Share |

Artikel 29


PESAN LEWAT DAUN

Acep Zamzam Noor


SEPERTI halnya aktivitas berkesenian yang lain, setiap orang yang menulis puisi tentu mempunyai alasan yang berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai ekspresi pribadi, ada yang menganggapnya curahan suara hati, bahkan ada yang menjadikannya medan pencarian identitas diri. Apapun alasan, latar belakang serta motivasi dalam menulis puisi, semuanya sah-sah saja, semuanya boleh-boleh saja, baik-baik saja. Menulis puisi, seperti halnya aktivitas berkesenian yang lain, tak bisa dilepaskan dari adanya unsur  permainan. Namun, meskipun namanya permainan, berkesenian atau lebih khususnya menulis puisi merupakan permainan yang menuntut keseriusan, kesungguhan serta ketulusan. Permainan yang menantang kreativitas serta kerja keras dari para pelakunya.
              Permainan, apapun bentuk dan wujudnya, selalu dilakukan dengan perasaan senang dan gembira. Artinya selalu dilakukan sebagai kesenangan dan kegembiraan. Jika seorang remaja merangkai kata-kata indah pada buku hariannya, menyusun bait-bait merdu pada surat cintanya atau mencipta lirik-lirik mesra pada layar ponselnya, sesungguhnya ia telah memulai sebuah proses kepenyairan, proses bermain dengan kata-kata. Sebuah proses alamiah, yang karenanya dilakukan tanpa beban. Sebuah proses yang jika dilakukan dengan khusyuk dan terus-menerus akan mengantarkannya pada sesuatu yang lebih serius, yakni  pengenalan diri sendiri. Lewat tulisan-tulisannya seorang remaja akan mengenal siapa dirinya, dan pada saat bersamaan juga akan mengetahui perkembangan emosional, spiritual maupun intelektualnya.
              Identitas seseorang tentu tidak akan bisa terbentuk dalam waktu singkat. Untuk mengenal atau menemukan kepribadian kadang-kadang dibutuhkan waktu sampai puluhan tahun. Meskipun masa remaja penuh dengan semangat pencarian,  pertentangan, perubahan serta ketidakpastiaan, namun masa tersebut merupakan fase paling penting dalam kaitannya dengan pembentukan identitas diri. Jika seseorang mempunyai kebiasaan berpuisi sejak masa remaja misalnya, maka ia bisa menelusuri perkembangan kepribadiannya lewat puisi-puisi yang ditulisnya. Bahkan secara tidak langsung puisi-puisi tersebut akan menjelaskan kepada dirinya sendiri sejauh mana reaksi emosional, spiritual maupun intelektual terhadap apa saja yang dialaminya. Dengan demikian puisi-puisi yang pernah ditulis bisa menjadi semacam cermin untuk mengenal sekaligus membentuk kepribadian.
             Semenjak masa kanak-kanak, melewati masa remaja sampai usia dewasa secara alamiah  seseorang akan tumbuh dan berkembang.  Bukan hanya jasmani yang sifatnya wadah,  rohani atau spiritualnya pun ikut tumbuh dan berkembang pula. Bahkan jika pertumbuhan jasmani berhenti pada fase tertentu, spiritualitas seseorang masih memungkinkan untuk terus berkembang. Perkembangan spiritual ini menunjukkan adanya pergerakan, perluasan serta pendalaman kesadaran dan kepekaannya terhadap nilai-nilai kehidupan. Perkembangan spiritual tersebut tentu sangat berkaitan dengan sejauh mana kesadaran dan kepekaan seseorang terhadap alam beserta segala fenomenanya. Baik fenomena yang bisa terlihat atau teraba maupun yang hanya bisa didekati secara intuitif, termasuk di dalamnya kesadaran dan kepekaannya terhadap sesuatu yang gaib.
              Perkembangan spiritual semacam ini sifatnya dinamis, yang secara tidak langsung menggambarkan pergerakan jiwa yang dinamis pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang yang tumbuh dan berkembang secara spiritual, jiwanya akan selalu bergerak membuka ruang-ruang bagi hadirnya kreativitas. Dan seseorang dengan jiwa yang dinamis dan kreatif akan mampu memasuki serta merambah realitas-realitas baru, dimensi-dimensi baru serta nilai-nilai baru dalam kehidupan, yang pada gilirannya akan membentuk kepribadian yang otentik, kepribadian yang unik.  

