Share |

Artikel 20

PUISI DAN KETULUSAN HATI



Acep Zamzam Noor


SEBUAH festival tidak selamanya harus diawali dengan hura-hura, bisa juga dengan menganggukkan kepala. Seperti pagi itu, 1 Juni 2006, sejumlah penyair asing dan domestik sudah menunggu di bandara Soekarno-Hatta, namun pesawat yang akan mengangkut peserta International Poetry Festival Indonesia 2006 ke Palembang mengalami gangguan hingga jadwal keberangkatannya diundur sampai tiga jam. Beberapa penyair menarik napas panjang, beberapa lainnya mengeluarkan keluhan. Namun di luar ruangan AC, Anni Sumari nampak santai saja mengisap rokok putihnya. Di samping kiri, Linda Voute dan Agus R. Sarjono tengah membicarakan sepakbola, juga sambil merokok. Linda Voute adalah penterjemah dari Belanda, sedang Anni Sumari penyair dari Finlandia. Karena tidak paham apa yang Linda dan Agus bicarakan dalam bahasa Indonesia, Anni hanya menganggukkan kepala sambil sesekali tersenyum kepada Maman S. Mahayana, yang duduk di samping kanan. Kritikus sastra ini kemudian membalasnya dengan menganggukkan kepala pula.


Adakah hubungan antara festival puisi dengan anggukan kepala? Bagi sebagian penyair aktivitas menganggukkan kepala nampaknya sudah menjadi metafor tersendiri, terutama bagi yang mempunyai kendala bahasa. Raudal Tanjung Banua selalu menganggukkan kepala setiap berpapasan dengan Martin dan Connie Mooij dari Belanda. Begitu juga yang dilakukan Flavio Santi, penyair Italia ini akan menganggukkan kepala apabila bertemu Hal Judge dari Australia atau Duoduo dari Cina. Hal yang sama diperagakan Dorothea Rossa Herliany ketika bercengkerama dengan Ahmad Abdul Mu’thi Hijazy. Dorothea jelas tidak mengerti bahasa Arab, sementara Hijazy lebih pasih berbahasa Perancis ketimbang Inggris. Namun kendala bahasa tak menyurutkan niat penyair Mesir ini menepuk-nepuk bahu Dorothea sambil tersenyum mesra, dan Dorothea sibuk mengangguk-angguk. Komunikasi body language semacam ini menjadi bagian yang menarik dari sebuah festival puisi internasional.


***


Festival dalam pengertian yang sederhana adalah pesta, perayaan atau ungkapan kegembiraan bersama yang melibatkan banyak orang. Memang festival apapun tidak pernah lepas dari unsur kesemarakan, keramaian dan biasanya membutuhkan biaya besar. Namun festival kesenian, lebih-lebih festival puisi, tentu bukan hanya sekedar pesta, perayaan atau hura-hura belaka. Festival puisi harus menjadi ruang yang menawarkan kemungkinan dan kesempatan bagi munculnya beragam ekspresi. Atau seperti yang dikatakan Martin Mooij, kurator Poetry International Rotterdam, festival merupakan “pelabuhan bebas” bagi bertemunya sejumlah puisi dan penyair yang berbeda asal-usul, kebangsaan, agama, ideologi, warna kulit maupun kecenderungan estetik. Dengan demikian, puisi sebagai suara sang penyair harus menjadi hal yang utama dalam setiap penyelenggaraan festival, di atas hal-hal lainnya.


Sejumlah festival puisi internasional memang pernah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Ada yang hanya sekali muncul kemudian menghilang, ada juga yang berusaha untuk hadir rutin setiap satu atau dua tahun. Dan International Poetry Festival Indonesia 2006 yang berlangsung di Palembang dan Jakarta, 2 sampai 8 Juli lalu, nampaknya diniatkan untuk melengkapi festival-festival internasional yang sudah ada sebelumnya. Dewan Kesenian Jakarta yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Sumatera Selatan sebagai penyelenggara tentu mempunyai harapan seperti yang dimaksudkan Martin Mooij tadi, sebagai upaya membuka ruang bertemunya berbagai macam ekspresi dan ragam budaya melalui puisi.


