Share |

Artikel 12

ENAM PENYAIR JAWA BARAT


Acep Zamzam Noor



DEWASA ini komunitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sastra, khususnya puisi. Komunitas bahkan jauh lebih berperan dibanding fakultas atau jurusan sastra itu sendiri, khususnya dalam kegiatan yang ada hubungannya dengan apresiasi dan proses kreatif. Banyak kota-kota kecil yang mempunyai universitas atau sekolah tinggi yang ada fakultas atau jurusan sastranya, namun tidak otomatis kehidupan sastra di kota-kota tersebut hidup. Kegiatan sastra, baik itu workshop penulisan puisi, diskusi puisi, baca puisi maupun lomba-lomba yang ada hubungannya dengan puisi justru lebih banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas.


Komunitas sastra bisa muncul dari luar maupun dari dalam kampus, meskipun tidak selalu merupakan representasi fakultas atau jurusan sastra mengingat anggotanya berasal dari fakultas atau jurusan lain. Bahkan dari kampus lain. Selain tempat berkumpul, kongkow-kongkow dan merencanakan berbagai kegiatan, komunitas sastra juga merupakan laboratorium bagi proses kepenyairan para anggotanya. Dalam komunitaslah pergesekan kreativitas dan produktivitas akan terjadi, yang kadang mengarah pada persaingan antar pribadi. Ada beberapa jenis komunitas sastra yang bisa dibedakan dari karakter dan atmosfirnya. Ada komunitas yang mempunyai tokoh sentral sebagai penggerak utamanya, ada juga komunitas yang dibangun secara bersama-sama dan keberadaannya dipelihara bersama-sama pula. Kedua jenis ini mempunyai karakter dan atmosfir yang berbeda.


Pada jenis pertama karakter individual tokoh penggerak bisa jadi mewarnai komunitas sehingga pengaruhnya pada anggota yang lebih muda sangat kuat, meskipun pada perkembangan selanjutnya tidak selalu demikian. Sedang pada jenis kedua karakter masing-masing individu bisa muncul dan saling mengisi, atau malah bisa juga saling berbenturan satu sama lain. Tapi itulah dinamika sebuah komunitas. Apapun jenis, karakter dan atmosfirnya, harus diakui bahwa komunitas-komunitas seperti inilah yang dewasa ini menghidupkan gerakan sastra di sejumlah kota di Jawa Barat. Komunitas-komunitas seperti ini tanpa disadari telah memberikan sumbangan berarti pada regenerasi kepenyairan di wilayah ini. Dari kurun ke kurun penyair-penyair baru terus muncul secara berkesinambungan. Tentu ada yang bertahan dan tidak sedikit pula yang malah tenggelam, sebagaimana hukum alam.


Bode Riswandi, Dian Hartati, Mira Lismawati, Semmi Ikra Anggara, Keanan Morie dan Rudi Ramdani yang puisi-puisinya terhimpun dalam antologi puisi Sejarah Ikan ini adalah para penyair Jawa Barat terkini. Dari segi usia nampaknya mereka berasal dari generasi yang sama meski latar belakang komunitasnya berbeda-beda. Umumnya para penyair ini mulai menekuni penulisan puisi sejak awal dekade 2000-an di komunitasnya masing-masing. Jadi proses mereka dalam menggauli dunia kata-kata sudah terbilang lama. Puisi-puisi yang mereka tulis juga sudah lumayan jumlahnya, dan sebagian di antaranya tampil menghiasi rubrik-rubrik sastra di berbagai media cetak daerah maupun nasional. Dengan demikian, enam penyair yang rata-rata mempunyai “semangat tinggi” ini tidak terlalu asing bagi publik sastra, khususnya di Jawa Barat. Apalagi sebagai seniman mereka bukan hanya suntuk berpuisi, namun juga berkiprah dalam kesenian lain seperti teater dan seni rupa.


