PUISI DAN KETULUSAN HATI
Acep Zamzam Noor
SEBUAH festival tidak selamanya harus diawali dengan hura-hura, bisa juga dengan menganggukkan kepala. Seperti pagi itu, 1 Juni 2006, sejumlah penyair asing dan domestik sudah menunggu di bandara Soekarno-Hatta, namun pesawat yang akan mengangkut peserta International Poetry Festival Indonesia 2006 ke Palembang mengalami gangguan hingga jadwal keberangkatannya diundur sampai tiga jam. Beberapa penyair menarik napas panjang, beberapa lainnya mengeluarkan keluhan. Namun di luar ruangan AC, Anni Sumari nampak santai saja mengisap rokok putihnya. Di samping kiri, Linda Voute dan Agus R. Sarjono tengah membicarakan sepakbola, juga sambil merokok. Linda Voute adalah penterjemah dari Belanda, sedang Anni Sumari penyair dari Finlandia. Karena tidak paham apa yang Linda dan Agus bicarakan dalam bahasa
Adakah hubungan antara festival puisi dengan anggukan kepala? Bagi sebagian penyair aktivitas menganggukkan kepala nampaknya sudah menjadi metafor tersendiri, terutama bagi yang mempunyai kendala bahasa. Raudal Tanjung Banua selalu menganggukkan kepala setiap berpapasan dengan Martin dan Connie Mooij dari Belanda. Begitu juga yang dilakukan Flavio Santi, penyair Italia ini akan menganggukkan kepala apabila bertemu Hal Judge dari
***
Festival dalam pengertian yang sederhana adalah pesta, perayaan atau ungkapan kegembiraan bersama yang melibatkan banyak orang. Memang festival apapun tidak pernah lepas dari unsur kesemarakan, keramaian dan biasanya membutuhkan biaya besar. Namun festival kesenian, lebih-lebih festival puisi, tentu bukan hanya sekedar pesta, perayaan atau hura-hura belaka. Festival puisi harus menjadi ruang yang menawarkan kemungkinan dan kesempatan bagi munculnya beragam ekspresi. Atau seperti yang dikatakan Martin Mooij, kurator Poetry International Rotterdam, festival merupakan “pelabuhan bebas” bagi bertemunya sejumlah puisi dan penyair yang berbeda asal-usul, kebangsaan, agama, ideologi, warna kulit maupun kecenderungan estetik. Dengan demikian, puisi sebagai suara sang penyair harus menjadi hal yang utama dalam setiap penyelenggaraan festival, di atas hal-hal lainnya.
Sejumlah festival puisi internasional memang pernah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia.
“Hubungan antar negara melalui puisi niscaya akan memperkaya hubungan antar negara di bidang politik. Jika dalam politik perbedaan antar manusia cenderung dipolitisir menjadi konflik, maka dalam puisi perbedaan antar manusia menjadi hikmah untuk diapresiasi, untuk memberi inspirasi dan untuk berbagi,” kata Agus R. Sarjono pada resepsi penyambutan peserta di kediaman gubernur Sumatera Selatan. Meskipun dengan terbata-bata, Agus berusaha menyampaikan sambutannya dalam dua bahasa, dan tentu saja dengan beberapa kali menganggukkan kepala serta menggerakkan tangan untuk membantu kata-kata yang sulit dikeluarkan.
