Share |

Artikel 26

SEKITAR PROSES KREATIF SAYA



Acep Zamzam Noor



Mengapa selalu kutulis sajak

Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku

Mengapa harus sajak, kekasihku, mengapa harus ia

Yang mampu kupersembahkan kepadamu


(Mengapa Selalu Kutulis Sajak, 1981)


JIKA ditanyakan sejak kapan saya menulis? Maka jawabannya sejak saya berkenalan dengan puisi. Tepatnya ketika saya masih duduk di bangku SLTP. Meski sebelumnya, sejak masih SD pun saya sudah menyenangi puisi. Setiap ada perayaan kenaikan kelas saya selalu memilih deklamasi ketimbang menyanyi, karena saya memang tidak bisa menyanyi atau bermain musik. Sewaktu di SLTP saya tidak hanya menyenangi, tapi saya mulai berusaha untuk mengenalnya lebih jauh, berusaha mendalaminya. Saya mengikuti rubrik-rubrik sastra di koran dan majalah, dan kemudian mengklipingnya. Saya pun mulai membaca buku-buku puisi yang saya pinjam dari perpustakaan keliling milik Pemda. Saya merasa beruntung dengan adanya perpustakaan keliling tersebut, yang seminggu sekali mengunjungi sekolah kami. Sayang sekali perpustakaan yang berkeliling dengan minibus berwarna biru ini tidak berlangsung lama, padahal manfaatnya sangat besar bagi para siswa yang mempunyai minat membaca.


Saya pun mulai menulis puisi, mula-mula dalam bahasa Sunda dan kemudian dalam bahasa Indonesia. Puisi-puisi saya selain ditempel di majalah dinding sekolah, diam-diam saya kirimkan juga ke beberapa media massa. Mangle, Aktuil dan Pelita adalah media yang pertama-tama memuat puisi saya, setelah itu banyak dimuat di ruang “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat yang diasuh Saini K.M. Pada periode ini saya sudah menganggap puisi sebagai sesuatu yang serius, paling tidak dengan membaca dan menulisnya saya bisa mengekspresikan kegelisahan saya. Sebagai remaja pada umumnya saya pun mempunyai gairah dan kegelisahan yang berhubungan dengan masalah eksistensi dan aktualisasi diri. Lewat menulis puisilah (dan juga melukis) saya mengekspresikan gairah, kegelisahan dan pemberontakkan remaja ini, hingga diam-diam melupakan minat saya terhadap olah raga dan bela diri, yang sebelumnya sempat menjadi sarana saya dalam berekspresi.


Saya dilahirkan dan tinggal di lingkungan pesantren, di pinggiran Tasikmalaya. Keluarga besar saya adalah orang-orang pesantren. Sampai kelas dua SLTA saya hidup dalam lingkungan yang konon banyak dianggap orang sebagai lingkungan tradisional. Pagi sampai siang sekolah, sore, malam dan subuh mengaji seperti halnya santri-santri lain yang mondok di pesantren kami. Saya pun tidur di pondok atau di masjid, sama seperti halnya santri-santri lain. Tapi anehnya, jauh di lubuk hati saya, saya merasa bukanlah seorang santri dalam arti yang sebenarnya. Pertama, karena saya merasa tinggal di kampung sendiri, padahal dalam pemahaman saya seorang santri adalah pengembara, ia harus pergi jauh meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu. Kedua, saya mempunyai minat yang ganjil, yakni ketertarikan yang besar terhadap kesenian. Minat yang mungkin tak dipunyai oleh saudara-saudara saya yang lain, juga oleh kerabat atau tetangga saya atau bahkan oleh umumnya santri yang mondok di pesantren kami.


Pada masa itu, dalam banyak hal saya sering berbeda pendapat dengan orangtua, guru-guru dan ustadz-ustadz kami di pesantren. Bahkan beberapa kali terjadi keributan antara saya dengan guru-guru dan ustadz-ustadz kami, yang dampaknya justru semakin menguatkan minat saya terhadap kesenian, khususnya puisi. Ketika di SLTP saya sangat memuja Chairil Anwar yang sajak-sajaknya banyak menyuarakan pemberontakan terhadap lingkungannya, tapi dalam waktu yang bersamaan saya juga begitu mengagumi Amir Hamzah, yang sajak-sajaknya sangat khusyuk merenungi kedalaman hidup. Kedua penyair inilah yang secara tidak langsung telah memotivasi saya untuk terus menulis puisi. Dan setelah lama menulis puisi, mungkin baru saya sadari bahwa dari Chairil Anwar secara tidak langsung saya telah belajar tentang tenaga dan semangat hidup, sedang dari Amir Hamzah saya telah belajar bagaimana berbahasa. Dua hal penting, yang mungkin telah menyebabkan saya sampai hari ini tetap menulis dan mencintai puisi. Tentu saja tak bisa bisa dilupakan pelajaran yang saya dapatkan kemudian dari Saini K.M., Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M., Octavio Paz, Pablo Neruda, Rimbaud, Baudelaire, Jalaluddin Rumi, Hafiz, Iqbal dan lain-lain, yang karya-karyanya sering membuat saya tergetar. Merekalah guru-guru rohani saya yang sesungguhnya.


