MENJADI
SISIFUS
Acep Zamzam Noor
KETIKA mendapat kiriman ratusan puisi dari 15
penyair Jawa Barat yang terpilih untuk
mengikuti perhelatan sastra di Cibutak, Kabupaten Bandung, sungguh saya merasa
gembira sekaligus takjub membacanya. Gembira, karena puisi masih terus ditulis
dan tumbuh subur di provinsi yang keindahan serta kekayaan alamnya digasak tanpa kenal ampun demi penambangan,
padahal jelas-jelas merusak lingkungan. Takjub, karena puisi-puisi yang ditulis
15 penyair terpilih dari provinsi yang gubernur, bupati, walikota maupun
anggota dewannya banyak terlibat korupsi ini sungguh melegakan. Selain tidak
mengkorup bakatnya dalam berpuisi,
masing-masing penyair juga menunjukkan pencapaian yang berarti meski
dengan kadar yang berbeda-beda. Tentu saja pencapaian tersebut merupakan hasil
dari pergulatan mereka dengan bahasa secara terus-menerus bahkan habis-habisan.
Konon bahasa merupakan
musuh utama para penyair, maka siapapun yang ingin serius menulis puisi harus
berusaha sekuat tenaga untuk bisa menaklukan serta menguasainya. Bukan
sebaliknya malah ditaklukan, dikuasai atau dijajah bahasa. “Kalau perlu anggap
saja bahasa itu sebagai Belanda, dan kita sama-sama melawannya untuk kemerdekaan,”
kata salah seorang guru saya waktu di pesantren dulu. Saya lupa nama guru yang
pertama kali memperkenalkan syair Abu Nuwas pada saya tersebut, yang jelas
orangnya lucu, galak dan berjenggot.
Dari ratusan puisi yang
saya baca berulang-ulang sejak satu bulan lalu muncul sebuah kesan yang kuat:
15 penyair dari provinsi yang setiap ruas jalannya dipenuhi spanduk maupun
baligo politik yang bikin mual ini sudah paham apa yang ingin diungkapkan dan
bagaimana cara mengungkapkannya. Dengan kata lain mereka yang berasal dari
provinsi yang klub-klub sepakbolanya sulit berprestasi ini sudah menunjukkan
kesungguhan serta keseriusannya dalam menggauli serta menghidupi puisi, paling
tidak sampai hari ini.
Tadinya saya sempat
ragu ketika Ahmad Faisal Imron dari Cibutak Foundation meminta saya mengulas
puisi karya para penyair ini, terutama karena begitu banyaknya nama yang
terlibat. Saya ragu bagaimana harus mengulas karya mereka satu persatu hanya
dalam beberapa lembar polio saja. Selain itu saya merasa belum punya senjata,
perkakas, alat atau teori yang canggih dan pas untuk mengapresiasi puisi yang
baik tema, bentuk dan kecenderungannya
berbeda satu sama lain. Untung saja belakangan ini saya sedang suntuk-suntuknya
melukis, yang merupakan hobi saya yang lain selain menulis puisi. Sebagai
pelukis yang tergolong modernis (belum kontemporer) saya masih bekerja dengan
lebih banyak mengandalkan intuisi ketimbang teknologi.
Saya membuat kanvas
sendiri dari kain katun yang saya cari sendiri di Gang Tamim atau Cigondewah,
lalu memasangnya sendiri pada spanram yang kayunya saya pesan sendiri dari
Garut atau Ciamis. Kadang kanvas yang sudah terpasang saya copot lagi karena
merasa kurang simetris, lalu saya pasang lagi dan copot lagi, pasang lagi dan
copot lagi. Sebelum melukis dimulai saya sudah merasa menjadi Sisifus yang
harus mengangkat batu ke atas bukit kemudian menggelindingkannya kembali ke
dasar jurang. Selain seluruh tubuh saya terasa pegal dan ngilu karena semua
otot terbetot, jemari saya pun luka-luka karena bergesekan dengan kayu yang
keras dan runcing.
“Memasang kanvas,
apalagi yang ukuran besar, merupakan kutukan bagi pelukis modernis,” kata saya
sambil meraba-raba sudut kanvas, merasakan gerak tekstur serta denyut
serat-serat benangnya. Lalu dengan penuh perasaan saya ketuk-ketuk permukaannya
yang putih dengan ujung telunjuk, jika kanvas tersebut masih belum kencang
biasanya saya copot lagi, dan sebaliknya kalau terlalu kekencangan hingga
posisi kayunya melenceng atau bengkok saya copot juga untuk kemudian dipasang lagi.
