PESAN
LEWAT DAUN
Acep Zamzam Noor
SEPERTI halnya aktivitas berkesenian yang lain,
setiap orang yang menulis puisi tentu mempunyai alasan yang berbeda-beda. Ada
yang memandangnya sebagai ekspresi pribadi, ada yang menganggapnya curahan
suara hati, bahkan ada yang menjadikannya medan pencarian identitas diri.
Apapun alasan, latar belakang serta motivasi dalam menulis puisi, semuanya
sah-sah saja, semuanya boleh-boleh saja, baik-baik saja. Menulis puisi, seperti
halnya aktivitas berkesenian yang lain, tak bisa dilepaskan dari adanya unsur permainan. Namun, meskipun namanya permainan,
berkesenian atau lebih khususnya menulis puisi merupakan permainan yang
menuntut keseriusan, kesungguhan serta ketulusan. Permainan yang menantang
kreativitas serta kerja keras dari para pelakunya.
Permainan, apapun bentuk dan wujudnya,
selalu dilakukan dengan perasaan senang dan gembira. Artinya selalu dilakukan
sebagai kesenangan dan kegembiraan. Jika seorang remaja merangkai kata-kata
indah pada buku hariannya, menyusun bait-bait merdu pada surat cintanya atau
mencipta lirik-lirik mesra pada layar ponselnya, sesungguhnya ia telah memulai
sebuah proses kepenyairan, proses bermain dengan kata-kata. Sebuah proses
alamiah, yang karenanya dilakukan tanpa beban. Sebuah proses yang jika dilakukan
dengan khusyuk dan terus-menerus akan mengantarkannya pada sesuatu yang lebih
serius, yakni pengenalan diri sendiri.
Lewat tulisan-tulisannya seorang remaja akan mengenal siapa dirinya, dan pada
saat bersamaan juga akan mengetahui perkembangan emosional, spiritual maupun
intelektualnya.
Identitas seseorang tentu tidak akan bisa terbentuk dalam waktu singkat.
Untuk mengenal atau menemukan kepribadian kadang-kadang dibutuhkan waktu sampai
puluhan tahun. Meskipun masa remaja penuh dengan semangat pencarian, pertentangan, perubahan serta
ketidakpastiaan, namun masa tersebut merupakan fase paling penting dalam
kaitannya dengan pembentukan identitas diri. Jika seseorang mempunyai kebiasaan
berpuisi sejak masa remaja misalnya, maka ia bisa menelusuri perkembangan
kepribadiannya lewat puisi-puisi yang ditulisnya. Bahkan secara tidak langsung
puisi-puisi tersebut akan menjelaskan kepada dirinya sendiri sejauh mana reaksi
emosional, spiritual maupun intelektual terhadap apa saja yang dialaminya.
Dengan demikian puisi-puisi yang pernah ditulis bisa menjadi semacam cermin
untuk mengenal sekaligus membentuk kepribadian.
Semenjak masa kanak-kanak, melewati masa remaja sampai usia dewasa
secara alamiah seseorang akan tumbuh dan
berkembang. Bukan hanya jasmani yang
sifatnya wadah, rohani atau spiritualnya
pun ikut tumbuh dan berkembang pula. Bahkan jika pertumbuhan jasmani berhenti
pada fase tertentu, spiritualitas seseorang masih memungkinkan untuk terus berkembang.
Perkembangan spiritual ini menunjukkan adanya pergerakan, perluasan serta
pendalaman kesadaran dan kepekaannya terhadap nilai-nilai kehidupan.
Perkembangan spiritual tersebut tentu sangat berkaitan dengan sejauh mana
kesadaran dan kepekaan seseorang terhadap alam beserta segala fenomenanya. Baik
fenomena yang bisa terlihat atau teraba maupun yang hanya bisa didekati secara
intuitif, termasuk di dalamnya kesadaran dan kepekaannya terhadap sesuatu yang
gaib.
Perkembangan spiritual semacam ini sifatnya dinamis, yang secara tidak
langsung menggambarkan pergerakan jiwa yang dinamis pula. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa seseorang yang tumbuh dan berkembang secara spiritual, jiwanya
akan selalu bergerak membuka ruang-ruang bagi hadirnya kreativitas. Dan
seseorang dengan jiwa yang dinamis dan kreatif akan mampu memasuki serta
merambah realitas-realitas baru, dimensi-dimensi baru serta nilai-nilai baru
dalam kehidupan, yang pada gilirannya akan membentuk kepribadian yang otentik,
kepribadian yang unik.
