Share |

Artikel 2

PUISI-PUISI DARI UDARA


Acep Zamzam Noor



SUDAH sejak tahun 1980-an yang lalu, penyair Soni Farid Maulana berkali-kali mengusulkan kepada saya untuk merencanakan penerbitan sebuah antologi puisi dari penyair-penyair kelahiran Tasikmalaya yang menurutnya sudah mulai mempunyai nama, dan tentu saja tidak tinggal di Tasikmalaya lagi. Usul penyair yang asli kelahiran Tasikmalaya itu mungkin baik, meskipun saya waktu itu belum begitu tertarik untuk menyambut usulannya karena beberapa hal. Pertama, saya belum melihat adanya komunitas sastra di Tasikmalaya, dengan demikian kehidupan kesusatraannya pun, khususnya puisi, sulit untuk diraba keberadaannya. Kedua, sebuah antologi puisi yang mengaitkan diri dengan kota tertentu tentu saja harus bisa menggambarkan tentang adanya denyut atau pergulatan kesusastraan di kota itu. Jadi antologi puisi bukan sekedar untuk kangen-kangenan antar sesama penyair yang sudah lama meninggalkan kampung halaman.


Rupanya komunitas sastra yang dulu pernah saya bayang-bayangkan itu kini mulai menampakkan riak-riaknya. Sudah banyak orang yang menulis dan mencintai puisi, di antara mereka sudah terjadi komunikasi atau pergesekan kreativitas. Hal ini sangat penting mengingat puisi adalah karya individual yang cukup dilakukan di rumah masing-masing, sehingga marak atau sepinya kehidupan sastra di kota tertentu bukan ditentukan oleh banyak atau tidaknya orang menulis puisi, namun oleh adanya komunikasi atau pergesekan kreativitas di antara mereka. Komunikasi dan pergesekan kreativitas itu tentu saja membutuhkan media dan bagi kota-kota yang tidak mempunyai media cetak (koran atau majalah) seperti Tasikmalaya, dibutuhkan media alternatif.


Sebelum maraknya media cetak seperti sekarang ini, sekitar dekade 1950-1960-an sejarah kesusatraan Indonesia pernah diwarnai oleh yang namanya sastra radio. Kalau tak salah, penyair seperti Hartojo Andangdjaja atau Mohammad Diponegoro misalnya, pernah mengasuh acara sastra di radio. Bahkan Aoh K. Hadimadja lebih serius lagi dengan mengadakan pembahasan-pembahasan yang mendalam seputar kesusastraan di Radio BBC, yang hasilnya kemudian dibukukan menjadi Seni Mengarang (1972). Jejak sastra radio ini sebenarnya masih terus berlangsung hingga sekarang. Radio-radio swasta atau pemerintah masih banyak yang menyediakan waktunya untuk acara-acara pembacaan puisi, meskipun acara semacam ini tak jauh beda dengan acara-acara lain yang ujungnya-ujungnya adalah memesan lagu. Selain puisi-puisi yang dikirimkannyanya pun tak lebih dari sekedar puisi “curahan hati”, isinya pun sering dikaitkan dengan lirik lagu yang dipesannya. Dengan kata lain, acara-acara semacam ini sudah banyak kehilangan spirit kesusastraannya.


Tahun 1996, beberapa rekan penyair mulai menyadari bahwa acara baca puisi di radio bisa dijadikan media alternatif untuk menggalakkan apresiasi sastra di Tasikmalaya khususnya dan Priangan Timur pada umumnya. Rupanya gayung bersambut, Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSFD FM) lalu memberikan kesempatan kepada Saeful Badar dan Nazaruddin Azhar dari Sanggar Sastra Tasik (SST) untuk mengasuh acara bertajuk Puisi Dan Lagu, apresiasi pun diberikan secara pelahan-lahan. Selain membacakan puisi pilihan kiriman pendengar, juga diberikan sedikit ulasan atau kritik. Sebagai perbandingan, dibacakan juga puisi dari penyair-penyair terkenal. Secara berkala acara ini juga kadang menghadirkan penyair atau seniman dari luar kota untuk bicara seputar sastra dan kesenian.


