KOMUNITAS
SASTRA
Acep Zamzam Noor
AKHIR dekade 1980-an banyak muncul
komunitas-komunitas sastra di daerah. Gejala ini menandai bahwa kegiatan sastra
tidak lagi terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Munculnya komunitas-komunitas
sastra di daerah ini selain ditandai dengan aktivitas menulis, membaca puisi
dan diskusi dari para pendukungnya, juga diikuti dengan penerbitan (buletin
maupun kumpulan puisi) yang diusahakan sendiri. Buletin-buletin sastra, baik
yang berupa fotokopi maupun cetakan,
terbit di Lampung, Jambi, Palembang, Padang, Pekanbaru, Denpasar,
Makassar, Banjarmasin di samping kota-kota kecil di Pulau Jawa. Majalah sastra Horison yang sampai dekade 1980-an
masih merupakan barometer perkembangan kesusastraan Indonesia, menjadi hanya
salah satu (bukan satu-satunya) media sastra yang menjadi orientasi para
penulis muda. Jurnal Citra Yogya dari Yogyakarta, Cak dari Denpasar, Kolong Budaya dari Magelang, Menyimak
dari Riau, Lingkar dari Serang atau Puitika dari Tasikmalaya misalnya, meski
bentuknya sangat sederhana namun cukup “berwibawa” hingga banyak penyair dari
daerah lain yang merasa bangga jika puisinya dimuat di sana.
Bukan hanya buletin atau jurnal, kumpulan
puisi pun banyak diterbitkan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah. Dari
Lampung muncul sejumlah kumpulan puisi, begitu juga dari Palembang, Padang,
Malang dan Denpasar. Peta kepenyairan nasional pun tak hanya diisi oleh
nama-nama dari Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, namun juga dari Ngawi, Malang,
Gresik, Cirebon, Tasikmalaya, Magelang, Sumenep, Makassar maupun Denpasar.
Perkembangan seperti ini jelas menggembirakan karena wilayah kesusastraan yang
selama ini hanya berada di kota-kota besar yang ada fakultas sastranya, menjadi
melebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tak terbayangkan. Fakultas sastra pun
ternyata bukanlah ukuran marak tidaknya kesusastraan di suatu daerah.
Tidak seperti teater yang sifatnya komunal,
aktivitas kesusastraan sebenarnya lebih individual. Seorang penyair atau
cerpenis dalam berkaryanya tidak tergantung pada kelompok atau komunitas.
Seorang penyair bisa saja menulis puisi sendirian di kamar lalu dikirimkan ke
koran atau majalah. Namun kepenyairan tidaklah sesederhana itu, kepenyairan
bukan sekedar menuliskan pikiran dan perasaan saja. Bukan sekedar “curhat”
saja. Kepenyairan juga harus bersentuhan dengan lingkungan kehidupan yang lebih
luas. Banyak sekali penyair-penyair berbakat dari berbagai daerah yang
tenggelam begitu saja karena tanpa dukungan infrastruktur di sekelilingnya. Infrastruktur di sini bukan
dalam pengertian sarana, fasilitas atau bantuan pemerintah, namun sebuah
lingkungan pergaulan yang menopang kreativitas. Juga persaingan antar penyair
yang sehat. Atmosfir semacam ini hanya akan mungkin muncul dalam sebuah
komunitas yang juga sehat.
Bergugurannya penyair-penyair muda berbakat
tak sedikit yang disebabkan oleh tidak adanya komunikasi antar sesama penyair,
atau tidak adanya komunitas yang menjadi kanal bagi kreativitas mereka. Tak
jarang seorang penyair muda terpikat pada bidang lain dan melupakan
kesusastraan hanya karena tak ada teman yang mau membaca karya-karyanya, hanya
karena tak ada teman untuk berdiskusi, hanya karena tak ada orang yang memperhatikan
kreativitasnya atau yang mendorong semangatnya untuk terus berkarya. Tak jarang
juga seorang penyair berhenti berkarya karena alasan ekonomi, memilih jadi
sopir angkot atau jadi mubalig misalnya.