Rangkaian festival secara resmi memang dimulai dengan resepsi di kediaman gubernur itu. Ada 13 penyair asing dari 10 negara, 9 penyair Indonesia dari berbagai daerah serta beberapa pengamat, kritikus dan penterjemah hadir di Palembang. Dalam resepsi tersebut sejumlah pejabat teras, tokoh masyarakat, budayawan dan seniman Sumatera Selatan turut memeriahkan acara. Nampak juga sejumlah penyair muda dan beberapa mahasiswa sastra. Bagi para penyair domestik tentu saja jamuan makan malam pada resepsi itu sangat istimewa. Beragam makanan dan minuman khas
Di Palembang festival dilangsungkan di tiga tempat dalam empat sesi pertunjukan. Untuk pertunjukan siang digelar di Graha Budaya Jakabaring yang lokasinya agak di pinggiran
Palembang, seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia tentu sudah mengenal macam-macam festival, terutama yang berkaitan dengan ritual, upacara adat, kesenian tradisional atau pameran pembangunan. Sementara untuk festival puisi, apalagi festival puisi internasional, banyak penonton yang nampak bingung dan terheran-heran. Bagi mereka festival ini sepertinya kurang meriah, tidak ada keramaian yang melibatkan
Bisa jadi mereka terkecoh dengan kata “festival” yang sangat identik dengan kemeriahan, karnaval atau pasar malam. Yang namanya festival puisi tentu mempunyai watak tersendiri, yang kemeriahannya tidak bisa dibandingkan dengan pasar malam. Namun agar festival puisi bisa diterima, dinikmati dan bahkan merasa dimiliki oleh kalangan yang lebih luas, tentu harus dipikirkan bagaimana kelanjutan dari festival ini. “Poetry International Rotterdam baru diakui keberadaannya setelah berlangsung rutin selama 10 tahun pertama dengan melibatkan penyair-penyair dari berbagai penjuru dunia, yang 12 di antaranya kemudian mendapatkan Hadiah Nobel. Tentu tidak ada hubungan antara peran festival dengan penerimaan Hadiah Nobel tersebut, hanya saja festival ini kemudian menjadi sangat dikenal di seluruh dunia dan para penyair merasa memiliki ruang untuk saling bertemu dalam suasana yang bebas dan independen,” kata Martin Mooij tentang pengalamannya menyelenggaraklan festival puisi. Menurutnya, festival puisi internasional di Rotterdam itu selalu mengikuti perkembangan zaman. Bukan hanya terbuka bagi macam-macam latar belakang penyair, termasuk penyair-penyair yang mempunyai masalah politik, tapi juga terbuka untuk berbagai bentuk dan tema puisi itu sendiri.
“Banyak yang bisa dihasilkan dari puisi yang bagus, seperti sekumtum mawar yang dipisahkan dari kelopaknya namun tetap indah. Dengan cara yang sama kata-kata bisa dipinjam dari sebuah puisi yang bagus untuk disosialisakin ke tengah-tengah masyarakat,” katanya seraya bercerita bahwa penggalan kata-kata puisi yang bagus itu ditempel pada kendaraan-kendaraan umum dan ruang-ruang publik, bahkan dalam perkembangan berikutnya puisi-puisi yang utuh dikirim langsung ke rumah-rumah penduduk
Sesi pertama berlangsung mulus, setiap penyair membacakan puisinya masing-masing dengan caranya masing-masing. Penyair-penyair asing umumnya membaca puisi datar-datar saja, tidak banyak menggerakkan badan atau tangan namun lebih mengutamakan jelasnya pengucapan. “Di Malaysia saya adalah seorang aktor teater dan film, namun sebagai penyair saya selalu berusaha untuk mengutamakan hadirnya puisi dan bukan tampilnya saya sebagai aktor,” kata Khir Rahman ketika mengawali penampilannya. Sejumlah mahasiswa, guru dan dosen sastra yang hadir di Graha Budaya Jakabaring akhirnya paham bahwa pembacaan puisi atau poetry reading ternyata berbeda dengan pementasan teater. Khir kemudian menceritakan bahwa sebagai aktor sebenarnya bisa tampil lebih atraktif untuk memancing aplaus, namun ia khawatir puisinya malah tidak sampai ke dalam benak pemirsa.
Yang menarik dari setiap festival puisi internasional adalah menyaksikan bagaimana puisi-puisi dibacakan penyairnya dalam bahasa asli. Inggris, Arab atau Cina mungkin tidak terlalu asing bagi telinga penonton kita. Namun ketika puisi Italia, Finlandia, Hongaria, bahkan Jerman atau Belanda dibacakan sebagian besar penonton seperti mendengar sesuatu yang sangat asing. “Saya tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Flavio Santi, Anni Sumari atau Peter Zilahy namun nikmat sekali mendengarkannya, seperti mendengar suara apa gitu,” kata Duhita Ismaya Arimbi, seorang penyair muda yang mengikuti semua sesi festival dengan setia. Duhita bukan hanya tidak mengerti bahasa Italia, Finlandia atau Hongaria, bisa jadi malah baru pertama mendengarnya. “Ya, disitulah kekuatan puisi, kesaktiannya bukan hanya pada makna namun bunyi kata-kata itu sendiri yang mampu membangkitkan bulu kuduk kita,” kata Dorothea yang duduk di sampingnya.