Rupanya peminat acara sastra yang diselenggarakan sekali dalam seminggu dengan durasi dua jam ini semakin bertambah. Puisi-puisi yang masuk semakin banyak dan tentu saja tak semuanya bisa dibacakan, sehingga seleksi pun diberlakukan. Dengan seleksi yang sedikit ketat, maka iklim kompetisi pun mulai terasa. Secara alamiah para pengirim yang kurang serius akan mundur dengan sendirinya, dan secara alamiah pula komunitas sastra – khususnya puisi – mulai tercipta. Komunikasi tidak hanya berlangsung di “udara” saja, tapi juga lewat pergesekan-pergesekan kreativitas di “darat”.


Melihat sejumlah puisi yang semakin menumpuk dari hari ke hari – yang setelah diamati sebagian besar di antaranya cukup menjanjikan – tiba-tiba saya teringat lagi usulan Soni Farid Maulana beberapa tahun yang lampau untuk menerbitkan sebuah antologi puisi penyai-penyair Tasikmalaya. Hanya saja saya tidak berniat memasukkan penyair-penyair yang dimaksudkan oleh Soni dulu, tapi justru mengambil penyair-penyair baru yang secara intens tengah bergulat dengan puisi di Tasikmalaya. Kriterianya pun bukan lagi berdasarkan tempat kelahiran, tapi lebih pada mereka yang punya pergesekan langsung dengan iklim kreativitas di Tasikmalaya. Soalnya para pengirim puisi ke RSPD FM itu bukan hanya dari Tasikmalaya saja, tapi juga banyak dari Ciamis, Banjar, Garut dan daerah lain. Mereka bukan hanya mengirim puisi ke radio tapi juga aktif dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan SST, di samping mengadakan pembacaan puisi, lomba baca puisi serta diskusi sastra yang “agak” rutin.


Yang pertama-tama saya lakukan dalam melakukan proses seleksi untuk antologi puisi ini adalah memilah nama-nama penyair. Menurut hemat saya ini penting untuk mendeteksi sejauh mana keseriusan, konsistensi dan proses kreativitasnya dalam menulis puisi, di samping juga unsur kesetiaan. Sebab banyak juga yang mengirim puisi satu dua kali kemudian menghilang. Untuk kasus ini, meskipun puisinya tergolong lumayan namun saya agak meragukan prosesnya hingga saya akan lebih mendahulukan pengirim yang setia dengan kualitas puisi yang sama umpamanya. Tahap kedua adalah menyaring puisi dari penyair-penyair yang sebelumnya sudah terpilih. Meskipun tak bisa melepaskan diri dari unsur subyektifitas, tentu saja berusaha obyektif dalam menilai. Misalnya, saya menilai puisi tidak hanya berdasarkan temanya saja, tapi lebih pada pencapaian puitiknya, penguasaan terhadap bahasa, ketepatan menggunakan simbol, keterampilan membangun suasana, serta unsur “daya kejut” dari puisi tersebut.


Dari segi tema puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi Napas Gunung ini sangat beragam. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan karena sebuah komunitas atau kelompok bukan untuk menciptakan keseragaman. Ada tema cinta, alam, lingkungan, renungan religius, dan juga protes sosial. Bukan hanya keragaman temanya, tapi juga bagaimana tema-tema itu yang sebenarnya sudah amat “klise” itu disegarkan kembali. Dihidupkan kembali. Yang menarik, tema-tema kritik sosial justru ditulis oleh remaja-remaja putri yang masih berusia belasan tahun, seperti Ade Imas Permasi, Amal Akmalia, dan Nurbaiti Alivia Ramadani. Saya kira puisi-puisi kritik sosial mereka juga cukup orisinal dan unik, jauh dari bayang-bayang Rendra atau Emha – satu penyakit umum yang menjangkiti penyair pemula yang menulis dalam tema yang sama.


Sementara itu dari tema cinta, alam dan lingkungan yang banyak ditulis para pengirim puisi ke RSPD FM, di antaranya saya masih bisa menemukan kesegaran, keunikan, dan bahkan kedalaman pada beberapa penyair yang puisinya terpilih pada antologi ini. Puisi-puisi karya Anggie Sri Wilujeng, Dewi Mardhiani, Lia Herliani atau Nina Minareli adalah puisi-puisi cinta yang indah. Hal yang sama juga berlaku untuk tema-tema religius. Puisi-puisi karya Adi Amir Zainun, Ahmad Faisal Imron, Dian Jaka Sudrajat atau Bambang Suyanto adalah puisi-puisi berdimensi religius yang pencapaian artistiknya sangat menjanjikan.