***

              Anjani Kanastren bukanlah seorang remaja. Ia adalah ibu rumah tangga yang sejauh ini hidupnya normal dan bahagia bersama suami serta empat anaknya di Balikpapan. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak dalam eksplorasi minyak bumi. Mereka tinggal di komplek perumahan yang nyaman, tak jauh dari pusat kota. Seperti halnya ibu-ibu lain tentu ia juga sibuk dengan urusan rumah tangga, di samping kegiatan sosial dan keagamaan di lingkungannya. Jika ada hal yang membedakannya dengan ibu-ibu lain mungkin karena ibu yang satu ini mempunyai kebiasaan menulis. Meski dilakukan diam-diam sebagai kegiatan yang sangat pribadi, kebiasaan menulis ini sudah berlangsung sejak masa remaja. “Saya tidak tahu apakah yang saya tulis itu puisi atau bukan, yang jelas setiap habis menulis saya selalu merasakan adanya sesuatu yang lepas, yang membuat saya merasa plong…” katanya suatu ketika. 
            Seseorang menulis puisi tidak selalu berdasarkan keinginan menyatakan keberadaan dirinya sebagai penyair. Bisa saja seseorang menulis puisi hanya karena adanya dorongan yang  kuat dari dalam dirinya sendiri. Sebuah dorongan yang mungkin berasal dari bawah sadar, yang bahkan dirinya sendiri tidak menyadari betapa kuat dan dahsyatnya dorongan tersebut. Tiba-tiba saja ia hanyut dalam permainan kata-kata. Tiba-tiba saja berlembar-lembar kertas dipenuhi tulisan. Tiba-tiba saja sejumlah puisi lahir.
            Dalam kaitannya dengan kreativitas atau proses kreatif, kejadian semacam ini wajar adanya. Lahirnya sebuah puisi tidak selalu diawali dengan sebuah ide atau gagasan yang jelas dan tegas, tidak selalu dimulai dengan persiapan yang matang dan serius. Sebuah puisi bisa saja lahir karena penyairnya begitu menghayati suasana dan lingkungan sehingga mampu menangkap suara-suara sayup dari bawah sadarnya. Suara-suara sayup inilah yang kemudian memancing hadirnya suara-suara lain, mengundang munculnya kata-kata lain, merangsang datangnya frase-frase lain, bait-bait lain dan seterusnya hingga tanpa disadari puisi demi puisi telah tercipta. Semuanya mengalir wajar dan alamiah.
              Ketika masih duduk di bangku SMA, tahun 1982, Anjani yang remaja menulis baris-baris berikut ini:

Derit cemara, angin semilir
Aku sedang bersandar
Kubuka suratmu
Kubaca
Isinya puisi semua

Aku terbuai
Aku melayang
Derit cemara dan angin semilir
Jadi saksi ketika kurangkai puisi jawaban
Kukatakan
Aku pun sedang tergila-gila              
            
             Baris-baris puisi di atas begitu polos dan sederhana, namun menyiratkan sebuah kejujuran. Kejujuran tersebut menjadi berharga karena diungkapkan dengan bahasa yang jernih, bening, mengalir dan mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Di mana pengalaman penyair, dalam konteks ini seorang remaja yang sedang jatuh cinta, diceritakan langsung apa adanya. Dan pada tahun 1986, dalam suasana dan kondisi kejiwaan yang mungkin sedikit berbeda dengan sebelumnya, Anjani juga menulis puisi dengan kejujuran yang sama. Bahasanya masih jernih dan bening, namun kali ini lebih padat dan sublim. Dalam puisi yang saya kutip seutuhnya di bawah ini, penyair tidak sekedar menceritakan reaksi personalnya mengenai perasaan cinta terhadap orang lain, namun berusaha menggambarkan cinta tersebut dengan wujud yang lebih kongkrit:

Melaut rinduku
Geloranya menyapa diri
Aku di ambang batas
Ku sudah sekarat
Tak mampu lagi berteriak
 
            Lalu pada tahun-tahun berikutnya, ketika situasi dan kondisi kehidupan (termasuk emosional, spiritual maupun intelektual) sang penyair yang semakin berkembang seiring bertambahnya pengalaman dan usia, ia kembali mengolah tema yang sama namun dengan ungkapan yang berbeda. Iramanya lebih merdu, deskripsinya lebih rinci dan kesan visualnya lebih gamblang. Anjani memandang cinta bukan dalam pengertiannya yang umum dan biasa, namun berusaha memunculkan sebuah gambaran lain yang lebih kaya lewat imaji, simbol dan metafor. Dengan imaji, simbol dan metafor yang diserapnya dari lingkungan alam dan benda-benda ia mencoba menggambarkan  pengalamannya, melukiskan pikirannya serta memvisualkan perasaannya. Hasilnya, sebuah panorama kata-kata yang bukan hanya bisa dibaca namun juga dapat dibayangkan:

Jalan setapak itu masih ada
Bahkan pohon bungur yang tak lagi muda masih rajin berbunga
Aku baru saja ke sana
Sekedar melepas rindu pada kenangan kita
Beranda tempat dulu kita sering bersua, juga masih ada
Tapi dindingnya tak lagi berwarna biru muda
Lampu rotan yang dulu kita pasang pun telah tak ada
Usang dimakan waktu

           Sudah cukup lama Anjani Kanastren menulis puisi dan sampai sekarang puisi-puisi yang ditulisnya masih lancar mengalir, baik yang tersimpan dalam buku harian maupun yang tercecer di kertas-kertas lepas. “Banyak sekali tulisan saya yang hilang, untung beberapa puisi lama ada yang masih disimpan teman,” ia bercerita ringan tentang nasib puisi-puisinya. Nampaknya menulis puisi bukan merupakan beban atau sesuatu yang menekan, malah semacam permainan yang dijalaninya dengan santai dan gembira. Anjani tidak pernah membuang-buang waktu memikirkan peta kepenyairan nasional, keruwetan politik sastra atau semacamnya. Ia juga tidak pernah melibatkan diri dalam perdebatan mengenai peran dan fungsi sosial karya sastra atau semacamnya. Baginya aktivitas berpuisi mempunyai peran dan fungsi yang jelas, yakni sebagai ruang semadi bagi rutinitas kesehariannya, sebagai kanal bagi kegelisahannya, juga sebagai oase di tengah kehidupan spiritualnya yang kadang terasa hambar dan kering.
            Yang ditulis Anjani Kanastren bukan melulu puisi yang bertema cinta. Dalam sejumlah puisinya saya juga menemukan renungan, pertanyaan bahkan gugatan halus tentang dunia anak-anak, pendidikan, lingkungan, persahabatan, kenangan, kerinduan serta keimanan. Dari puisi ke puisi, terutama jika dirunut tahun pembuatannya, pembaca yang jeli akan menemukan benang merah yang menghubungkan reaksi emosional, spiritual maupun intelektualnya terhadap berbagai realitas kehidupan. Pembaca yang jeli juga akan menangkap gerak kejiwaan penyairnya yang dinamis dari waktu ke waktu. Kumpulan puisi memang bukan otobiografi, bukan pula catatan sejarah, namun gambaran kejiwaan seorang penyair kerap memantul secara tersurat maupun tersirat lewat puisi-puisi yang ditulisnya. Begitu juga suasana yang berkaitan dengan ruang dan waktu.
            Apakah menulis puisi tidak memerlukan teknik? Jawabannya jelas, teknik sangat diperlukan dalam proses menulis puisi. Hanya saja teknik bukan untuk dikuasai sebagai pengetahuan, namun harus dialami dan dirasakan. Proses mengalami dan merasakan inilah yang penting, yang akan membuat seseorang bukan sekedar terampil melainkan juga peka dalam berbahasa, peka dalam merasakan hadirnya setiap kata. Dalam kepenyairan mungkin tak ada teknik yang baku atau mapan, setiap penyair yang serius pasti akan menemukan tekniknya sendiri, ciri khasnya sendiri, bahasanya sendiri.  Memang terdapat jenis-jenis puisi yang sudah terlanjur dikenal seperti lirik, balada, mantera dan semacamnya, namun setiap penyair yang kreatif pasti akan memberi warna – sekecil apapun warna itu –  pada jenis-jenis puisi yang menjadi pilihan atau kecenderungannya. Dan puisi-puisi lirik yang ditulis Anjani, juga mengisyaratkan peluang munculnya warna personal di kemudian hari, jika proses berpuisinya terus digeluti secara konsisten.                          
           Demikianlah, saya sudah mencoba mengapresiasi puisi-puisi Anjani Kanastren yang terkumpul dalam Pesan Lewat Daun. Jika kumpulan puisi perdananya ini diibaratkan sebuah jalan tol, maka pada beberapa ruas jalannya saya masih menemukan lubang-lubang kecil yang mungkin perlu segera ditambal dan diratakan. Atau jika diibaratkan sebuah patung kayu, masih terasa adanya lekuk-lekuk kasar yang membutuhkan amplas agar permukaannya lebih halus lagi. Namun pada sisi lain harus diakui bahwa hadirnya nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran dalam kumpulan puisi ini telah menyentuh perasaan saya sebagai pembaca.
           Kumpulan puisi ini juga sedikit banyak telah ikut menunjukkan bahwa puisi sebenarnya bukan hanya milik sekelompok orang yang menamakan dirinya penyair. Puisi adalah milik siapapun yang ingin, berkenan, senang dan punya waktu untuk menuliskannya. Puisi adalah milik semua orang. Milik seluruh umat manusia. [] 
Prev Next Next