“Hubungan antar negara melalui puisi niscaya akan memperkaya hubungan antar negara di bidang politik. Jika dalam politik perbedaan antar manusia cenderung dipolitisir menjadi konflik, maka dalam puisi perbedaan antar manusia menjadi hikmah untuk diapresiasi, untuk memberi inspirasi dan untuk berbagi,” kata Agus R. Sarjono pada resepsi penyambutan peserta di kediaman gubernur Sumatera Selatan. Meskipun dengan terbata-bata, Agus berusaha menyampaikan sambutannya dalam dua bahasa, dan tentu saja dengan beberapa kali menganggukkan kepala serta menggerakkan tangan untuk membantu kata-kata yang sulit dikeluarkan.


Rangkaian festival secara resmi memang dimulai dengan resepsi di kediaman gubernur itu. Ada 13 penyair asing dari 10 negara, 9 penyair Indonesia dari berbagai daerah serta beberapa pengamat, kritikus dan penterjemah hadir di Palembang. Dalam resepsi tersebut sejumlah pejabat teras, tokoh masyarakat, budayawan dan seniman Sumatera Selatan turut memeriahkan acara. Nampak juga sejumlah penyair muda dan beberapa mahasiswa sastra. Bagi para penyair domestik tentu saja jamuan makan malam pada resepsi itu sangat istimewa. Beragam makanan dan minuman khas Palembang disajikan, tidak ketinggalan musik dan tarian tradisional. “Kadang-kadang menjadi penyair juga bisa mulia, cuma sayangnya kesempatan seperti ini tidak sering,” bisik D. Zawawi Imron sambil mencicipi hampir semua makanan dengan penuh semangat. Raudal Tanjung Banua yang sudah akrab dengan masakan-masakan Sumatera hanya menganggukkan kepala sambil terus tersenyum, mungkin mensyukuri kemuliaan sebagai penyair yang kesempatannya tidak sering itu.


Di Palembang festival dilangsungkan di tiga tempat dalam empat sesi pertunjukan. Untuk pertunjukan siang digelar di Graha Budaya Jakabaring yang lokasinya agak di pinggiran kota, sedang untuk pertunjukan malam masing-masing dilakukan di atas kapal pesiar Si Gentar Alam sepanjang sungai Musi serta di Novotel, hotel tempat semua peserta menginap. Hari pertama menampilkan sejumlah penyair asing dan domestik, namun diawali terlebih dahulu dengan penuturan sastra lisan oleh Ahmad Bastari Suan, seniman tradisional dari Basemah, Kabupaten Lahat. Penyair D. Zawawi Imron (Madura) tampil pertama dengan puisi-puisi sufistiknya yang bergelora, kemudian secara berturut-turut diikuti Peter Swanborn (Belanda), Jamal D. Rahman (Jakarta), Hans Wap (Belanda), Hal Judge (Australia), Khir Rahman (Malaysia) dan Taufik Wijaya (Palembang). Tentu saja setiap puisi yang dibacakan disertai pula terjemahannya.


Palembang, seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia tentu sudah mengenal macam-macam festival, terutama yang berkaitan dengan ritual, upacara adat, kesenian tradisional atau pameran pembangunan. Sementara untuk festival puisi, apalagi festival puisi internasional, banyak penonton yang nampak bingung dan terheran-heran. Bagi mereka festival ini sepertinya kurang meriah, tidak ada keramaian yang melibatkan massa, tidak ada arak-arakan di jalan, tidak ada pameran atau bazar sebagai pendukung kegiatan yang tarapnya internasional. Begitu juga umbul-umbul, baligo atau spanduk yang menginformasikan festival ini hanya dipasang di tempat kegiatan, sedang di jalan-jalan pusat kota tidak kelihatan.