Begitulah berulang-ulang.
Sungguh saya merasa
menjadi Sisifus meskipun selalu berusaha untuk menikmatinya dengan tulus. Saya
berusaha menghayati setiap keringat yang mengucur dari tubuh, mensyukuri setiap
darah yang menetes dari jemari. Kadang saya sengaja meludah atau mengoleskan
ingus pada permukaan kanvas kemudian digosok-gosok dengan telapak tangan agar
merata. Dengan meludah atau mengoleskan ingus saya berharap jiwa saya akan
menyatu dengan kanvas tersebut, paling tidak akan ada komunikasi rahasia di
antara kami berdua.
Maka dengan semangat menjadi Sisifus seperti
itu pula saya berusaha menikmati puisi demi puisi dari 15 penyair Jawa Barat
ini. Tidak semua puisi menyenangkan untuk dibaca, begitu juga tidak semua puisi
yang enak dibaca akan memberikan kesan yang dalam sesudahnya. Ada puisi yang
begitu saja menampakkan keindahannya pada kita, tapi banyak puisi yang
keindahannya muncul setelah kita gali dan selami berulang-ulang, setelah kita
sebagai pembaca dipaksa mengangkat batu ke atas bukit kemudian
menggelindingkannya kembali ke dasar jurang. Saya kira seorang penikmat puisi
perlu juga mempunyai mental seperti Sisifus ini.
***
Dari
15 penyair ini beberapa di antaranya sudah saya kenal cukup lama, terutama Bode
Riswandi, Semmi Ikra Anggara, Dian Hartati dan Fina Sato. Bode dan Semmi
sama-sama sekolah di Tasikmalaya, juga pernah aktif di sanggar sastra yang
sama. Bode memilih meneruskan kuliah di kota kelahirannya, sedang Semmi
mengembara ke Malang dan Bandung. Sementara Dian dan Fina sudah sejak awal
hidup bersama, bukan hanya karena kuliah di kampus serta jurusan yang sama,
namun mereka berdua kebetulan mempunyai kegemaran yang sama pula. Sama-sama
menyukai sastra dan kuliner.
Setahu
saya keempat penyair ini berkawan cukup dekat. Dian dan Fina selain menjadi
aktivis sastra di kampusnya juga membentuk komunitas membaca dan menulis di
luar kampus. Begitu juga Bode dan Semmi mempunyai komunitas sastra dan teater
di lingkungannya masing-masing. Meski berlainan kota mereka berempat selalu
berkomunikasi dan saling kunjung mengunjungi. Bode sering mengunjungi
Dian, Fina dan Semmi di Ledeng atau
Buahbatu, sebaliknya Dian, Fina dan Semmi pun tak jarang menjambangi Bode di
Tasikmalaya. Kegiatan kunjung mengunjungi ini selain erat hubungannya dengan
proses kreatif mereka sebagai penyair masa kini, tentu ada kaitan pula dengan
masalah kuliner yang mereka sukai. Sesekali mereka berempat mampir ke rumah
saya untuk minum kopi.
Baiquni
M. Haririe, Faisal Syahreza, Toni Lesmana, Predewi Tri Chatami dan Sinta Ridwan
baru beberapa tahun terakhir puisi-puisinya saya nikmati, baik lewat media
masa, antologi puisi maupun facebook. Saya mengenal Baiquni lebih karena kami
sama-sama warga NU, banyak kegiatan sosial dan budaya di seputar pesantren yang
kemudian mempertemukan kami. Dan sebagai sesama NU kultural selalu ada hubungan
batin yang sifatnya khos atau khusus,
yang tak bisa diceritakan pada orang kebanyakan, apalagi yang sudah terlanjur tidak mempercayai adanya
khadam atau makhluk halus.
Faisal Syahreza awalnya
saya kenal lewat sejumlah lomba penulisan puisi yang rajin diikuti serta kerap
dimenanginya, setelah itu kami sempat bertemu di Bandung, Cianjur dan
Kualalumpur, terakhir bertemu sewaktu meluncurkan kumpulan puisinya di
Tasikmalaya. Sementara Toni Lesmana sudah cukup lama saya kenal sebagai penyair
dan cerpenis Sunda yang menonjol. Baru dua atau tiga tahun terakhir penyair yang menetap di Ciamis
ini banyak mengumumkan puisi maupun cerpennya dalam bahasa Indonesia, yang
ternyata mempunyai kekuatan yang seimbang dengan karya-karyanya dalam bahasa
Sunda. Dalam waktu singkat puisi dan cerpennya menembus media-media bergengsi
di Jakarta, melampaui teman-teman seangkatannya yang sudah lebih dulu menulis
dalam bahasa Indonesia.