Sebenarnya saya merasa tidak terlalu berbakat sebagai penyair dan lagi lingkungan keluarga saya tak ada yang nyerempet sedikit pun pada dunia kesenian. Mereka pun tidak mendukung saya menjadi penyair. Jika pun harus ditelusuri apa penyebabnya, mungkin salah satu hal yang menghubungkan saya dengan kesenian, khususnya puisi, adalah masalah bacaan. Ayah saya yang selain mengasuh pesantren juga aktif berorganisasi kebetulan banyak berlangganan koran dan majalah, di samping mengoleksi macam-macam buku. Di antara buku-bukunya yang banyak itu terdapat juga beberapa roman karya Hamka. Sementara ibu saya berlangganan majalah berbahasa Sunda, Mangle, yang banyak memuat cerpen dan puisi. Dari membaca itulah saya kemudian tertarik menulis. Selain itu, dan nampaknya ini penyebab terbesar, mungkin karena adanya potensi kegelisahan dan pemberontakan dalam diri saya, yang membuat saya tahan menggulati puisi sendirian selama bertahun-tahun.


Karena ingin meninggalkan rumah dan merasakan bagaimana menjadi santri yang sebenarnya, menginjak kelas dua SLTA saya pindah ke sebuah pesantren terkenal di Jakarta. Tapi di sini pun kondisinya tak banyak berbeda dengan di kampung, saya tetap merasa ganjil, kesepian dan tertekan. Mungkin saya lebih merasa sebagai penyair ketimbang santri. Saya lebih banyak jalan-jalan atau nongkrong di Taman Ismail Marzuki. Gairah remaja saya akan “kebebasan” harus berbenturan dengan “aturan-aturan” di pesantren, juga aturan tak tertulis dari keluarga yang mengharuskan saya menyelesaikan pendidikan. Alhamdulillah, meski dengan susah payah akhirnya “neraka” SLTA itu saya lewati juga dengan selamat. Saya lulus meskipun pas-pasan.


Tahun 1980 kebetulan saya diterima FSRD ITB, Fakultas Sastra Rusia UNPAD dan STSRI “ASRI” Yogyakarta, dan kemudian saya memilih kuliah seni rupa di FSRD ITB. Saya merasa beruntung karena di kota kembang inilah saya merasa tak sendirian lagi menggulati kesenian, saya berkenalan dengan mereka yang selama ini nama-namanya hanya saya kenal lewat koran atau majalah. Tentu saja hal ini membuat semangat berkesenian saya semakin berkobar. Lebih-lebih rubrik “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat yang diasuh Saini K.M. sangat menarik dan menjadi ajang pertarungan sehat antar penyair muda di Bandung.


Beni Setia, Yessi Anwar, Juniarso Ridwan, Diro Aritonang, Iwan Soekri Munaf, Moh. Ridlo Eisy, Prasetyohadi, Wahyu Gumilar, Emmanuel Milala, Aliefya Santrie, Chandra Johan, Yayak Kencrit, kemudian Nirwan Dewanto, M. Padjroel Rachman, Arya Gunawan, Miranda Risang Ayu, Arahmaiani, Sujiwo Tejo, Kurnia Effendi, Ariadne Shinta Dewi, Inne Ratu Shabarini, Henny Hendrayani, Siti Komara Budi, Kania, Nia Dachniar, Soni Farid Maulana dan Sukma Brata adalah nama-nama yang tak mungkin saya lupakan dalam proses kepenyairan saya. Di samping tentu saja, Saini K.M., Rustandi Kartakusumah, Wing Kardjo, Sanento Yuliman, Karno Kartadibrata, Jakob Sumardjo dan Aam Amilia yang waktu itu sangat dekat dengan anak-anak muda. Dengan iklim seperti ini produktifitas saya dalam menulis puisi menjadi terpacu. Rumah kontrakan saya di Jl. Titiran, bahkan menjadi markas para penyair muda waktu itu.