Bisa jadi mereka terkecoh dengan kata “festival” yang sangat identik dengan kemeriahan, karnaval atau pasar malam. Yang namanya festival puisi tentu mempunyai watak tersendiri, yang kemeriahannya tidak bisa dibandingkan dengan pasar malam. Namun agar festival puisi bisa diterima, dinikmati dan bahkan merasa dimiliki oleh kalangan yang lebih luas, tentu harus dipikirkan bagaimana kelanjutan dari festival ini. “Poetry International Rotterdam baru diakui keberadaannya setelah berlangsung rutin selama 10 tahun pertama dengan melibatkan penyair-penyair dari berbagai penjuru dunia, yang 12 di antaranya kemudian mendapatkan Hadiah Nobel. Tentu tidak ada hubungan antara peran festival dengan penerimaan Hadiah Nobel tersebut, hanya saja festival ini kemudian menjadi sangat dikenal di seluruh dunia dan para penyair merasa memiliki ruang untuk saling bertemu dalam suasana yang bebas dan independen,” kata Martin Mooij tentang pengalamannya menyelenggaraklan festival puisi. Menurutnya, festival puisi internasional di Rotterdam itu selalu mengikuti perkembangan zaman. Bukan hanya terbuka bagi macam-macam latar belakang penyair, termasuk penyair-penyair yang mempunyai masalah politik, tapi juga terbuka untuk berbagai bentuk dan tema puisi itu sendiri.


“Banyak yang bisa dihasilkan dari puisi yang bagus, seperti sekumtum mawar yang dipisahkan dari kelopaknya namun tetap indah. Dengan cara yang sama kata-kata bisa dipinjam dari sebuah puisi yang bagus untuk disosialisakin ke tengah-tengah masyarakat,” katanya seraya bercerita bahwa penggalan kata-kata puisi yang bagus itu ditempel pada kendaraan-kendaraan umum dan ruang-ruang publik, bahkan dalam perkembangan berikutnya puisi-puisi yang utuh dikirim langsung ke rumah-rumah penduduk kota Rotterdam sehingga yang merasa memiliki festival bukan hanya para penyair, namun masyarakat juga.


Sesi pertama berlangsung mulus, setiap penyair membacakan puisinya masing-masing dengan caranya masing-masing. Penyair-penyair asing umumnya membaca puisi datar-datar saja, tidak banyak menggerakkan badan atau tangan namun lebih mengutamakan jelasnya pengucapan. “Di Malaysia saya adalah seorang aktor teater dan film, namun sebagai penyair saya selalu berusaha untuk mengutamakan hadirnya puisi dan bukan tampilnya saya sebagai aktor,” kata Khir Rahman ketika mengawali penampilannya. Sejumlah mahasiswa, guru dan dosen sastra yang hadir di Graha Budaya Jakabaring akhirnya paham bahwa pembacaan puisi atau poetry reading ternyata berbeda dengan pementasan teater. Khir kemudian menceritakan bahwa sebagai aktor sebenarnya bisa tampil lebih atraktif untuk memancing aplaus, namun ia khawatir puisinya malah tidak sampai ke dalam benak pemirsa.


Yang menarik dari setiap festival puisi internasional adalah menyaksikan bagaimana puisi-puisi dibacakan penyairnya dalam bahasa asli. Inggris, Arab atau Cina mungkin tidak terlalu asing bagi telinga penonton kita. Namun ketika puisi Italia, Finlandia, Hongaria, bahkan Jerman atau Belanda dibacakan sebagian besar penonton seperti mendengar sesuatu yang sangat asing. “Saya tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Flavio Santi, Anni Sumari atau Peter Zilahy namun nikmat sekali mendengarkannya, seperti mendengar suara apa gitu,” kata Duhita Ismaya Arimbi, seorang penyair muda yang mengikuti semua sesi festival dengan setia. Duhita bukan hanya tidak mengerti bahasa Italia, Finlandia atau Hongaria, bisa jadi malah baru pertama mendengarnya. “Ya, disitulah kekuatan puisi, kesaktiannya bukan hanya pada makna namun bunyi kata-kata itu sendiri yang mampu membangkitkan bulu kuduk kita,” kata Dorothea yang duduk di sampingnya.