***
Anjani Kanastren bukanlah seorang
remaja. Ia adalah ibu rumah tangga yang sejauh ini hidupnya normal dan bahagia
bersama suami serta empat anaknya di Balikpapan. Suaminya bekerja di sebuah
perusahaan asing yang bergerak dalam eksplorasi minyak bumi. Mereka tinggal di
komplek perumahan yang nyaman, tak jauh dari pusat kota. Seperti halnya ibu-ibu
lain tentu ia juga sibuk dengan urusan rumah tangga, di samping kegiatan sosial
dan keagamaan di lingkungannya. Jika ada hal yang membedakannya dengan ibu-ibu
lain mungkin karena ibu yang satu ini mempunyai kebiasaan menulis. Meski
dilakukan diam-diam sebagai kegiatan yang sangat pribadi, kebiasaan menulis ini
sudah berlangsung sejak masa remaja. “Saya tidak tahu apakah yang saya tulis
itu puisi atau bukan, yang jelas setiap habis menulis saya selalu merasakan
adanya sesuatu yang lepas, yang membuat saya merasa plong…” katanya suatu ketika.
Seseorang menulis puisi tidak selalu berdasarkan keinginan menyatakan
keberadaan dirinya sebagai penyair. Bisa saja seseorang menulis puisi hanya
karena adanya dorongan yang kuat dari
dalam dirinya sendiri. Sebuah dorongan yang mungkin berasal dari bawah sadar,
yang bahkan dirinya sendiri tidak menyadari betapa kuat dan dahsyatnya dorongan
tersebut. Tiba-tiba saja ia hanyut dalam permainan kata-kata. Tiba-tiba saja
berlembar-lembar kertas dipenuhi tulisan. Tiba-tiba saja sejumlah puisi lahir.
Dalam kaitannya dengan kreativitas atau proses kreatif, kejadian semacam
ini wajar adanya. Lahirnya sebuah puisi tidak selalu diawali dengan sebuah ide
atau gagasan yang jelas dan tegas, tidak selalu dimulai dengan persiapan yang
matang dan serius. Sebuah puisi bisa saja lahir karena penyairnya begitu
menghayati suasana dan lingkungan sehingga mampu menangkap suara-suara sayup
dari bawah sadarnya. Suara-suara sayup inilah yang kemudian memancing hadirnya
suara-suara lain, mengundang munculnya kata-kata lain, merangsang datangnya
frase-frase lain, bait-bait lain dan seterusnya hingga tanpa disadari puisi
demi puisi telah tercipta. Semuanya mengalir wajar dan alamiah.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tahun 1982, Anjani yang remaja menulis
baris-baris berikut ini:
Derit
cemara, angin semilir
Aku
sedang bersandar
Kubuka
suratmu
Kubaca
Isinya
puisi semua
Aku
terbuai
Aku
melayang
Derit
cemara dan angin semilir
Jadi
saksi ketika kurangkai puisi jawaban
Kukatakan
Aku pun
sedang tergila-gila
Baris-baris puisi di atas begitu polos dan sederhana, namun menyiratkan
sebuah kejujuran. Kejujuran tersebut menjadi berharga karena diungkapkan dengan
bahasa yang jernih, bening, mengalir dan mampu berkomunikasi dengan pembacanya.
Di mana pengalaman penyair, dalam konteks ini seorang remaja yang sedang jatuh
cinta, diceritakan langsung apa adanya. Dan pada tahun 1986, dalam suasana dan
kondisi kejiwaan yang mungkin sedikit berbeda dengan sebelumnya, Anjani juga
menulis puisi dengan kejujuran yang sama. Bahasanya masih jernih dan bening,
namun kali ini lebih padat dan sublim. Dalam puisi yang saya kutip seutuhnya di
bawah ini, penyair tidak sekedar menceritakan reaksi personalnya mengenai
perasaan cinta terhadap orang lain, namun berusaha menggambarkan cinta tersebut
dengan wujud yang lebih kongkrit:
Melaut
rinduku
Geloranya
menyapa diri
Aku di
ambang batas
Ku sudah
sekarat
Tak mampu
lagi berteriak
Lalu pada tahun-tahun berikutnya,
ketika situasi dan kondisi kehidupan (termasuk emosional, spiritual maupun
intelektual) sang penyair yang semakin berkembang seiring bertambahnya
pengalaman dan usia, ia kembali mengolah tema yang sama namun dengan ungkapan
yang berbeda. Iramanya lebih merdu, deskripsinya lebih rinci dan kesan
visualnya lebih gamblang. Anjani memandang cinta bukan dalam pengertiannya yang
umum dan biasa, namun berusaha memunculkan sebuah gambaran lain yang lebih kaya
lewat imaji, simbol dan metafor. Dengan imaji, simbol dan metafor yang
diserapnya dari lingkungan alam dan benda-benda ia mencoba menggambarkan pengalamannya, melukiskan pikirannya serta
memvisualkan perasaannya. Hasilnya, sebuah panorama kata-kata yang bukan hanya
bisa dibaca namun juga dapat dibayangkan:
Jalan
setapak itu masih ada
Bahkan
pohon bungur yang tak lagi muda masih rajin berbunga
Aku baru
saja ke sana
Sekedar
melepas rindu pada kenangan kita
Beranda
tempat dulu kita sering bersua, juga masih ada
Tapi
dindingnya tak lagi berwarna biru muda
Lampu
rotan yang dulu kita pasang pun telah tak ada
Usang
dimakan waktu
Sudah cukup lama Anjani Kanastren menulis puisi dan sampai sekarang
puisi-puisi yang ditulisnya masih lancar mengalir, baik yang tersimpan dalam
buku harian maupun yang tercecer di kertas-kertas lepas. “Banyak sekali tulisan
saya yang hilang, untung beberapa puisi lama ada yang masih disimpan teman,” ia
bercerita ringan tentang nasib puisi-puisinya. Nampaknya menulis puisi bukan
merupakan beban atau sesuatu yang menekan, malah semacam permainan yang
dijalaninya dengan santai dan gembira. Anjani tidak pernah membuang-buang waktu
memikirkan peta kepenyairan nasional, keruwetan politik sastra atau semacamnya.