Pradewi Tri Chatami
pertama kali saya lihat di sebuah gereja protestan di Bandung, beberapa tahun
lalu. Setelah itu kami sering kebetulan bertemu pada diskusi atau seminar yang
berlangsung baik di gereja tersebut, maupun di UIN, Unpad, GIM atau CCL. Namun
saya baru berkesempatan membaca puisi-puisinya dengan leluasa setelah banyak
dimuat Pikiran Rakyat dan Jurnal Sajak. Pradewi tubuhnya mungil
namun kacamatanya tebal dan rambutnya ikal. Di samping menulis puisi dan
cerpen, dia juga banyak menerjemahkan novel-novel dari Amerika Latin.
Perkenalan saya dengan
Sinta Ridwan cukup unik, namun sulit untuk menceritakannya secara gamblang di
sini. Yang jelas saya mengenal dunia internet karena dialah yang pertama kali
membuatkan facebook untuk saya. Dari situ saya banyak membaca catatan hariannya
yang menggugah, dan kini catatan harian tersebut telah terbit sebagai memoar
yang laris. Sementara puisi-puisinya sendiri baru saya nikmati setelah terbit
menjadi buku. Sinta asli orang Cirebon, oleh karena itu saya menduga
jangan-jangan dia juga NU seperti Baiquni.
Tia
Setiadi, Bunyamin Fasya, Anis Sayidah, Galah Denawa, Kemas Ferri Rahman dan
Adew Habtsa adalah penyair yang juga terlibat dalam perhelatan sastra di
Cibutak ini. Tia Setiadi sudah lama saya dengar namanya meskipun belum pernah
bertemu, konon dia seorang penulis kritik sastra yang handal di samping
penerjemah buku-buku asing yang tekun. Baru tahun lalu saya membaca
puisi-puisinya yang cukup berselera, terutama yang dimuat di Pikiran Rakyat, Kompas, Koran Tempo dan Rumah
Lebah. Baru tahun lalu pula saya mendapat konfirmasi penting dari Bode
Riswandi bahwa Tia Setiadi ini seorang pria, bukan wanita seperti yang saya
duga sebelumnya. Tia asli dari Subang seperti halnya Fina Sato, namun lebih
banyak beraktivitas di Yogyakarta.
Bunyamin
Fasya orang Singaparna, dengan begitu rumahnya masih bertetangga dengan saya.
Namun saya pertama mengenalnya sebagai mahasiswa UIN yang aktif berkesenian di
Bandung. Aneh juga, meskipun sudah lama berteman baru dua tahun lalu saya
melihat puisi-puisinya muncul di media massa. Sebenarnya dia sudah cukup lama
menulis meski baru belakangan menunjukkan keseriusan serta totalitasnya sebagai
penyair, terutama setelah namanya saya sarankan untuk diganti. Nama sebelumnya
Beni F. Syarifuddin, yang biasa dipanggil Empud kalau sedang berada di
kampung.
Anis
Sayidah belum lama saya dengar namanya dan baru tahun lalu sempat bertemu muka
meski tanpa sempat bicara. Puisi-puisinya banyak saya temukan di facebook, dan belakang saya temukan juga pada antologi
yang terbit di Ternate. Anis merupakan salah satu potensi tersembunyi bagi
kepenyairan Jawa Barat ke depan, saya kira. Dia tak banyak beredar atau
terlibat secara fisik dalam riuh rendah pergaulan sastra di Bandung, namun
puisi-puisinya seperti memberikan isyarat yang kuat bahwa sebuah proses
kepenyairan sedang dijalaninya dengan gembira.
Galah
Denawa, Adew Habtsa dan Kemas Ferri Rachman merupakan nama-nama yang belum lama
saya dengar. Khusus dengan Galah saya pernah bertemu, bahkan dengan gayanya
yang lincah ia sempat mampir ke rumah saya. Namun dengan Adew dan Kemas saya
lupa apakah pernah bertemu atau belum. Tapi soal pernah bertemu atau belum itu
tidak penting, yang jauh lebih penting adalah kehadiran tiga anak muda ini
ditambah 12 nama yang sudah saya singgung di muka akan ikut menentukan posisi
Jawa Barat dalam peta kepenyairan nasional, yang selama ini sering dianggap
berada di bawah provinsi lain yang secara berkesinambungan terus menghadirkan
penyair demi penyair.