Sesi berikutnya dilangsungkan sambil makan malam di atas kapal pesiar yang menyusuri sungai Musi. Program ini nampaknya dirancang untuk memperkenalkan salah satu ikon kota Palembang kepada para peserta, khususnya peserta dari mancanegara. Selain panitia dan undangan, banyak juga seniman dan aktivis kesenian Palembang yang turut serta dalam pelayaran itu sehingga acara tetap berlangsung meriah. Ada beberapa penyair yang tampil malam itu, antara lain Madeleine Lee dari Singapura, Dorothea Rossa Herliany dan Emha Ainun Nadjib. Pembacaan puisi di kapal pesiar ini memang lebih santai, meskipun bagi Madeleine dan Dorothea merupakan siksaaan yang berat karena suara lembutnya harus bersaing dengan gemuruh mesin serta deru angin yang kencang. Belum lagi harus menyeimbangkan tubuhnya yang terus bergoyang ke kiri dan ke kanan. Karena paham situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan, Emha Ainun Nadjib tidak membacakan puisi-puisinya yang ada dalam antologi namun memilih berimproviasi sehingga menjadi kurang jelas apakah yang dibawakannya itu puisi atau orasi. Penampilan Emha yang atraktif tersebut memancing beberapa seniman Palembang untuk meresponsnya secara spontan.


Ada yang khas dari beberapa festival puisi internasional yang pernah diselenggarakan di Indonesia, yakni tempat festivalnya tidak pernah menetap di satu kota. Winternachten Overzee misalnya, festival puisi internasional dua tahunan yang dikelola Teater Utan Kayu selalu mengambil tempat yang berpindah-pindah: Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, Solo, Bandung dan Bandar Lampung. Begitu juga festival yang pernah diselenggarakan Rendra beberapa tahun yang lalu, mengambil tempat di Makassar, Solo dan Bandung. Sementara festival terakhir ini memilih Palembang dan Jakarta. Mudah-mudahan pertimbangan memilih tempat penyelenggaraan bukan semata karena urusan pariwisata, namun karena di tempat tersebut terdapat kantong-kantong sastra yang tengah mengggeliat.


***


Setelah empat hari merasa “dimuliakan” di Palembang para penyair harus kembali ke Jakarta untuk melanjutkan festival yang sama di Taman Ismail Marzuki. Para penyair asing yang akan tampil tidak mengalami perubahan, sementara penyair dari Indonesia mengalami semacam rotasi. Penyair yang sudah tampil di Palembang akan digantikan oleh penyair lain. Maka bisa dibayangkan adegan menganggukkan kepala akan terulang kembali di Jakarta. Dan ternyata hal ini benar-benar terjadi, bahkan lebih seru lagi. Godi Suwarna misalnya, penyair yang menulis dalam bahasa Sunda ini selalu menganggukkan kepala setiap berpapasan dengan Anni Sumari atau Flavio Santi. Begitu juga kalau kebetulan makan satu meja dengan Peter Swanborn atau Tsead Bruinja, ia akan mengangguk dan kemudian mencari-cari Khalid bin Salleh, penyair Malaysia yang mengerti bahasa Sunda. Anggukan kepala juga rutin dilakukan oleh Aslan Abidin, Warih Wisatsana dan Anwar Putera Bayu. Tiga serangkai ini jarang sekali berpisah dan selalu makan di satu meja. Hanya Azhari yang kelihatan lebih kosmopolitan, penyair asal Aceh ini sering kedapatan “mojok” bersama Heather Curnow, peneliti sastra paruh baya asal Australia yang kebetulan lancar berbahasa Indonesia.


Toh kendala komunikasi yang divisualisasikan dengan anggukan kepala atau sikap menghindar itu hanya terjadi di permukaan saja, diam-diam setiap penyair saling membaca puisi sesama rekannya hingga penghargaan bahkan kekaguman satu sama lain tumbuh di antara mereka. Godi sangat mengagumi puisi-puisi Anni Sumari dan Flavio Santi meskipun terjemahannya mungkin masih kurang sempurna, dan sebaliknya ia pun dikagumi Carla, istri Flavio, karena cara berpakaian dan gaya membaca puisinya konon mirip dukun-dukun di Afrika. Jamal D. Rahman menyukai puisi-puisi Ahmad Abdul Mu’thi Hijazy yang imajis, dan sebaliknya Hijazy juga tertarik pada puisi-puisi Jamal yang sufistik. Sampai larut malam mereka berbincang tentang sastra dan agama meskipun dengan kosa kata yang alakadarnya.