Sesi berikutnya dilangsungkan sambil makan malam di atas kapal pesiar yang menyusuri sungai Musi. Program ini nampaknya dirancang untuk memperkenalkan salah satu ikon
***
Setelah empat hari merasa “dimuliakan” di
Toh kendala komunikasi yang divisualisasikan dengan anggukan kepala atau sikap menghindar itu hanya terjadi di permukaan saja, diam-diam setiap penyair saling membaca puisi sesama rekannya hingga penghargaan bahkan kekaguman satu sama lain tumbuh di antara mereka. Godi sangat mengagumi puisi-puisi Anni Sumari dan Flavio Santi meskipun terjemahannya mungkin masih kurang sempurna, dan sebaliknya ia pun dikagumi Carla, istri Flavio, karena cara berpakaian dan
Komunikasi tidak selalu berlangsung dengan bahasa yang verbal, namun bisa juga dilakukan dengan bahasa tubuh dan bahkan bahasa yang lebih abstrak lagi, yakni bahasa hati. Martin Janskowski memberikan komentar terhadap puisi-puisi Warih Wisatsana, tentunya setelah penyair Jerman itu melakukan pembacaan yang tulus terhadap puisi-puisinya. Mendengar komentar Janskowski yang kurang dimengertinya, Warih kemudian menganggukkan kepala. Anwar Putera Bayu diam-diam terpesona oleh kalimat-kalimat lugas dari puisi Madeleine Lee yang menurutnya ada kesamaan aroma dengan puisi-puisinya sendiri. Sayang keterpesonaan Anwar terhadap puisi-puisi Madeleine hanya bisa diungkapannya lewat anggukan kepala. Dan anggukan yang dilakukannya berulang kali bukanlah basa-basi, tapi murni keluar dari ketulusan hati.
“Di tengah kemajuan teknologi informasi yang membuat kata-kata menyebar ke berbagai penjuru dunia dan dengan cepatnya membentuk satuan-satuan global serta merumuskan segala sesuatu dengan cepat dan dangkal, maka puisi menjadi sebuah kemungkinan lain untuk bergaul dengan dunia, untuk melihat kehidupan dari sisinya yang khas dan partikular. Maka kata-kata dan ketulusan pulalah yang kita semua butuhkan hari-hari ini,” kata Agus R. Sarjono pada saat penutupan festival. Dan jika semangat festival puisi ini memang dimaksudkan demikian, maka hal-hal tak terduga seperti yang terjadi di bandara, di kediaman gubernur, di panggung, di atas kapal pesiar, di ruang diskusi, di dalam bis, di lobby hotel atau di restoran akan menjadi ungkapan ketulusan otentik yang melintasi masalah teknis komunikasi antar penyair, bahkan antar manusia itu sendiri. Jelas ada benang merah keprihatinan yang besar terhadap situasi dunia dan kemanusiaan dalam festival ini. Benang merah yang merajut puisi demi puisi dari para penyair dengan asal-usul, kebangsaan, bahasa, agama, ideologi, warna kulit dan kecenderungan estetik yang berbeda-beda. Benang merah inilah yang seyogyanya disyukuri, sebab telah membuktikan bahwa tanah air para penyair ternyata berbeda dengan para politisi.
Di Taman Ismail Marzuki benang merah keprihatinan tersebut seperti menemukan aksentuasinya. Hampir setiap penyair tampil dengan persiapan yang lebih matang, baik kostum maupun performance-nya. Martin Janskowski, Hal Judge dan Nenden Lilis Aisyah bukan hanya membaca, tapi juga menyanyi dengan iringan gitar dan musik dari komputer. Sementara Anni Sumari, Godi Suwarna dan Duoduo menyiapkan kostum bernuansa etnis untuk mendukung penampilannya. Puncaknya, pada malam terakhir, seluruh penyair yang tampil diiringi musik gamelan Kiyai Kanjeng. Ahmad Abdul Mu’thi Hijazy bagaikan seorang sufi yang khusyuk di tengah gemuruhnya dunia, Peter Zilahy menggeleng-gelengkan kepala dengan bahasa Hongarianya yang seperti mantera, Khir Rahman kasmaran melagukan lirik-lirik cintanya pada Siti Jasmina, sementara Taufiq Ismail menjerit-jerit mengutuk Amerika sebagai teroris yang sebenarnya.
Festival memang bukan hanya milik para penyair yang menjadi peserta, festival juga milik seluruh penonton yang memadati tempat-tempat pertunjukkan baik di
(2006)