***
Membaca
seluruh karya para penyair terpilih ini, yang masing-masing diwakili dengan 15
puisi terbaiknya, seperti yang dikemukakan di awal sungguh saya merasa gembira
dan takjub. Saya membaca puisi-puisi mutakhir dari Dian Hartati, Fina Sato dan
Bode Riswandi rasanya jauh lebih enak dibanding sebelumnya. Ketiga penyair ini
menekuni puisi lirik sejak lama, di mana keketatan pada pilihan kata,
kekentalan pada ungkapan serta ketelatenan memilih simbol dan metafor menjadi
perhatian utama. Konsentrasi pada tiga hal yang menjadi unsur penting dalam
puisi tersebut kadang membawa ungkapan mereka pada kekakuan dan ketegangan,
yang pada momen tertentu bisa mengarah pada kesamaran serta kegelapan.
Tapi ketiga penyair ini
orangnya cukup serius, dengan setia mereka terus berproses hingga dari waktu ke
waktu terjadi perkembangan yang berarti, yang membuat puisi mereka lebih enak
dibaca dan dinikmati. Meskipun begitu wujud puisi mereka tetap ketat, tetap
kental, tetap imajis meski terasa lebih mengalir. Ada unsur kesantaian dan
kegembiraan yang muncul di situ, terutama pada puisi-puisi Dian Hartati yang
bercerita tentang benda-benda sederhana seperti pisau atau pita kaset. Atau
puisi-puisi Bode Riswandi yang bertolak dari catatan harian, di mana ia banyak
menyebut jenis-jenis makanan ringan.
Pada sisi lain Bode pun
melakukan pergerakan yang berbeda. Sebagian puisi mutakhirnya banyak berisi
cerita tentang nama-nama serta tempat-tempat asing yang pernah dikunjungi, atau mungkin hanya ditemuinya pada novel atau
film. Pada puisi-puisi tersebut nampak keterampilan serta kelincahan penyair
yang juga cerpenis ini merangkai sebuah cerita rekaan tentang keterasingan
manusia dalam wujud puisi lirik.
Sementara Fina Sato
tetap mempertahankan bentuk puisinya dengan struktur yang kokoh, dengan
kalimat-kalimat yang rapat namun melebar, di mana ia memandang dunia beserta
segala fenomenanya sebagai sebuah keluasan tanpa batas. Saya merasa deskripsi
atau penggambaran tentang alam yang ditulis Fina dalam puisi-puisinya terasa
lebih transparan dibanding sebelumnya. Jika diibaratkan mungkin puisi-puisinya
tersebut seperti gedung-gedung kaca yang angkuh menjulang namun tembus pandang.
Berikutnya
saya ingin menyandingkan Toni Lesmana, Syahreza Faisal, Tia Setiadi dan
Bunyamin Fasya. Saya merasa ada kemiripan dari keempat penyair potensial Jawa
Barat ini, meskipun dari segi tema, bentuk, ungkapan maupun selera berbeda satu
sama lain. Lewat puisi-puisinya yang panjang Toni bagaikan pengembara yang
terasing dalam pengembaraannya sendiri, ia mencari semata untuk mencari, bukan
untuk menemukan. Sementara Syahreza bagaikan seorang kiai kampung yang
mensyukuri segala sesuatu sebagai anugerah. Ia mensyukuri hujan, mensyukuri
kabut, mensyukuri pergantian siang dan malam, mensyukuri apapun yang tumbuh di
kebun dan pekarangan rumahnya. Dengan segala kesederhanaan ia juga mensyukuri
suraunya yang sunyi.
Saya membayangkan Tia
Setiadi seorang pelukis impresionis yang berkacamata tebal, duduk di pinggir
kolam renang yang dikelilingi rumpun bunga dan pohon-pohon cemara. Sambil
mengamati gadis-gadis yang sedang berenang, sesekali ia menangkap
kilatan-kilatan cahaya di antara daun dan ranting, di antara kabut dan gerimis,
lalu melukiskannya dengan garis-garis gemetar, dengan warna-warna yang lahir
dari campuran biru, kuning, merah dan hijau hingga melahirkan warna-warna baru
tanpa nama. Dari segi bentuk mungkin puisi-puisinya seperti bidang-bidang
kanvas ukuran sedang dengan penggambaran obyek yang penuh.