Komunikasi tidak selalu berlangsung dengan bahasa yang verbal, namun bisa juga dilakukan dengan bahasa tubuh dan bahkan bahasa yang lebih abstrak lagi, yakni bahasa hati. Martin Janskowski memberikan komentar terhadap puisi-puisi Warih Wisatsana, tentunya setelah penyair Jerman itu melakukan pembacaan yang tulus terhadap puisi-puisinya. Mendengar komentar Janskowski yang kurang dimengertinya, Warih kemudian menganggukkan kepala. Anwar Putera Bayu diam-diam terpesona oleh kalimat-kalimat lugas dari puisi Madeleine Lee yang menurutnya ada kesamaan aroma dengan puisi-puisinya sendiri. Sayang keterpesonaan Anwar terhadap puisi-puisi Madeleine hanya bisa diungkapannya lewat anggukan kepala. Dan anggukan yang dilakukannya berulang kali bukanlah basa-basi, tapi murni keluar dari ketulusan hati.


“Di tengah kemajuan teknologi informasi yang membuat kata-kata menyebar ke berbagai penjuru dunia dan dengan cepatnya membentuk satuan-satuan global serta merumuskan segala sesuatu dengan cepat dan dangkal, maka puisi menjadi sebuah kemungkinan lain untuk bergaul dengan dunia, untuk melihat kehidupan dari sisinya yang khas dan partikular. Maka kata-kata dan ketulusan pulalah yang kita semua butuhkan hari-hari ini,” kata Agus R. Sarjono pada saat penutupan festival. Dan jika semangat festival puisi ini memang dimaksudkan demikian, maka hal-hal tak terduga seperti yang terjadi di bandara, di kediaman gubernur, di panggung, di atas kapal pesiar, di ruang diskusi, di dalam bis, di lobby hotel atau di restoran akan menjadi ungkapan ketulusan otentik yang melintasi masalah teknis komunikasi antar penyair, bahkan antar manusia itu sendiri. Jelas ada benang merah keprihatinan yang besar terhadap situasi dunia dan kemanusiaan dalam festival ini. Benang merah yang merajut puisi demi puisi dari para penyair dengan asal-usul, kebangsaan, bahasa, agama, ideologi, warna kulit dan kecenderungan estetik yang berbeda-beda. Benang merah inilah yang seyogyanya disyukuri, sebab telah membuktikan bahwa tanah air para penyair ternyata berbeda dengan para politisi.


Di Taman Ismail Marzuki benang merah keprihatinan tersebut seperti menemukan aksentuasinya. Hampir setiap penyair tampil dengan persiapan yang lebih matang, baik kostum maupun performance-nya. Martin Janskowski, Hal Judge dan Nenden Lilis Aisyah bukan hanya membaca, tapi juga menyanyi dengan iringan gitar dan musik dari komputer. Sementara Anni Sumari, Godi Suwarna dan Duoduo menyiapkan kostum bernuansa etnis untuk mendukung penampilannya. Puncaknya, pada malam terakhir, seluruh penyair yang tampil diiringi musik gamelan Kiyai Kanjeng. Ahmad Abdul Mu’thi Hijazy bagaikan seorang sufi yang khusyuk di tengah gemuruhnya dunia, Peter Zilahy menggeleng-gelengkan kepala dengan bahasa Hongarianya yang seperti mantera, Khir Rahman kasmaran melagukan lirik-lirik cintanya pada Siti Jasmina, sementara Taufiq Ismail menjerit-jerit mengutuk Amerika sebagai teroris yang sebenarnya.


Festival memang bukan hanya milik para penyair yang menjadi peserta, festival juga milik seluruh penonton yang memadati tempat-tempat pertunjukkan baik di Palembang maupun di Jakarta, yang membeli buku antologi dan menyimak dengan seksama puisi-puisi yang termuat di dalamnya. Tentu saja waktu yang akan membuktikan apakah festival ini bermakna atau sekedar menghamburkan dana, waktu juga yang akan membuktikan apakah festival ini muncul untuk kemudian menghilang, atau malah akan rutin diselenggarakan seperti halnya Poetry International Rotterdam? Ternyata menyelengggarakan festival juga membutuhkan ketulusan hati seperti halnya menulis puisi.


(2006)


Prev Next Next