Di sinilah pentingnya sebuah komunitas bagi para penyair. Pentingnya
sebuah iklim yang memungkinkan terjadinya pergesekan kreativitas. Menjadi guru,
penyiar radio, sales, wartawan, pedagang kakilima, ibu rumah tangga atau istri
kesekian bupati sebenarnya tak menghalangi kerja kepenyairan. Bahkan puisi
masih mungkin ditulis dengan intensitas tinggi sambil kita menjalani profesi
sebagai dukun, lurah, ulama, penyanyi dangdut, ajudan gubernur atau pelacur
sekalipun.
Pengertian komunitas agak berbeda dengan
kelompok, sanggar atau grup yang hanya terdiri dari para anggota. Komunitas
lebih luas dari sekedar kelompok, sanggar atau grup, di mana di dalamnya bukan
hanya para anggota namun juga publik, simfatisan atau yang merasa
berkepentingan dengan kesusastraan seperti siswa, mahasiswa, guru atau
dosen. Karya-karya yang dihasilkan para
penyair pun ada peminatnya, ada penikmatnya, juga ada publik yang
memperhatikannya. Seorang penyair yang mulai melemah semangatnya atau goyah
“iman” kepenyairannya bisa bangkit lagi karena dorongan teman-teman, simfatisan
atau publik. Atau karena tersulut oleh persaingan yang sehat di dalam komunitas
tersebut.
***
Jawa Barat mempunyai posisi yang unik dalam
peta kepenyairan nasional. Mungkin karena dekat dengan pusat (Jakarta dan
Bandung), komunitas-komunitas sastra di wilayah ini agak terlambat munculnya
dibanding Sumatera atau Bali. Penyair-penyair dari Depok, Bekasi, Bogor atau
Tangerang nampaknya sangat berorientasi ke Jakarta hingga mempunyai imej
sebagai penyair ibukota. Begitu juga daerah-daerah di sekitar Bandung, hampir
semuanya berkiblat ke Bandung. Baru pada dekade 1990-an muncul
komunitas-komunitas sastra yang menunjukkan aktivitasnya di Tasikmalaya,
Cirebon, Majalengka, Kuningan, Ciamis, Sukabumi dan Cianjur. Meski begitu,
komunitas-komunitas teater sebenarnya sudah lebih dulu hadir. Dari
komunitas-komunitas teater inilah muncul peminat-peminat baca puisi atau
deklamator. Tahun 1980-an kebetulan saya banyak diminta menjadi juri lomba baca
puisi di Bandung, saat itu banyak sekali para peserta dari Garut, Ciamis dan
Kuningan yang umumnya bagus-bagus teknik baca puisinya. Mereka bukan berasal
dari komuinitas sastra, melainkan dari komunitas teater.
Awal 1990-an, ketika Godi Suwarna pindah ke
Ciamis para peminat sastra di Tatar Galuh itu mulai terbentuk, terutama peminat
baca puisi. Sebelumnya para peminat sastra banyak tergabung dengan
kelompok-kelompok teater seperti Teater A-I-U, Teater Awal, Teater Korsi,
Teater Jagat dan beberapa lagi yang sudah hadir sejak 1980-an. Para peminat sastra
ini, baik dalam menulis maupun membaca, akhirnya melebur dalam komunitas KGB
(Keluarga Galuh Budaya) yang mempunyai minat lebih luas pada kebudayaan,
termasuk di dalamnya kesenian tradisi.
Di Tasikmalaya juga sama, komunitas teater
muncul lebih dulu (akhir 1970-an) lewat Teater Epos dan Sanggar Prasasti,
kemudian disusul Teater Ambang Wuruk dan Teater Dongkrak pada awal 1990-an.
Dari komunitas teater ini banyak muncul peminat sastra, hingga salah satu
agenda kegiatan mereka adalah mengadakan lomba baca puisi setiap tahunnya.
Komunitas sastra muncul ditandai dengan berdirinya SST (Sanggar Sastra Tasik)
pada tahun 1996, meski prosesnya sudah mulai sejak dua tahun sebelumnya. Antara
teater dan sastra hubungannya memang erat, hampir setiap aktor teater sekaligus
juga deklamator. Tak heran jika kehidupan kesusastraan di daerah pada awalnya
banyak digerakkan oleh aktivis teater.