Kebetulan sedikit banyak saya mengenal keenam penyair ini, terutama karena mobilitasnya yang tinggi hingga mereka selalu nampak di mana-mana. Tak terlalu sulit untuk bertemu dengan anak-anak muda ini, datanglah ke acara-acara sastra, ke pentas teater atau pameran seni rupa, hampir bisa dipastikan akan bertemu dengan salah seorang dari mereka. Saya kadang bertemu mereka di Tasikmalaya atau Ciamis, kadang di Serang atau Jakarta. Kadang juga di Cirebon, Subang atau Garut. Bahkan di Solo, Yogyakarta dan Malang. Dan tentu saja di Bandung sendiri (di CCF, CCL, Goethe Institute, Gramedia, Ultimus, Tobucil, Malka, STSI atau UPI) karena sebagian dari mereka memang tinggal dan kuliah di kota kembang ini.


Dalam pengantar apresiasi ini saya ingin memulainya dengan menemui Bode Riswandi, penyair kelahiran Tasikmalaya. Sejak masih di bangku SMA dia sudah bergabung dengan Sanggar Sastra Tasik (SST), dan ketika kuliah di Universitas Siliwangi ia menjadi penggerak komunitas sastra dan teater di kampusnya. Bode bukan hanya menulis puisi, tapi juga menulis naskah drama dan menyutradarai. Bode bukan hanya deklamator namun juga aktor yang sudah memainkan puluhan lakon bersama kelompoknya, yakni Teater 28. Puisi-puisi Bode, seperti juga puisi-puisi mereka yang memulai menulis sejak masih ABG, tentu banyak bercerita perihal cinta. Baik cinta yang transenden dengan menyebut-nyebut nama Tuhan misalnya, maupun cinta antar sesama dengan mencantumkan nama perempuan. Tentu menyandingkan keduanya bukanlah masalah, toh baik Tuhan maupun perempuan sama-sama sumber keindahan bagi penyair ini. Begitu juga alam dengan segala sepak terjangnya yang kadang mengerikan, merupakan bagian dari keindahan juga.


Dalam keterampilan berbahasa, penyair yang hobi menenteng kamera ke mana-mana ini termasuk lancar. Puisi-puisinya mengalir seperti selokan, terutama untuk lirik-liriknya yang pendek. Kadang puisinya menampakkan kesederhanaan sehingga mudah ditangkap mata, namun kadang juga ia berusaha menampilkan kecanggihan, yang sayangnya justru malah sering mengaburkan rancang bangun puisinya itu sendiri. Nampaknya Bode masih membutuhkan konsentrasi yang lebih, intensitas yang lebih dan harus terus mengasah kejelian sudut pandangnya sehingga mampu menemukan keunikan-keunikan dari kehidupan ini. Sehingga apa-apa yang kemudian terungkapkan sebagai puisi benar-benar melewati sebuah proses yang panjang, melewati sebuah pencarian yang dalam serta melewati sebuah pertimbangan yang matang. Pendek kata, melewati sebuah kerja yang keras. Seorang penyair memang agak berbeda dengan juru kamera yang biasanya hanya merekam hal-hal yang nampak di permukaan saja.


“Di Pantai Selatan: Dengan Jelas Memandangmu”, “Seperti Sungai”, “Danga Bay, Malaysia” dan “Iktikaf” adalah puisi-puisi yang menurut saya ditulis dengan lebih berkonsentrasi ketimbang puisi-puisinya yang lain, sehingga terasa agak utuh. Saya kutipkan salah satu di antaranya:


tariklah aku ke sungaiMu

menjadi rumput

yang tak henti digoyang arus


jadikan aku kerikil

yang ditampar deras

dan menemu hilir


Sebagai sesama penyair Bode Riswandi telah lama berteman baik dengan Dian Hartati, meskipun mereka tinggal di kota yang berlainan. Bode tinggal di Tasikmalaya dan Dian kuliah di Bandung. Seperti halnya Bode, Dian juga memulai kepenyairannya sejak duduk di bangku SMA, namun masih sekedar untuk senang-senang saja. Baru setelah memasuki dunia kampus Dian menunjukkan keseriusannya pada puisi, lebih-lebih ia mengambil jurusan sastra di UPI, yang sering diplesetkan orang sebagai Universitas Padahal IKIP. Di kampusnya penyair yang pendiam namun sering melempar senyum ini bergabung dengan ASAS, sebuah komunitas sastra di lingkungan UPI. Bersama teman-teman sebayanya seperti Fina Sato, Sangdenai dan Widzar Al-Ghiffari ia membentuk wadah sendiri bernama Mnemonic, sebuah komunitas yang biasa menggelar diskusi sastra di taman-taman kota Bandung.


Kenapa Dian Hartati serius menekuni puisi? Karena menulis puisi itu sangat menyenangkan dan lebih dari itu, sangat menyehatkan. Begitulah pengakuannya pada Bode Riswandi suatu ketika. Namun berbeda dengan Bode yang puisi-puisinya terkesan lancar, Dian justru berusaha menunjukkan pergulatan yang keras dengan kata-kata. Nampak bukan semata kelancaran yang ingin dicapainya, namun juga kekentalan. Baik kekentalan dalam berbahasa maupun kekentalan dalam menunjukkan jati dirinya sebagai wanita. Tentu saja mengentalkan ungkapan tentang sebuah gagasan bukan hal yang mudah, dibutuhkan keterampilan dan sekaligus kekhusyukan agar yang muncul bukan hanya kental dan padat, tapi juga tidak gelap. Di sinilah tugas berat seorang penyair, bagaimana mengkongkritkan sesuatu yang sebelumnya abstrak. Juga bagaimana menyeimbangkan antara kepadatan dan kejernihan.


Puisi-puisi Dian Hartati yang bentuknya ramping serta memanjang ke bawah seperti “Tubuhku Dalam Percintaan Platonik”, “Masangin”, “Kopula” dan “Akolade” dalam penglihatan saya jauh lebih jernih dan bersih dibanding puisi-puisinya yang lain. Pada puisi-puisinya yang lain ada kesan kata-kata belum sepenuhnya berhasil ditaklukkan, terutama ketika Dian mencoba bereksperimen memakai pola serta susunan kata atau kalimat yang kurang biasa. Saya kutipkan bait akhir dari salah satu puisinya yang ramping itu:


jika bungkam kupilih

itu pertanda

usai segala bias

dan tubuhku

tetap kukuh menanti tubuh lain


Selain Dian Hartati, di Bandung masih ada penyair wanita yang juga cukup menjanjikan, namanya Mira Lismawati. Seperti juga Dian, Mira menempa kepenyairannya sejak masih berseragam sekolah dengan menggabungkan diri ke Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) Tasikmalaya asuhan Saeful Badar dan Nazarudin Azhar. Mira juga pendiam seperti halnya Dian, namun sorot matanya yang tajam sering membuat lawan bicaranya gemetaran. Tak jarang orang sekelas Saeful Badar dan Nazarudin Azhar yang bertubuh besar berulang kali harus menundukkan kepala karena tak tahan bertatapan dengannya. Selepas SMA di Tasikmalaya, Mira melanjutkan kuliah di STSI Bandung, menekuni seni rupa. Di kampusnya ia bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang juga menyukai sastra, hingga kepekaan puitiknya tetap terpelihara.