Tahun 1982 kumpulan puisi saya yang pertama, Tamparlah Mukaku!, terbit secara “darurat” atas prakarsa teman-teman. Sebagian besar dari puisi-puisi yang dihimpun dalam buku ini saya tulis di Jakarta dan Bandung dalam rentang waktu sekitar dua tahun. Puisi-puisi ini banyak mengungkapkan tentang suasana hati, panorama alam, gairah cinta dan religiusitas, khususnya kerinduan-kerinduan saya pada sesuatu yang transenden. Meskipun banyak diresensi orang di berbagai media massa, kumpulan pertama ini tidak memuaskan saya. Bukan karena cetakannya yang jelek dan banyak kesalahan, tapi karena saya merasa belum adanya pencapaian yang berarti dalam puisi-puisi tersebut. Saya merasa masih punya persoalan dengan bahasa. Bahasa sudah saya akrabi tapi belum saya taklukan. Dan seorang penyair yang baik harus bisa menaklukan bahasa. Misalnya, penggambaran saya tentang alam masih nampak sebagai panorama dan rasanya belum mengarah pada imaji-imaji simbolik yang maknanya lebih mendalam. Saya kutip sebuah puisi yang saya tulis pada periode awal ini:


Dari sini

Tatkala cemara meluruh daun

Pohonan ngungun. Kita melihatnya

Dan angin yang bergegas

Lepas ke arah kita


Kita mendengarnya

Tatkala turun awan murung

Pangrango hanya basah

Dan angin tetap saja, menghampir senja

Kelam dalam kabut di atas bukit itu juga


Tatkala menyusuri hutan kenangan

Tatkala merasa sepi. Kita menghitungnya

Dari sini mengalir rindu

Antara sawah ladang dan batu

Kampung halaman dan tualang biru.


(Pangrango, 1979)


Begitu juga puisi-puisi yang bertema religius, yang banyak sekali saya tulis antara 1980-1982, rasanya terlalu romantis, dan mungkin agak artifisial pengungkapannya. Apa yang saya maksud dengan gairah dan kegelisahan, cinta, kerinduan, keinginan bersatu dengan yang transenden rasanya belum mampu terungkapkan dalam puisi-puisi saya waktu itu. Saya masih bergulat dengan kata-kata, dengan bahasa. Namun belum bergulat dengan kehidupan itu sendiri.


Dalam menulis puisi sesungguhnya tema, misalnya religiusitas, bukanlah segalanya bagi proses kreatif saya. Saya menyadari bahwa tak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini, dan bahkan sepertinya tak ada lagi tema yang masih tersisa. Semuanya pernah dituliskan orang, semuanya telah dikerjakan orang. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kreativitas, yakni dengan memberikan penyegaran pada sesuatu yang tidak baru itu. Inilah tantangan saya sebagai penyair yang lahir ketika puisi sudah ditulis orang sekian abad yang lalu. Sebagai pengagum Chairil Anwar, tentunya saya tahu apa yang ia hasilkan sebenarnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Begitu juga yang dihasilkan Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M. dan penyair-penyair lirik terkenal lainnnya. Yang membuat mereka dicatat sejarah adalah karena berhasil memberikan penyegaran-penyegaran yang kreatif pada tradisi puisi lirik tersebut, sesuai dengan semangat zamannya. Begitu juga yang dilakukan Sutardji dengan mengangkat kembali mantera adalah upayanya yang kreatif untuk menyegarkan pengucapan puisinya.


Saya belajar dari ketidakpuasan terhadap puisi-puisi dalam Tamparlah Mukaku! sambil membayangkan saya tengah menampari muka sendiri. Dalam kesadaran saya kemudian, puisi yang baik bukan hanya yang bisa dimengerti atau mampu berkomunikasi, tapi juga yang bisa menggetarkan bulu kuduk pembacanya. Sedahsyat apapun pengalaman batin seseorang tak akan pernah menjadi puisi tanpa mampu dibahasakan secara kreatif. Begitu pun sebaliknya, seterampil apapun seseorang dalam berbahasa tetap akan menjadi sekedar keterampilan jika batinnya kerdil. Jadi selalu harus ada kesetaraan intensitas antara kedalaman batin dan keterampilan berbahasa, antara pengalaman empirik dan penguasaan kata-kata. Antara lintasan pikiran-pikiran liar dan kekhusyukan bertafakur.