Di Garut komunitas teater sudah cukup lama eksis. Para sutradara, aktor,
pembaca puisi handal pun banyak bermunculan dari daerah ini. Kelompok-kelompok
teater di Garut ini kebanyakan terkait dengan sekolah atau kampus hingga
kelompok-kelompok ini bisa berumur panjang dan mempunyai pendukung yang jelas.
Kita mengenal Teater Limanov, Teater Lentera, Teater Awal dan beberapa lagi.
Hal ini diperkokoh lagi dengan munculnya Himpunan Seni Drama Garut (Hisdraga)
yang memayungi kelompok-kelompok teater tersebut. Dadeng Supraji dan Saeful
Anwar adalah dua penggerak teater dari Garut yang cukup militan.
Agak berbeda dengan Tasikmalaya yang banyak melahirkan penyair, Garut
lebih dicatat karena para aktor dan deklamatornya yang selalu merajai berbagai
lomba baca puisi di berbagai daerah,
termasuk Bandung dan Jakarta. Hal ini bisa terjadi karena minat baca puisi (khususnya
untuk lomba) sangat tinggi, selain secara berkesinambungan ada pembinaan yang
serius dari para guru kesenian maupun aktivis teater. Lomba baca puisi baik
tingkat sekolah, kecamatan maupun kabupaten pun dilakukan secara berkala di
kota dodol ini.
Setiap SST mengadakan lomba baca puisi,
peserta-peserta dari Garut selalu menempati rangking terbanyak. Baik untuk
tingkat SLTP, SLTA, mahasiswa maupun umum. Dan mereka selalu mendominasi babak
final dan bahkan menjadi juara. Para peserta yang tak masuk final selalu
menjadi “bobotoh” bagi teman-temannya, hingga suasana lomba menjadi hangat dan
semarak. Para pembaca puisi handal dari Garut seperti tak habis-habisnya,
setelah generasi yang berjaya di akhir 1990-an menghilang, kini muncul lagi
deklamator-deklamator muda yang berbakat. Uniknya, dukungan untuk mereka bukan
hanya datang dari pelatih teater, guru
kesenian atau pihak sekolah, namun juga dari orangtua mereka yang pada masa
mudanya meminati seni baca puisi juga. Para orangtua ini senang jika anaknya
menjadi juara.
Meski Garut lebih menonjol dengan para
aktor dan deklamatornya, bukan berarti di kota dodol ini tak ada penyair.
Beberapa nama muncul secara sporadis dan menunjukkan keseriusan, meski akhirnya
meninggalkan Garut. Beberapa tahun belakang ini kebetulan saya banyak mengamati
kemunculan para penyair muda di Jawa Barat, dan beberapa nama yang menonjol
muncul dari Garut. Ada Darda Surya Pertama dan S. Dimarulloh, keduanya dari
Sadang, Wanaraja, merupakan penyair santri yang berbakat. Ada juga Ratna Ayu
Budhiarti dari Cibatu, penyair berkulit mulus ini tinggal dan kuliah di
Tasikmalaya serta menulis dalam atmosfir SST. Begitu juga Dimar dan Darda,
mereka menulis dan bergesekan dengan komunitas sastra di daerah lain, seperti
dengan Komunitas Malaikat dan SST. Dalam perhelatan Muktamar Penyair Jawa Barat
2003, Dimar, Darda dan Ayu diundang mewakili Garut. Ada juga Darpan
Ariawinangun, sastrawan Sunda asal Karawang yang menikahi gadis Tarogong.
Tentu saja para penyair Garut mutakhir
tidak berhenti hanya pada nama-nama itu, masih ada nama lain yang diam-diam
menulis puisi. Beberapa tahun yang lalu saya pernah dihubungi teman-teman
penyair yang mau membentuk komunitas sastra di Garut. Bagi mereka, hadirnya
komunitas sastra menjadi sangat penting untuk melengkapi maraknya kegiatan
teater dan lomba baca puisi. Dengan komunitas ini mereka ingin menjalin
komunikasi antar penyair khususnya dan
seniman lain pada umumnya, hingga memungkinkan terjadinya pergesekan
kreativitas. Mereka menamakan diri sebagai Komunitas Kalam.