Di balik jilbabnya yang ketat, ungkapan-ungkapan Mira sering mengejutkan. Saya masih ingat puisi yang ditulisnya semasa sekolah dulu, begitu segar dan berani. Tapi cukup lama saya tak mengikuti perkembangannya sampai sekali waktu ia muncul dengan puisi-puisi potret, konon seiring dengan minatnya yang besar pada fotografi. Mira banyak memotret panorama dusun dengan sangat detail sehingga puisi-puisinya menimbulkan kesan visual. Mira juga banyak menampilkan unsur-unsur lokal dengan menghadirkan benda-benda yang berasal dari kampungnya, juga flora dan fauna yang khas daerahnya. Namun satu hal yang perlu dicatat dari penyair mungil ini adalah masalah konsistensinya dalam mencipta, masalah mengatur napas dan irama. “Ritus Kelahiran”, “Episode Ke-23”, “Kalakai”, “Bukit Taulan” atau “Surau” bagi saya merupakan puisi-puisinya yang lumayan kuat, namun entah kenapa pada beberapa puisinya yang lain terasa seperti anjlok. Seperti halnya pemain sepak bola, nampaknya penyair juga harus pandai mengatur napas serta mengendalikan irama permainan agar stamina tidak cepat melorot. Dan perlu diingat, menulis puisi jauh lebih berat ketimbang main sepak bola. Menulis puisi tidak mengenal istilah turun minum atau injury time. Jadi stamina harus tetap prima sepanjang masa.


Saya kutipkan bait pertama dari salah satu puisinya yang saya sukai:


Bukit Taulan, menyimpan rahasia kemerahan di helaian pucuk jengkol

yang menyembuhkan ratusan koreng di selangkangan anak-anak. Di hutan itu,

masa kecil yang tumbuh di semak-semak perdu dan cerita tentang datangnya

sanekala di sebuah senja, menyihir rasa takutku menjadi sekepal keberanian

untuk menjemput malam. Dongeng-dongeng usang yang terlukis

pada karembong nenekku, adalah sebentuk hiburan ketika kantuk

merayapi langit-langit kamar dan jemari ibu

yang cekatan menarik telur kutu di setiap helai rambutku


Sewaktu Mira Lismawati masih aktif di SSSI, ia bersahabat dengan Semmi Ikra Anggara dan Meizer Alzou. Mira memilih kuliah di Bandung, Semmi pergi ke Malang dan Meizer ke Jakarta. Di Malang Semmi masih terus menulis puisi dan berteater, sementara Meizer yang sebenarnya sangat berbakat malah tak kedengaran lagi kiprahnya. Semmi ternyata tidak bertahan lama di Malang, ia selalu teringat pada sahabatnya yang kuliah di Bandung dan berniat untuk menyusulnya. Tak lama kemudian Semmi pun pindah ke Bandung dan langsung mendaptar di kampus tempat sahabat yang selalu diingatnya itu kuliah. Di Bandung aktivitas dan kreativitas Semmi seperti menemukan atmosfirnya yang pas. Di STSI ia membentuk komunitas dan menerbitkan buletin sastra, ia juga terlibat dalam berbagai pementasan teater. Selain itu, Semmi juga bergaul rapat dengan komunitas lain seperti Mnemonic yang anggotanya kebanyakan wanita, juga dengan ASAS dan CCL yang umumnya lelaki. Wanita atau lelaki bukan masalah bagi Semmi, asal jelas untuk urusan puisi. Dari pergaulan lintas komunitas serta gender inilah nampaknya gagasan menerbitkan antologi Sejarah Ikan ini lahir.


Puisi-puisi Semmi Ikra Anggara konsisten dengan menggunakan kata-kata biasa dan kalimat sederhana. Semmi nampak berusaha untuk tidak berindah-indah, bahkan kebanyakan kata-katanya dipungut dari pinggir jalan, dari riuh pasar, dari rental komputer, dari panti pijat, dari kamar kost, dari pos ronda atau antrian panjang loket kereta. Puisi-puisi awalnya juga demikian, mengomentari banyak persoalan sosial dan politik dengan bahasa sehari-hari. Sikapnya dalam berpuisi ini nampak cocok dengan gaya deklamasinya di hadapan publik. Semmi bukan hanya beteriak namun juga sering melengkapi ekspresinya dengan menggebrak, meninju dan menendang udara. Pendek kata, gaya baca puisi Semmi sangat atraktif.