Beberapa manuskrip kumpulan puisi saya seperti Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989) dan Dari Kota Hujan (1995) kemudian terbit meskipun masih dalam kondisi yang “darurat”. Baru kumpulan puisi Di Luar Kata (1996), terbitan Pustaka Firdaus, yang nasibnya lebih baik. Selain cetakannya tergolong serius, peredarannya juga lumayan luas. Dengan empat kumpulan ini saya tetap belum merasa berhasil sekalipun puisi yang melegakan saya lebih banyak jumlahnya. Alam tetap masih menjadi tema dominan, baik sebagai latar atau instrumen dari pengalaman maupun sebagai pokok persoalan itu sendiri, di mana anasir-anasir religius menyatu di dalamnya.


Kenyataan-kenyataan di luar yang saya gambarkan adalah merupakan cerminan dari dunia dalam saya. Dengan semangat inilah puisi-puisi tersebut saya tulis. Dan resiko yang kemudian saya dapatkan dari proses ini adalah munculnya beberapa ungkapan yang cenderung gelap, seperti yang terdapat pada beberapa puisi dalam kumpulan Aku Kini Doa. Salah satu penyebabnya mungkin adalah keasyikan saya dalam mengumbar imaji-imaji, dalam memerdekakan daya khayal. Namun ada di antara imaji atau daya khayal tersebut yang kurang terkait satu sama lain.


Hal ini saya sadari setelah Saini K.M. mengingatkan saya dalam salah salah satu tulisannya. Dalam bebarapa puisi saya memang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan yang mempersonifikasikan alam secara -- menurut Saini -- ambiguous dan bahkan obscure, seperti pipi langit, ketiak kota, matahari pingsan dan beberapa yang lain. Hal ini kemudian saya atasi dengan terus menyadarkan diri bahwa menulis puisi itu bukanlah hal yang mudah, bahkan mungkin lebih sulit ketimbang merancang pesawat terbang. Dibutuhkan kesabaran dan kesungguhan dalam memilih kata, keseriusan dalam melakukan revisi serta melakukan kritik yang terus menerus terhadap diri sendiri.

Saya kutip sebuah puisi dari periode ini:


1


Kenapa harus batu yang diam

Dan bukan angin? Ia padat dan dingin

Tapi bergolak bagai api

Di perutnya sungai mengalir dan keheningan

Sembahyang. Ia diam dan bisu

Sekaligus menderu


2


Kenapa bukan angin

Dan harus batu? Ia tersepuh waktu

Matang oleh rindu


(Angin dan Batu, 1984)


Lingkungan dan suasana di mana saya tinggal memegang peranan yang sangat penting dalam proses penciptaan puisi-puisi saya. Ini mungkin ada hubungannya dengan ketergantungan saya pada mood. Meski saya bisa memungut ilham atau mendapatkan gagasan dari mana saja dan dalam suasana apa saja, tapi untuk menuliskannya saya selalu membutuhkan suasana yang khusus. Puisi-puisi yang saya tulis di kampung, di Jakarta, di Bandung, di Bali, di Toraja atau di kota-kota Eropa mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Begitu juga puisi yang saya tulis di kampung sebelum saya pergi merantau berbeda intensitasnya dengan puisi yang saya tulis di kampung setelah pulang merantau. Suasana khusus yang saya maksud bukan berarti suasananya harus hening, sepi dan melankolis. Di tengah keramaian pun saya kadang mampu menulis dengan sangat intens, dan sebaliknya di tengah suasana yang hening dan sepi bisa saja saya malah asyik bermalas-malasan.


Hal ini memang agak sulit untuk menjelaskannya. Tinggal semingggu di Paris ternyata mempunyai rangsangan yang lebih besar untuk menulis ketimbang tinggal hampir dua bulan di Utrecht umpamanya. Begitu juga tinggal di Manila berbeda intensitasnya dengan di Kuala Lumpur atau Perak. Tapi kota-kota tua di Italia, entah kenapa mempunyai rangsangan yang hampir sama kuatnya, hingga selama dua tahun tinggal di sana saya merasa bagaikan seorang pemabuk yang kepayang. Rangsangan yang sama juga pernah saya rasakan sebelumnya di Mekkah dan Madinah, dua kota yang juga menyedot perasaan saya. Puisi-puisi mabuk kepayang ini saya kumpulkan dalam Di Atas Umbria (l999), yang kemudian diterbitkan Indonesia Tera.