Dindin S. Yogapranata, Apip Kurniadin, Nanang Acil, Johan Bunyamin,
Deddi Fachrudien, Ruswendo Awal, Indra Kosasih dan Cecep Nurbani adalah
nama-nama yang mendukung komunitas tersebut. Pada karya-karya mereka yang
sempat saya baca sekilas, kegelisahan kreatif atau pergulatan mencari identitas
sepertinya belum begitu kentara. Yang menonjol dari komunitas baru ini adalah
semangat kebersamaan. Sebagai langkah awal, hal semacam ini merupakan modal
yang sangat berharga untuk memulai sebuah gerakan sastra, khususnya penulisan
puisi.
Jika para penyair di suatu daerah membentuk
sebuah komunitas, menurut saya haruslah dengan niat untuk meningkatkan
kreativitas dan bukan sekedar mengejar proyek atau demi yang lain-lain.
Kegelisahan, intensitas, persaingan yang sehat, berusaha menjadi beda namun
tetap saling mengingatkan atau menyemangati antar teman adalah semangat sebuah
komunitas. Hal lain adalah upaya menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar
dan bagaimana menarik publik (yang merasa punya kepentingan atau keterkaitan
dengan sastra) menjadi bagian dari komunitas.
***
Dalam hubungannya
dengan kehidupan sastra Sunda, apa yang saya paparkan di atas mengenai fenomena
komunitas sastra jelas sangat berkaitan. Di wilayah Tasikmalaya misalnya, yang
digeluti para penyair bukan hanya puisi Indonesia namun juga puisi Sunda.
Saeful Badar, Nazarudin Azhar, Sarabunis Mubarok, Yusran Arifin, Amang Bunga
Mawar, Irvan Mulyadie, Ria Ariesta Buhiarti, Vieoleta Estrella serta beberapa
nama yang lebih muda sudah sejak awal
mengkondisikan diri menulis dalam dua bahasa tersebut. Begitu juga dalam
kaitannya dengan kegiatan atau pemasyarakatan sastra, antara puisi Indonesia dan
Sunda selalu berkaitan satu sama lain. Selama dekade 1990-an Teater Dongkrak
secara rutin mengadakan lomba baca puisi Sunda se-Jawa Barat, yang kemudian
pada dekade 2000-an kiprahnya dilanjutkan Teater Kapas dari SMA Pasundan 2.
Teater Kapas bahkan mengadakan lomba tahunan tersebut bukan hanya se-Jawa
Barat, malah se-Tatar Sunda yang meliputi Banten dan Majenang.
Begitu juga dengan SST.
Meski hanya mengadakan lomba baca puisi Indonesia, namun SST banyak terlibat
membantu kegiatan yang dilakukan Teater Dongkrak dan Teater Kapas, termasuk
Dinas Pendidikan yang kadang-kadang mengadakan lomba baca puisi Sunda tingkat
SD. Sementara kader-kader SST yang kebetulan sudah memegang posisi di media
massa membuka peluang untuk pemuatan
karya sastra Sunda. Saeful Badar yang mengasuh ruang budaya di Radar Tasikmalaya, sebulan sekali memuat
puisi, cerpen dan esei Sunda. Hal yang sama dilakukan Nazarudin Azhar di Kabar Priangan.
Selain itu, yang unik
dari kegiatan sastra di Tasikmalaya adalah adanya siaran sastra di
radio yang sejauh ini peminatnya cukup banyak.
Bahkan sebelum muncul koran-koran lokal tadi, radio menjadi media utama
kegiatan apresiasi sastra. Sudah sejak 1996 lalu SST bekerjasama dengan RSPD FM
menggelar siaran Cakrawala Sastra Kita.
Di siaran sastra yang digelar seminggu sekali ini puisi Indonesia dan puisi
Sunda mengudara secara bergantian. Selain RSPD FM, beberapa radio lain seperti
Martha FM juga melakukan hal yang sama. Perlu juga dicatat bahwa
kelompok-kelompok teater di Tasikmalaya secara tidak langsung turut berperan
dalam memasyarakatkan sastra Sunda, terutama karena mereka sering mementaskan
naskah drama Sunda.