Ia juga tidak pernah melibatkan diri dalam perdebatan mengenai peran dan fungsi
sosial karya sastra atau semacamnya. Baginya aktivitas berpuisi mempunyai peran
dan fungsi yang jelas, yakni sebagai ruang semadi bagi rutinitas kesehariannya,
sebagai kanal bagi kegelisahannya, juga sebagai oase di tengah kehidupan
spiritualnya yang kadang terasa hambar dan kering.
Yang ditulis Anjani Kanastren bukan melulu puisi yang bertema cinta.
Dalam sejumlah puisinya saya juga menemukan renungan, pertanyaan bahkan gugatan
halus tentang dunia anak-anak, pendidikan, lingkungan, persahabatan, kenangan,
kerinduan serta keimanan. Dari puisi ke puisi, terutama jika dirunut tahun
pembuatannya, pembaca yang jeli akan menemukan benang merah yang menghubungkan
reaksi emosional, spiritual maupun intelektualnya terhadap berbagai realitas
kehidupan. Pembaca yang jeli juga akan menangkap gerak kejiwaan penyairnya yang
dinamis dari waktu ke waktu. Kumpulan puisi memang bukan otobiografi, bukan
pula catatan sejarah, namun gambaran kejiwaan seorang penyair kerap memantul
secara tersurat maupun tersirat lewat puisi-puisi yang ditulisnya. Begitu juga
suasana yang berkaitan dengan ruang dan waktu.
Apakah menulis puisi tidak
memerlukan teknik? Jawabannya jelas, teknik sangat diperlukan dalam proses
menulis puisi. Hanya saja teknik bukan untuk dikuasai sebagai pengetahuan,
namun harus dialami dan dirasakan. Proses mengalami dan merasakan inilah yang
penting, yang akan membuat seseorang bukan sekedar terampil melainkan juga peka
dalam berbahasa, peka dalam merasakan hadirnya setiap kata. Dalam kepenyairan
mungkin tak ada teknik yang baku atau mapan, setiap penyair yang serius pasti
akan menemukan tekniknya sendiri, ciri khasnya sendiri, bahasanya sendiri. Memang terdapat jenis-jenis puisi yang sudah
terlanjur dikenal seperti lirik, balada, mantera dan semacamnya, namun setiap
penyair yang kreatif pasti akan memberi warna – sekecil apapun warna itu – pada jenis-jenis puisi yang menjadi pilihan
atau kecenderungannya. Dan puisi-puisi lirik yang ditulis Anjani, juga
mengisyaratkan peluang munculnya warna personal di kemudian hari, jika proses
berpuisinya terus digeluti secara konsisten.
Demikianlah, saya sudah mencoba
mengapresiasi puisi-puisi Anjani Kanastren yang terkumpul dalam Pesan Lewat Daun. Jika kumpulan puisi
perdananya ini diibaratkan sebuah jalan tol, maka pada beberapa ruas jalannya
saya masih menemukan lubang-lubang kecil yang mungkin perlu segera ditambal dan
diratakan. Atau jika diibaratkan sebuah patung kayu, masih terasa adanya
lekuk-lekuk kasar yang membutuhkan amplas agar permukaannya lebih halus lagi.
Namun pada sisi lain harus diakui bahwa hadirnya nilai-nilai kesederhanaan dan
kejujuran dalam kumpulan puisi ini telah menyentuh perasaan saya sebagai
pembaca.
Kumpulan puisi ini juga sedikit banyak telah ikut menunjukkan bahwa
puisi sebenarnya bukan hanya milik sekelompok orang yang menamakan dirinya
penyair. Puisi adalah milik siapapun yang ingin, berkenan, senang dan punya
waktu untuk menuliskannya. Puisi adalah milik semua orang. Milik seluruh umat
manusia. []