Gedung-gedung tua, ukiran-ukiran di dinding, patung-patung, lukisan-lukisan, jembatan antik, terowongan panjang, undakan batu, reruntuhan sebuah kota, pohon yang meranggas, bukit karang atau hamparan salju selalu menarik perhatian saya, dan membawa saya ke dalam suasana tertentu. Kadang benda-benda dan fenomena alam seperti mempunyai kekuatan magis untuk menyedot saya ke dalam sebuah ekstase yang memabukan. Kehadiran benda-benda di tengah fenomena alam seperti cuaca buruk, hujan, kabut atau datangnya musim semi selalu mempengaruhi ruang dan atmosfir di mana benda-benda itu berada. Begitu juga tetesan anggur di tenggorokan dan asap rokok yang menjadi sangat berharga di tengah udara dingin. Selalu memberikan getaran ganda bagi yang menyaksikan atau merasakannya:


Masih kuingat tarian perutmu, dan kubayangkan sosokmu

Yang ramping, rautmu yang runcing, dengan alis Aljazairmu

Yang menikam seorang penyair. Di gerbong kereta api

Di sepanjang terowongan yang menembus tubuh tua kota ini

Ada yang menggelepar karena kehilangan kata-kata

Ketika sunyi menyediakan sebuah beranda merah muda

Yang bernama kebisuan. Lalu apakah arti percakapan kita

Dari halte ke halte, menyusuri jalan-jalan yang berliku

Keluar masuk restoran, museum atau toko buku

Sedang yang kutemukan selalu bukan ruang? Demikianlah

Aku mengerti gerak liar sang takdir, hukum awal dan akhir

Pengkhianatan yang kemudian menjadi monumen terkenal

Seperti Bastille yang ramai dikunjungi orang

………………………………………………


(Buat Malika Hamoudi, 1996)


Seorang rekan mengatakan bahwa puisi-puisi saya dalam Di Atas Umbria banyak menonjolkan unsur visual. Awalnya saya kurang paham apa yang dimaksud rekan tadi, namun saya kemudian menyadari bahwa selain menulis saya juga kebetulan aktif melukis, meski saya tidak tahu seberapa jauh hubungan antara keduanya. Namun sebagai pelukis tentunya saya juga mempunyai kepekaan visual.


Dari segi tema apa yang saya tulis pada dekade 1990-an sebenarnya tak terlalu jauh berbeda dengan yang saya tulis pada 1980-an. Saya masih banyak menggambarkan alam, lingkungan, benda-benda dan reaksi-reaksi subyektif saya terhadap semua itu. Namun dalam rancang bangun mungkin sedikit terjadi perubahan, bentuknya menjadi lebih panjang dengan kalimat-kalimat yang melebar ke samping. Mungkin juga menjadi lebih detail dalam menggambarkan sesuatu, dan mudah-mudahan lebih sublim.


Dalam puisi-puisi tersebut saya tidak hanya menyiratkan sesuatu, tapi juga ingin menggambarkan sesuatu. Bukan hanya menghadirkan suasana, tapi juga ingin melukiskan warna, cuaca, suara dan kalau perlu bau. Kadang saya juga menggunakan metafor-metafor yang cenderung keras, kasar dan vulgar, atau kadang malah sangat detail. Mungkin itulah yang dimaksud unsur visual dalam puisi, yakni unsur yang sangat berhubungan dengan sudut pandang penyair. Sudut pandang dalam melihat sesuatu, dalam menafsirkan dan menggambarkan sesuatu. Unsur yang sangat berhubungan dengan persepsi dan juga subyektifitas penyair.


Jika kembali merenungi awal keberangkatan saya ke dunia puisi, di mana saya tinggal di sebuah lingkungan yang tak ada sangkut-pautnya dengan kesenian dan tak ada seorang pun kepada siapa saya harus belajar atau bertanya, maka sekarang saya mulai menemukan jawabannya, yakni suasana. Ya, di kampung saya yang tak lain adalah komplek pesantren, saya mendapatkan suasana yang mungkin tanpa saya sadari waktu itu telah menanamkan sesuatu yang sangat berharga bagi masa kanak-kanak dan remaja saya, yakni kekhusyukan. Suasana pesantren tahun 1960 hingga 1970-an sangat lain dengan suasana pesantren sekarang. Kekhusyukan atau intensitas inilah – tentu saja dalam pengertian yang luas, misalnya dalam sikap memandang dan menjalani kehidupan – telah menanamkan benih-benih kepenyairan pada diri saya.