Meskipun tetap konsisten dengan kata-kata biasa dan kalimat sederhana, dalam puisi-puisinya yang mutakhir Semmi nampak mulai banyak menggunakan simbol dan metafor yang agak berlapis. Puisi-puisinya kadang sangat prosais, dengan cerita-cerita aneh di antara fakta dan khayalan. Kadang seperti rekaman sebuah mimpi buruk, kadang hanya omelan atau gerutuan sehari-hari, namun ujung dari semuanya adalah ironi. Semmi mempunyai bakat sinis yang kuat dan hal ini akan menjadi menarik jika kemampuan memainkan metafornya terus diasah. Banyak puisinya yang berangkat dari ide-ide yang nakal, namun sayang belum terolah menjadi puisi nakal yang cerdas, terutama karena permainan metafornya yang masih belum pas. Di antara puisi-puisinya yang termuat dalam antologi ini saya mencatat ”Betapa Kami Merindukan Hujan”, ”Malam Minggu”, ”Penyair Dan Penyakit”, ”Di Perpustakaan” dan ”Pintu” merupakan puisi-puisinya yang lumayan berhasil. Saya kutipkan salah satu di antaranya:


Sejak jadi penyair ia selalu sakit gigi

Sakit hati dan sakit jemari. Sehingga pada suatu pagi

Ia memutuskan berhenti menulis puisi


Sejak berhenti nulis puisi ia masih selalu sakit gigi

Sakit jemari dan terutama sakit hati. Sejak berhenti menulis puisi

Mengaku diri sebagai penyair semakin menjadi-jadi


Di antara sahabat-sahabat lelakinya, Semmi nampaknya punya kedekatan khusus dengan Keanan Morie, seorang penyair asal Soreang. Penyair yang satu ini benar-benar bersosok seniman sejati dalam pengertian bertubuh tinggi, sedikit kurus dan jalannya agak sempoyongan. Sosok ini menjadi pas sekali dengan rambutnya yang gondrong berkibaran serta sorot matanya yang nanar kemerahan, plus celana dan jaket jeans yang sobek di sana-sini. Jika dulu Chairil Anwar berambut gondrong dan memakai jeans, mungkin akan mirip dengan penyair yang juga aktor ini. Keanan tidak mengenyam dunia kampus seperti rekan-rekannya, namun langsung belajar dari ayat-ayat Tuhan yang banyak bertebaran di jalanan. Mula-mula ia belajar dari jalan-jalan yang berlubang sekitar Soreang, sebuah kota kecil di Bandung bagian selatan. Kemudian ia pun berguru pada jalan-jalan yang mulus di pusat kota sampai kemudian bergabung dengan komunitas CCL di Ledeng. Di komunitas yang dibangun Iman Soleh di Bandung bagian utara ini Keanan belajar teater dan deklamasi, maka jadilah ia aktor dan deklamator. Ia biasa main untuk kelompok mana saja yang mengajaknya.


Puisi-puisi Keanan merupakan puisi yang lugas, kata atau kalimatnya ditembakkan langsung pada sasaran. Keanan tak banyak bermain-main atau merekayasa bahasa, apalagi dengan mengada-ada. Ungkapannya cenderung apa adanya, namun di sinilah potensi kepenyairan Keanan. ”Sajak Orang Gila”, ”Sesudah Ulat”, ”Isyarat” dan ”Selain Luka” adalah puisi-puisi yang kandungannya cukup berat namun diungkapkan secara sederhana. Pengalaman mengembara di jalanan pun diungkapkan dengan ringan, jernih dan menggugah. Sementara puisi-puisi lainnya yang mengambil bentuk haiku, yakni jenis puisi yang hanya terdiri dari beberapa suku kata, menurut saya merupakan karya yang berhasil. Keanan tampil sebagai pendekar yang paham ilmu pedang: tak banyak mengumbar ayunan, sabetan atau tusukan. Ia tidak membabi-buta seperti halnya tokoh penjahat dalam film kungfu, namun cukup dengan gerakan-gerakan kecil yang mematikan. Dengan kata lain, puisi-puisinya yang kelihatan minimal itu bisa mempunyai efek maksimal. Saya kutip salah satu haiku tersebut:


anggrek merambat

begitu juga bulan

di batang malam


Di kawasan Ledeng yang bertetangga dengan kampus UPI ada sebuah warung kopi. Warung kopi yang letaknya depan terminal angkot ini sangat bersahaja, namun karena sering dikunjungi seniman-seniman muda akhirnya cukup dikenal juga. Keanan, Semmi, Dian dan Mira kerap ngopi sambil diskusi di situ. Sekali waktu ada seorang pemuda berwajah santun dengan kemeja dan pantalon yang disetrika rapi memesan segelas STMJ di warung itu. Rambutnya yang tersisir ke pinggir nampak hitam dan mengkilat seperti sepatunya. ”Kamu calon guru ya?” tanya Keanan sambil lalu. ”Iya, saya calon guru tapi juga suka menulis puisi seperti Aa,” jawabnya sambil tersenyum. Itulah awal perkenalan Keanan dengan Rudi Ramdani, pemuda santun yang rambutnya selalu tersisir dan mengkilat itu. Jika dulu Amir Hamzah kuliah di UPI mungkin penampilannya tak akan jauh beda dengan Rudi ini, selalu rapi dan klimis. Rudi adalah mahasiswa UPI yang juga aktif di komunitas ASAS. Dalam menulis puisi Rudi mendapat bimbingan langsung dari Lukman A. Sya, sang sesepuh ASAS. Belum lama ini, setelah lulus kuliah, Rudi pulang ke kampungnya di Purwakarta dan membentuk komunitas sastra di sana.


Saya pertama mengenal puisi Rudi Ramdani ketika menjadi juri pada sebuah lomba penulisan. Saya terkesan oleh puisinya yang panjang namun sangat terjaga, lancar namun tidak kehilangan greget. Saya waktu itu berpikir pasti puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bersimbah keringat dan memakan waktu lama. Memang bukan hal yang mudah menjaga keutuhan dalam sebuah puisi panjang, penyair harus benar-benar pintar mengatur napas agar puisinya tidak kedodoran. Setelah lomba itu lama saya tak pernah menjumpai puisinya lagi.


Dalam antologi Sejarah Ikan ini Rudi Ramdani nampaknya hanya menampilkan puisi-puisi yang ditulis pada awal kepenyairannya sehingga reaksi saya pun sedikit berbeda dibanding ketika membaca puisinya pada saat lomba dulu. Puisi-puisinya yang termuat di sini rasanya datar-datar saja, tak ada hentakkan hebat yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Meskipun begitu saya menilai secara teknis puisi-puisi Rudi ini cukup lancar meskipun ada kesan ditulis penyairnya dengan gampang dan kurang banyak mengeluarkan keringat. Dengan demikian greget-nya pun menjadi kurang nampak pula.


Kelancaran Rudi dalam berpuisi mungkin sedikit mirip dengan kasus Bode yang juga gemar berpakaian rapi: bakatnya sama-sama kuat namun intensitas kepenyairannya yang belum dalam. Maka tak ada salahnya jika Rudi atau Bode sesekali mencoba berambut gondrong dan memakai anting, lalu dengan celana dan jaket jeans yang sobek berjalan sempoyongan di seputar Braga. Meski tidak ada hubungan langsung dengan proses penulisan puisi, namun menurut saya hal ini sangat bagus untuk melatih intensitas.


Oke, saya kutipkan salah satu puisi pendek dari penyair yang santun ini: katakan apalagi selain udara/yang paham suara//angin yang mana/hendak lelah melewati celah//akuilah, tak ada/rindu paling siasat//selain menerka riwayat/kita yang tuhan


Demikianlah, enam penyair muda dari berbagai komunitas di Jawa Barat ini telah hadir bersama karya-karyanya di hadapan kita. Selamat membaca dan berapresiasi.

(2007)

Prev Next Next