat dan kegelisahan mereka bertiga.


Memang ada banyak cara untuk memicu kreativitas dan semangat berkarya. Ada banyak cara untuk memelihara suasana hati agar selalu terjaga. Dan apa yang telah dilakukan oleh tiga penyair ini bolehlah ditafsirkan sebagai bagian dari upaya memicu kreativitas dan semangat tadi. Bagian dari upaya memelihara suasana hati. Terlepas apakah mereka akan jadi melakukan tour keliling Indonesia sesuai rencana atau hanya singgah di beberapa kota saja atau malah tidak jadi sama sekali rasanya bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Yang harus dicatat, justru bagaimana mereka menyalurkan kegelisahan, bagaimana mereka melakukan pergulatan, bagaimana mereka menggunakan konsep “workshop” serta menetapkan “target” keliling Indonesia sampai ke pulau Komodo dan Bau-bau, yang tak lain merupakan proses kreatif itu sendiri. Dan terbukti dengan metode suntik anjing seperti ini mereka telah memotivasi diri untuk terus menerus berproses dan menghasilkan banyak sekali karya.

(2006)


Prev Next Next