Kenapa tiba-tiba saya ingin bertanya tentang diri saya, tentang lingkungan saya, tentang alam dan seterusnya. Kenapa saya tiba-tiba tertarik pada kesenian, pada puisi. Lalu tiba-tiba saya bereaksi pada diri saya sendiri, pada lingkungan saya, pada alam, juga pada kenyataan-kenyataan yang saya temui sehari-hari. Kini, setelah sekian lama menulis puisi, hal-hal semacam ini saya sadari sebagai awal dari kepenyairan saya. Sekaligus juga tenaga bagi kepenyairan saya selanjutnya. Saya ingin mengutip sebuah puisi saya tentang kampung halaman:


Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri

Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup

Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu


Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi

Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari

Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar

Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku

Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan

Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu


Hari esok adalah perjalananku sebagai petani

Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat

Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini

Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan

Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain

Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan berkubur


(Cipasung, 1989)


Sapardi Djoko Damono mengapresiasi puisi di atas sebagai sebuah pengalaman keagamaan yang diungkapkan lewat kehidupan pertanian. Menurutnya, dengan metafor-metafor yang saya gunakan dua pengalaman sekaligus terungkap: kehidupan batin seorang muslim dan kehidupan sehari-hari seorang petani. Saya merasa berterima kasih dengan analisis ini karena sebelumnya tak pernah terbayangkan bisa ditafsirkan sampai ke sana. Saya sendiri merasa bahwa penggunaan citra-citra pedusunan pada kebanyakan puisi saya, lebih disebabkan karena keterpesonaan saya pada alam dan lingkungan sekitar.


Alam dengan segala fenomenanya merupakan metafor-metafor yang segar dan sublim, yang mampu mengungkapkan pengalaman rohani saya secara puitik. Apa yang saya lihat di alam sekitar dan apa yang saya rasakan di dalam batin sepertinya ada pertautan. Dari alam dengan segala rahasianya saya menemukan banyak ayat-ayat yang merangsang kreativitas. Dan ayat-ayat pedusunan yang saya angkat itu tentu bukan hanya dari Cipasung, tapi juga dari Pangalengan, Patenggang, Pangrango, Batu Karas, Krakal, Ubud, Campuhan, Klungkung, Candidasa, Tirtagangga, Uluwatu, Londa, Makale, Maros, Bantimurung, Leang-leang, Batu Laut, Manila, Los Banos, Assisi, Colombella, Trassimeno, Ravenna dan lain-lain.


***


Akhir 1993, sepulang dari Italia saya menetapkan diri untuk tinggal di kampung halaman. Alasannya praktis saja, untuk dapat bertahan sebagai penyair tanpa pekerjaan tetap satu-satunya jalan adalah menyederhanakan kebutuhan hidup. Dan kampunglah satu-satunya pilihan untuk hidup dengan ongkos yang murah. Tapi tanpa saya duga banyak santri yang tertarik pada puisi datang kepada saya untuk bertanya dan berdiskusi. Lama-lama bukan hanya santri, tapi juga anak-anak muda dari kampung lain dan bahkan dari daerah atau kota lain. Juga guru-guru bahasa Indonesia dan kesenian. Meski awalnya sangat merepotkan karena saya harus membaca berlembar-lembar puisi yang mereka bawa dan kemudian membahasnya satu persatu, tapi lama-lama saya menikmatinya juga.


Lalu saya jadi teringat pada ayah saya yang biasa menerima tamu kapan saja, bahkan hampir 24 jam. Dalam hati saya berkata, jika seorang penyair ingin setarap dengan kiai, maka ia harus siap menerima tamu siapa saja dan kapan saja tanpa alasan sedang tidur atau istirahat. Dan satu hal lagi, kalau seorang penyair ingin setarap dengan kiai maka ia jangan punya pekerjaan tetap. Seorang penyair yang punya pekerjaan tetap – dengan demikian masih punya majikan – maka maqom-nya masih pada tarap santri, bukan kiai. Seorang kiai tidak pernah punya majikan, begitu juga seharusnya penyair. Seorang kiai sejati akan berjarak dengan penguasa, begitu juga sejatinya penyair.


Mungkin perlu juga dicatat di sini, orang-orang yang datang pada saya kemudian bukan hanya yang membawa setumpuk puisi untuk saya bahas, atau yang ingin berdiskusi tentang sastra, seni rupa, gerakan mahasiswa, kondisi sosial atau politik, tapi juga yang meminta nama untuk anaknya atau yang ingin mengganti namanya sendiri. Bahkan ada juga yang ingin konsultasi masalah jodoh, keluarga, penyakit, narkoba, poligami sampai yang berniat mencalonkan diri menjadi bupati. Dengan senang hati semua tamu-tamu tak diundang itu saya layani tanpa meminta imbalan apapun, karena seorang penyair bukanlah dukun. Diam-diam sebagai penyair saya merasa bermanfaat juga bagi orang lain.