Kegiatan sastra di
Ciamis atmosfirnya tidak terlalu jauh berbeda dengan Tasikmalaya, bahkan para
penyair Ciamis dan Tasikmalaya seperti melebur menjadi satu. Baik dalam proses
kreatif maupun dalam melakukan kegiatan apresiasi, para penyair dari bekas
kerajaan Galuh dan Galunggung ini saling
mendukung satu sama lain. Banyak penyair keturunan Ciung Wanara dan Diah
Pitaloka yang terlibat dengan kegiatan SST, begitu juga sebaliknya banyak
penyair keturunan Eyang Singaparana dan Wiradadaha yang menjadi bagian dari
kegiatan-kegiatan sastra di Ciamis.
Sejumlah penyair Ciamis
juga menulis dalam dua bahasa seperti Toni Lesmana, Anggie Sri Wilujeng, Eddy
Rusyana Noer, Dadang Q. Mosh, Pandu Radea, Unang Sumarna, Jaro X. Yus, Wan
Arief dan Chev Fanny. Hanya saja pada beberapa nama kecenderungan menulis puisi
Sunda nampak kuat sekali, mungkin karena
pengaruh Godi Suwarna sebagai sesepuh di sana. Begitu juga dengan kegiatan
apresiasi seperti Nyiar Lumar dan Riak Ramadhan, aroma kesundaannya terasa
sangat kental. Hal ini kemudian berpengaruh pada atmosfir kehidupan sastra di Banjar, yang juga cukup
kental kesundaannya. Banjar yang belum lama “memerdekakan” diri dari Ciamis
mempunyai kegiatan sastra yang hampir sama dengan mantan induknya tersebut, di
mana para penyair di sana banyak memanfaatkan alam terbuka sebagai lokasi
kegiatan. Abah Sarjang, penyair yang juga menulis dalam bahasa Indonesia dan
Sunda, adalah salah seorang penggeraknya.
Dibanding daerah yang
para penyairnya hanya menulis dalam bahasa Sunda, maka daerah yang kebetulan
para penyairnya menulis dalam dua bahasa seperti Tasikmalaya, Ciamis atau
Banjar terasa lebih hidup dan semarak. Kegiatan tahunan masih rutin dilakukan,
yang sifatnya sporadis pun terus dilakoni. Di Tasikmalaya saja misalnya, hampir
setiap minggu ada kegiatan sastra yang digelar oleh komunitas-komunitas baru
seperti Komunitas Aksara, Komunitas Cermin atau Beranda 57, di samping diskusi
mingguan yang rutin dilakukan SST. Dan semua ini merupakan inisiatif dari para
aktivisnya sendiri, yang sejak dekade 1990-an secara mental sudah dikondisikan
untuk menjadi mujahid-mujahid sastra yang terus bergerak secara mandiri.
Jika saya ditanya
bagaimana peranan pemerintah dalam hal apresiasi sastra ini, tentu saya akan
sulit menjawabnya. Mungkin bukan karena tidak adanya kontribusi sama sekali,
namun kalau pun ada sering menimbulkan masalah atau malah menjadi kontra produktif. Dalam hal ini
saya sependapat dengan Gus Dur, yang pernah menyatakan bahwa kebudayaan adalah
urusan masyarakat. Kebudayaan akan hidup di suatu daerah kalau masyarakatnya
memang membutuhkan. Dengan adanya kebutuhan dari masyarakat tersebut maka
kebudayaan akan terus dipelihara, dihidupkan dan disegarkan. Begitu juga halnya
dengan sastra.
Kita semua tahu di
setiap daerah pasti ada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) atau Dinas
Pendidikan (Disdik) yang sedikit banyak masih punya kaitan dengan sastra, namun
kenyataannya tidak semua daerah bisa berkembang kehidupan sastranya. Tidak
semua daerah bisa berkesinambungan kegiatan apresiasi sastranya. Dan tentu saja
tidak semua daerah bisa melahirkan penyair, apalagi penyair yang berkwalitas.