Saya melihat Bunyamin
Fasya juga seperti pelukis, namun bukan pelukis impresionis. Ia cenderung naturalis yang biasa merekam pemandangan
dengan rinci, tentu saja sebagai naturalis sejati ia sangat peka pada irama,
juga setia pada bentuk asal dari setiap obyeknya. Meskipun begitu lukisannya
bukanlah potret digital yang asal jadi, warna-warna yang terapkannya merupakan
warna yang diramu dari lubuk hati serta perasaannya sendiri, sehingga
memunculkan realitas baru. Misalnya gunung ia gambarkan dengan kuning cadmium,
sawah dengan merah amber, pematang dengan biru dongker, langit dengan hijau
toska, kerbau dengan ungu janda, kambing dengan putih uban dan seterusnya.
Lalu apa persamaan
keempat penyair ini? Saya kira dalam hal mengolah, merasakan dan memberi tenaga pada kata-kata.
Keempatnya telah bekerja keras mengolah bahasa dengan khusyuk, dengan
benar-benar merasakan getar pada setiap kata sehingga saling mengikat satu sama
lain dalam keutuhan. Kekhusyukan tersebut ada yang mengarah pada diam seperti
nampak pada puisi Syahreza dan Bunyamin, ada juga yang bergelora seperti puisi
Toni dan Tia.
Semmi Ikra Anggara
sejak awal mempunyai selera yang berbeda dibanding teman-teman seangkatannya.
Ia gemar dengan ungkapan yang apa adanya, baik dalam mengkritik maupun
berkelakar tentang keadaan. Dengan demikian ia tidak banyak mereka-reka frasa,
tidak sibuk memilih-milih metafor. Ia lebih suka memungut langsung apa yang
ditemukannya dari sudut jalanan, apa yang didengarnya dari pojok kehidupan.
Puisi jenis ini bukanlah puisi yang mudah karena harus menghadirkan pesona
bukan dari unsur-unsur yang baku seperti diksi, irama, simbol, majas dan
seterusnya. Penyair harus menemukan ide terlebih dahulu, baru unsur-unsur yang
baku tadi akan mengikuti, meskipun itu juga tidak terlalu penting. Lewat
puisi-puisi mutakhirnya Semmi berhasil menggelitik pembaca meski tanpa ada niat
untuk melucu. Di sini antara ide dan keterampilan bertautan secara wajar, puisi
yang berjudul “Beternak Penyair” merupakan salah satu contohnya:
Dapatlah Pak Acep bibit penyair
Yang didapatkannya dari koperasi desa
Para tetangganya sempat bertanya-tanya
Kenapa Pak Acep lebih memilih bibit penyair
Dibanding bibit ikan mas, bibit palawija atau itik
Biarlah, supaya desa kita lebih indah dalam kata
Kata Pak Acep.
Sepuluh bulan Pak Acep beternak penyair
Mereka sudah pandai memilin kata memotong frasa
Jadi puisi-puisi bermacam mazhab. Namun sebelum
Penyair itu benar matang. Mereka jadi lebih
Pandai membusungkan dada daripada mencipta bahasa
Sebagian dari mereka, malah ingin jadi peternak seperti
Pak Acep.
Seekor penyair datang pada koperasi desa
Dan meminta bibit ikan mas untuk dikembangkan
Tapi dia hanya kebagian bibit bunglon, tak apalah katanya
Bunglon juga menarik, terutama karena pandai berubah warna
Delapan ekor penyair lain kini bersama menanam padi
Meski tak tahu bagaimana caranya membunuh hama
Ketika ribuan tikus menyerang sawah, mereka tak mampu
Menghalaunya. Dan memutuskan untuk jadi tikus juga.
Kini di rumah pak Acep hanya tersisa seekor penyair
Penyair yang bodohnya minta ampun: tak bisa membedakan
Mana kata mana frasa; mana puisi mana prosa.
Biarlah, untuk jadi penyair beneran memang butuh kesabaran
Dan alhamdulillah bakal penyair ini masih suka membaca
Dan tak pernah membusungkan dada.