Tentu saja dalam pengantar ini saya tidak akan mengulas puisi satu persatu, sebab itu adalah ruang yang harus disediakan untuk para pembaca. Tapi saya ingin sedikit menyinggung keragaman yang lain dari antologi ini, yakni latar belakang penyairnya. Hal ini mungkin bisa dianggap penting untuk melihat bahwa kondisi Tasikmalaya memang berbeda dengan kota-kota yang lain. Meskipun di sini ada beberapa perguruan tinggi, yang di dalamnya juga ada jurusan bahasa dan sastra, tapi komunitas kesenian (sastra, senirupa, teater) di Tasikmalaya pada umumnya bukanlah berasal dari kalangan akademis.


Begitu juga para penyair yang terhimpun dalam antologi ini, latar belakangnya sangat beragam. Ada yang berasal atau pernah mencicipi pendidikan sastra seperti Eriyandi Budiman, Iim Padmanegara, Saeful Badar, dan menyusul Idham Hamdani serta Veni Fauzia Avini. Ada juga yang mempunyai latar belakang kesenian lain seperti Iwan Koeswanna, Ki Ageung Noor Pandani, Bambang Suyatno, Kidung Purnama serta Nazaruddin Azhar. Tapi kebanyakannya (termasuk juga para pengirim yang tidak termuat dalam antologi ini) adalah pelajar, mahasiswa, remaja putus sekolah, penganggur, tukang becak, pedagang mie rebus, kuli bangunan, narapidana, mantan pemabuk, janda, ibu rumah tangga, santri, penyanyi rock, dan sebagainya.


Saya tidak bermaksud mengangkat latar belakang ini sebagai isu (misalnya isu sastra pinggiran, sastra buruh, sastra preman, sastra santri atau semacamnya) tapi justru ingin mengaitkan latar belakang yang beragam ini dengan sikap kesenian mereka. Dari pergesekan dengan kawan-kawan saya menangkap kesan kuat bahwa sikap berkesenian mereka sangat bersahaja, mengalir dan tanpa mengharapkan pamrih yang muluk-muluk. Sebagian dari mereka memandang puisi atau kepenyairan lebih sebagai terapi ketimbang sebagai profesi. Artinya mereka memandang kegiatan menulis puisi lebih pada fungsinya yang paling sederhana, yakni untuk membebaskan diri dari himpitan persoalan hidup sehari-hari. Semacam refresing. Atau lebih jauhnya menjadi penyair (apalagi penyair terkenal) bukanlah tujuan utama. Hal ini nampak dari sikap sebagian dari mereka terhadap pempublikasian dan pendokumentasian karya. Banyak di antara meraka yang cukup puas dengan mengirimkan puisi-puisinya ke radio saja, dan jika ada di antara mereka yang puisi-puisinya dimuat di media cetak, itu karena dorongan teman-teman lain, atau karena dikirimkan oleh pengasuh acara sastra di radio itu. Bukan atas inisiatif mereka sendiri. Sedang dalam pendokumentasian, banyak di antara mereka yang tak menyimpan salinan puisi-puisi yang dikirimkannya dan mereka seperti tak risau karya-karyanya akan hilang. Yusuf Kodir Munsyi misalnya, ketika saya tanyakan puisi-puisinya untuk kepentingan antologi ini, dia menjawab ringan: “Saya tak punya salinannya, tapi nanti bikin lagi yang baru!”


Saya juga melihat latar belakang pendidikan atau sosial bukanlah hal yang paling menentukan kualitas sebuah karya. Seorang sarjana sastra yang mengirimkan puisi cinta ternyata tak lebih baik dibanding puisi-puisi dengan tema serupa yang dikirimkan seorang janda beranak dua, misalnya. Atau seorang aktivis mahasiswa yang gondrong, puisi protesnya ternyata kalah mengharukan dengan puisi seorang remaja putri berjilbab, yang juga berbicara masalah yang sama. Begitu juga mantan penyanyi rock yang lengannya penuh bekas sayatan bisa menulis puisi religius dengan sangat mendalam.


Sebagai penutup, saya berharap bahwa puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Napas Gunung ini – yang mungkin tidak semuanya ditulis dengan semangat kepenyairan orang-orang kota, tapi hanya dengan kegairahan dan kepercayaan yang besar terhadap puisi – bisa ikut menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan kesusastraan di Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya. Sekecil apapun sumbangan itu.

(1997)


Prev Next Next