Dengan demikian yang berperan selama ini memang bukan pemerintah, bukan
Disbudpar atau Disdik, namun para penyair sendiri yang dengan penuh semangat
berjibaku bersama komunitasnya. Pemerintah daerah hanya menjalankan programnya
sendiri, yang kadang pelaksaannya pun dilakukan diam-diam, yang tentu saja
tidak akan mempunyai manfaat langsung bagi kehidupan sastra di tengah
masyarakat.
Lalu sebenarnya di mana
posisi pemerintah dalam kehidupan sastra? Saya tidak mau tahu berapa jumlah
anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan sastra, saya juga tidak akan berharap
banyak pada pemerintah dalam menggairahkan kehidupan sastra. Satu hal yang saya
rindukan hanyalah bagaimana pemerintah, dalam hal ini Disbudpar dan Disdik,
secara bertahap mampu mengubah sikap mentalnya sendiri. Bagaimana mereka mampu
memandang kegiatan sastra atau kesenian lainnya bukan sebagai proyek, apalagi
sebagai lahan untuk melakukan perkeliruan. Sudah sangat sering saya mendengar
laporan dari seniman-seniman tradisional, yang jangankan dihormati sebagai
seniman bahkan sebagai manusia pun kadang tidak dihitung.
Belum lama ini sebuah
kelompok kesenian tradisional dari Kabupaten Tasikmalaya mendapat penghargaan sebagai salah satu
unggulan pada ajang seni helaran tingkat Jawa Barat, namun hadiahnya yang
berupa uang dipotong oleh dinas terkait yang membawanya ke ajang tersebut.
Kasus semacam ini sudah biasa terjadi baik di kota maupun kabupaten
Tasikmalaya. Pemerintah bukannya memberikan bonus pada kelompok yang telah
berprestasi mewakili daerahnya, malah hadiah resminya saja dipotong dengan
alasan administrasi. Belum lagi honor latihan dan transportasinya juga disunat
hingga jumlahnya jauh di bawah UMR buruh pabrik. Tanpa ada perubahan sikap
mental dari pejabat atau pegawai dinas terkait, yang tentu saja harus dimulai
dari bupati atau walikotanya sendiri, maka sebesar apapun anggaran untuk
kegiatan sastra atau kesenian lain tidak akan banyak manfaatnya. Paling hanya
bermanfaat bagi mereka yang mengelolanya saja.
Dengan mental yang
baik, yang mampu memandang sesuatu bukan dari kulitnya saja, yang mampu
membedakan mana kegiatan sastra dan mana proyek, yang mampu memilah mana
kegiatan yang menghasilkan angka dan mana yang menghasilkan nilai bagi
kemanusiaan, yang mampu menempatkan orientasi bukan hanya pada hasil akhir yang
sifatnya nominal namun juga pada proses yang berkesinambungan, maka peran
pemerintah mungkin akan lebih terasa di masyarakat. Sebab tugas utama
pemerintah adalah bagaimana menciptakan atmosfir kreativitas di tengah
masyarakat, dan bagaimana mendorong supaya kreativitas masyarakat tersebut
berkesinambungan. Bukan malah berebut kegiatan dengan seniman dan
ujung-ujungnya membentuk EO untuk melaksanakan program-programnya sendiri, yang
kalau menurut istilah sekarang “jeruk makan jeruk” namanya.
Tanpa itu semua, seberapa besarnya pun
anggaran tidak akan berarti banyak bagi pengembangan dan pemasyarakatan sastra.
Dengan demikian pula peran pemerintah akan tetap alpa alias nol besar. Menurut
saya, anggaran bukanlah kata kunci bagi pengembangan dan pemasyarakatan sastra,
namun masih harus diikuti dengan perilaku yang baik, mental yang baik,
orientasi yang baik dan tentu saja niat yang baik dari para pejabat dan pegawai
dinas terkait. Dengan demikian anggaran yang dikeluarkan akan menjadi efektif
dan tepat sasaran, sekalipun anggaran tersebut tidak seberapa jumlahnya.
Demikianlah. []