Sejalan dengan Semmi
adalah Baiquni M. Haririe yang sama-sama menyukai ungkapan langsung dan lugas,
hanya bedanya Baiquni cenderung serius karena gemar menggarap tema-tema besar
seperti masalah sosial, politik dan agama. Seperti halnya yang terjadi pada
Semmi, puisi-puisi mutakhirnya juga mengalami banyak perkembangan dibanding
empat atau lima tahun lalu. Baiquni semakin lancar dan terampil, ungkapannya
terasa lentur dan mengalir, pilihan katanya pun enak meski tetap menggunakan
bahasa yang sederhana. Dengan demikian telah terjadi juga pertautan antara ide
dan keterampilan, antara apa yang ingin diungkapkan dengan cara mengungkapkannya.
Di antara Semmi dan
Baiquni, saya tiba-tiba melihat Sinta Ridwan yang ungkapan-ungkapan puisinya
juga lugas dan apa adanya. Uniknya penyair sekaligus filolog muda ini banyak
mengangkat sejarah dan mitologi, baik yang digalinya dari naskah kuno di perpustakaan
maupun dari hasil penelusurannya ke berbagai situs dan artefak. Sinta banyak
melakukan perjalanan serta ziarah ke sudut-sudut Nusantara, bahkan ke
pojok-pojok Asia Tenggara. Selain melakukan penelitian untuk karya-karya
ilmiahnya tentu saja dalam rangka menyerap ide bagi puisi-puisinya. Tema yang
digarap Sinta mungkin termasuk langka, tak banyak orang melakukannya. Saya
percaya Sinta mempunyai kapasitas untuk terus mendalami tema langka tersebut.
Sekarang saya ingin
menemui Galah Denawa, Adew Habtsa dan Kemas Ferri Rachman. Membaca puisi karya
ketiga pendekar gondrong yang konon matanya selalu menyala ini saya seperti
membaca semangat dan potensi yang siap meledak. Semangat dan potensi ketiganya
sangatlah besar, begitu juga tantangan yang harus dihadapinya. Tantangan yang
saya maksud erat kaitannya dengan
mentalitas serta integritasnya sebagai penyair. Jika saja mereka bisa
memelihara mentalitas serta integritas kepenyairannya dengan baik, kemudian
menjalani tahapan proses dengan wajar dan sabar, saya membayangkan sekali waktu
puisi-puisi mereka akan berbicara banyak. Sekali waktu nama mereka akan menjadi
penting.
Terakhir, penyair yang
akan saya kencani adalah Pradewi Tri Chatami dan Anis Sayidah. Puisi-puisi
Pradewi unik karena berangkat dari sesuatu yang intim. Ia bercerita tentang
ibu, tentang anak, tentang kelahiran, juga tentang bagian-bagian penting dari
tubuhnya sendiri. Kadang puisinya terasa sensual, kadang pula sangat
eksistensial. Hal lain yang menarik perhatian saya adalah caranya menyusun
frasa, terutama dalam hal memenggal dan mengakhiri kalimat. Beberapa puisinya
seperti berangkat dari catatan harian di mana ia bebas meracau sekenanya, dan
rupanya cara ini menimbulkan efek puitik tersendiri. Memang puisi-puisinya
belum stabil semua, ada yang benar-benar utuh namun banyak juga yang masih
mengambang. Meskipun begitu sesuatu yang menggembirakan menyelinap dari setiap
puisi yang jumlahnya konon belum banyak itu.
Anis Sayidah berhasil
memadukan kesederhanaan dengan kesegaran. Ia senang melukiskan hal-hal yang
biasa, misalnya tentang perabot rumah tangga, tentang tumbuh-tumbuhan di
pekarangan, tentang bumbu dan masakan, juga tentang dapur, kamar tidur serta
ruang tamu. Yang menarik adalah bagaimana semua itu dituturkan dengan lancar,
lincah serta diselingi kejutan kecil di sana-sini. Bahasa yang digunakannya
bersih, diksi-diksinya terkontrol rapih namun tidak menjadi tegang atau kaku,
frasa-frasanya memantulkan irama, dengan sendirinya sesuatu yang segar muncul
di situ. Sesuatu yang santai namun serius memancar di situ. Saya berharap Anis
Sayidah akan terus menulis puisi meskipun sudah menikah nanti.
***
Demikianlah
pembacaan selintas saya terhadap 15 penyair Jawa Barat beserta karya-karyanya.
Sekarang saya akan menjadi Sisifus lagi, akan mengangkat batu ke atas bukit
kemudian menggelindingkannya kembali. Saya akan memikirkan lagi pasir besi
sepanjang pesisir selatan Jawa Barat yang terus digasak tanpa henti, tentu saja
sambil sesekali mengutuki baligo-baligo politisi yang mengepung habis provinsi
ini. []