Di tengah kondisi sosial dan politik yang tidak menentu, menulis puisi rasanya menjadi sulit dan berat. Bukan karena saya merasa kehabisan ide, tapi justru karena terlalu banyak ide, yang sebagian besar sulit diwujudkan dalam bentuk puisi. Ide-ide yang cenderung prosais ini rasanya lebih cocok jika diekspresikan dalam bentuk perbuatan atau gerakan. Pikiran dan perasaan saya pun menjadi sering terganggu, sering diwarnai kesedihan dan keprihatinan yang mendalam. Juga banyak diliputi kekhawatiran tentang segala hal. Entah kenapa saya jadi banyak memikirkan nasib Indonesia, juga kondisi Tasikmalaya.


Tahun 1995 saya dan beberapa teman merintis sebuah komunitas sastra, yang tujuannya selain menyediakan wadah bagi teman-teman dari berbagai kalangan (mulai dari tukang becak sampai dosen) yang tertarik pada sastra untuk berkarya bersama-sama, juga sebagai gerakan apresiasi sastra ke tengah masyarakat. Sebelumnya sempat juga membentuk komunitas seni rupa bersama teman-teman pelukis dan mengadakan pameran di ruang-ruang publik. Periode ini menjadi titik penting bagi proses kreatif saya, di mana sebagai seniman saya tidak lagi asyik mengurung diri di rumah namun mencoba “bergaul” ke tengah-tengah masyarakat.


Dalam perkembangannya komunitas yang saya rintis bukan hanya mengadakan kegiatan-kegiatan sastra, kesenian dan kebudayaan pada umumnya, namun kadang juga menjadi kelompok perlawanan yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah lokal. Ini sebuah konsekwensi berkesenian di daerah, yang kondisi dan infra-struktur keseniannya sangat tidak jelas. Berkesenian di daerah seperti membuka sebuah hutan yang penuh binatang buas, di mana selain harus membabat belantara kita juga harus siap untuk berbenturan dengan apa saja dan siapa saja. Kalau tidak siap, kita akan menjadi mainan atau makanan mereka.


Tahun 1996 setelah komunitas resmi terbentuk, saya mulai menulis teks-teks pendek yang memomotret kondisi sosial dan politik, baik lokal maupun nasional. Teks-teks ini pada awalnya untuk kepentingan lirik lagu yang akan dibawakan Kasidah Nurul Sembako, sebuah grup kasidah yang saya dirikan bersama teman-teman. Teks-teks ini selain dibawakan oleh Kasidah Nurul Sembako serta kelompok-kelompok musik atau teater yang lain, juga banyak saya dibacakan sendiri di berbagai forum dan kalangan, mulai dari tetangga, santri, kiai, aktivis politik, anggota dewan, lurah, camat, bupati, gubernur, menteri, sampai mantan presiden.


Dengan teks-teks yang kemudian jumlahnya menjadi ratusan bait ini bahkan saya sempat laris diundang ke mana-mana. Meskipun begitu, saya tetap menganggap bahwa teks-teks ini bukanlah puisi, hanya semacam celoteh, sindiran, ledekan, teguran atau bahkan hujatan yang kebetulan ditulis seorang penyair. Teks-teks ini berangkat dari fakta, namun tetap memainkan intuisi, imajinasi dan daya khayal seperti layaknya puisi. Sedang semangatnya adalah berkelakar dan meledek apa saja dan siapa saja. Teks-teks ini bentuknya sangat pleksibel, jadi bisa dirubah, ditambah bahkan disesuaikan dengan forum atau kalangan di mana teks-teks ini akan dibacakan atau dipentaskan:


Ada banyak cara

Untuk melacurkan diri

Salah satunya

Menjadi politisi


Ada banyak cara

Untuk menjadi menteri

Salah satunya

Dengan berdagang sapi


Ada banyak cara

Untuk poligami

Salah satunya

Menjadi bupati


Ada banyak cara

Untuk menjadi bupati

Salah satunya

Mempunyai uang satu peti


Ada banyak cara

Untuk menimbun harta

Salah satunya

Menjadi walikota


Ada banyak cara

Untuk menjadi walikota

Salah satunya

Berani menggusur kaki lima


Ada banyak cara

Untuk hidup makmur

Salah satunya

Menjadi gubernur


Ada banyak cara

Untuk menjadi gubernur

Salah satunya

Mengusulkan provinsi baru


Ada banyak cara

Untuk tidak konsisten

Salah satunya

Menjadi presiden


Ada banyak cara

Untuk menjadi presiden RI

Salah satunya

Rajin istighosah bersama kiai


Ada banyak cara

Untuk disebut kiai

Salah satunya

Memakai sorban dan kopiah haji


Teks-teks sejenis ini kadang saya angkat juga dalam bentuk spanduk, baligo atau poster yang dipasang di sudut-sudut kota Tasikmalaya. Lewat media spanduk, teks-teks ini menjadi semacam iklan layanan masyarakat atau mungkin juga merupakan pendidikan politik. Jika lama tak muncul masyarakat suka bertanya-tanya. Masyarakat juga menunggu tema apa lagi yang akan diangkat. Anehnya, polisi atau aparat keamanan pun sepertinya akrab dengan spanduk-spanduk tanpa izin ini hingga tak pernah mempersoalkannya, meski banyak pejabat atau politisi yang dibuat gerah. Begitu juga kalangan ulama atau mereka yang biasa menjual agama untuk kepentingan pribadi.


Meski semua ini saya lakukan dengan kegembiraan seperti halnya menulis puisi, tapi lama-lama saya merasa capek juga. Enerji saya terkuras habis dan waktu menguap tanpa terasa. Saya merasa mulai kehilangan kekhusyukan dan keasyikan bermain dengan kata-kata. Saya malah merasa lebih banyak dimainkan kegelisahan dan kemarahan, sementara yang harus dihadapi tetaplah sebuah tembok tebal. Namun dengan terpaksa spanduk-spanduk itu masih terus saya pasang untuk merespons situasi atau kasus tertentu yang dianggap mendesak.


“Bagi Kita Sebagai Rakyat, Partai Tak Penting-penting Amat”, “Memilih Atau Tidak Memilih Adalah Hak Warga Negara”, “Jadikan Golput Sebagai Gaya Hidup”, begitulah antara lain bunyi spanduk yang masih saya ingat. Spanduk-spanduk ini bukanlah jenis spanduk gelap karena jelas siapa pemasang dan juga penanggungjawabnya, yakni Partai Nurul Sembako (PNS). Sebuah partai yang saya dan teman-teman didirikan untuk meledek partai-partai yang ada, sebuah partai yang punya tugas khusus mengkampanyekan sikap kritis sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat.


Saeful Badar, Enung Sudrajat, Nazaruddin Azhar, Eriyandi Budiman, Iwan Koeswanna, Sarabunis Mubarok, Godi Suwarna, Jack Guntur, Nina Minareli, Ma’ruf Sakan, Misbahul Falah, Ashmansyah Timutiah, Amang Bunga Mawar, Agis Sutisna, Lucky Lukita, Nizar Kobani, Siti Maryamah, Neng Sri, Dwi Puspa, Teater Ambang Wuruk, Teater Dongkrak, Teater Bolon, Teater 28, Teater Kobong, Teater Girisena, Borelak, Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan adalah nama-nama atau pihak-pihak yang sangat membantu proses kreatif saya dalam periode “bermasyarakat” ini.


Pada awal tahun 2000-an saya kembali khusyuk menulis puisi, di samping masih terus mengadakan kegiatan-kegiatan sastra. kesenian dan gerakan kritis lainnya. Perjuangan saya menulis puisi sekian lama adalah karena ingin menjalani kehidupan sebagai penyair, bukan sebagai broker politik. Lalu apakah arti puisi bagi saya? Sejak awal saya merasa bahwa menulis puisi bukanlah profesi yang bisa mendatangkan nafkah. Saya tak pernah menuntut puisi untuk menghidupi saya, untuk menjamin kelangsungan hidup saya. Meski begitu harus saya akui juga bahwa dalam beberapa hal saya kadang dihidupi, difasilitasi dan bahkan diberi tempat terhormat oleh yang namanya puisi.


Meski telah menempuh banyak kesulitan, kesakitan serta kekonyolan, saya tetap merasa bersyukur dan menganggap kepenyairan sebagai hidayah. Saya percaya dalam puisi bukan hanya terkandung nilai-nilai keindahan, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai cinta, keimanan dan penghayatan terhadap sesuatu yang transenden, yang menjadi tujuan hakiki kehidupan. Bagi saya puisi juga menjadi media untuk terus menyatakan dan mengaktualisasikan diri di tengah situasi dan kondisi apapun.


Di tengah situasi yang serba tak menentu misalnya, puisi akan menjadi tempat katarsis yang nyaman sekaligus kubu untuk melakukan perlawanan. Namun di tengah yang serba aman dan tenteram, puisi juga bisa menjadi gelombang yang mengguncang kemapanan. Tempat penyair adalah berada dalam situasi dan kondisi apapun, baik yang tenteram maupun tak menentu. Baik yang indah maupun yang semrawut. Baik yang wangi maupun yang busuk. Tugas penyair bukan hanya melahirkan tulisan, tapi juga perbuatan. Bukan hanya menerbitkan buku dan tampil di panggung-panggung pertunjukan, tapi juga melakukan gerakan nyata di tengah-tengah masyarakat. []


(2001-2004)

Prev Next Next